JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkesan bersikap mengamankan posisi Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Asisten Pidana Khusus Kejati DKI Tomo Sitepu dalam kasus suap terkait perkara PT Brantas Abipraya yang ditangani Kejaksaan Tinggi DKI. Pasalnya, KPK sendiri menyatakan belum akan melakukan pengembangan perkara ini, meski dua petinggi PT Abipraya sudah divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam putusan itu yang dibacakan pada persidangan hari Jumat (2/9) itu, dua pejabat PT Brantas Abipraya yakni Direktur Keuangan Sudi Wantoko divonis 3 tahun penjara dan denda Rp150 juta subsidair 3 bulan. Sedangkan Manajer Pemasaran Dandung Pamularno dijatuhi hukuman penjara 2,5 tahun dan denda Rp 100 juta subsidair 2 bulan.

Yang menarik, majelis hakim menjatuhkan vonis atas dakwaan penyuapan sebesar Rp2 miliar kepada Sudung Situmorang melalui perantara bernama Marudut. "Mengadili, menyatakan terdakwa satu Sudi Wantoko dan terdakwa dua Dandung Pamularno terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan dalam dakwaan pertama," kata ketua majelis hakim Yohanes Priyatna

Nah, vonis ini sendiri mengundang terjadinya perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari dua anggota majelis hakim lainnya. Hakim anggota Casmaya dan Edi Supriyono berpendapat apa yang dilakukan Sudi dan Dandung adalah percobaan penyuaoan dan bukan penyuapan.

Casmaya berpendapat, niat memberi suap kepada Kajati DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Aspidsus Tomo Sitepu telah terjadi tetapi tidak ada kesepakatan mengenai uang suap. Sementara, Edi Supriyono menilai pemberian suap baru pada tahap memulai pelaksanaan awal. Suap belum diberikan kepada Sudung dan Tomo bukan atas kehendak pribadi, tetapi karena sudah terlebih dulu ditangkap petugas KPK.

Uniknya KPK malah seperti mengikuti pendapat kedua hakim yang mengajukan dissenting opinion itu. KPK seperti enggan untuk mengembangkan kasus suap ini ke arah mengungkap keterlibatan Sudung dan Tomo. Itu terlihat dari sikap jaksa KPK usia persidangan.

"Jadi mereka berdua (Casmaya dan Edi-red) sepakat sama dengan kami itu adalah percobaan. Yang tiga hakim ketua dan ad hoc menyatakan itu menurut mereka suap. Tapi dasar mereka adalah karena tidak pernah ada praktik dalam hukum acara adanya percobaan suap," kata Jaksa Irene Putri seusai sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (2/9).

Jaksa Irene juga mengindikasikan pihaknya tidak akan mengembangkan perkara ini untuk menjerat Sudung dan Tomo. Ia beralasan risiko untuk menjerat kedua pejabat Kejati DKI Jakarta itu cukup tinggi.

"(Pengembangan) Itu nanti dulu. Nanti kita laporkan ke pimpinan. Karena ini kan putusannya tiga-dua ya. Ini kan nanti ada risiko hukum seperti apa kita harus kaji ulang kembali. Karena menurut kami kemarin sama dengan hakim dua itu bahwa ini adalah percobaan suap, bukan percobaan janji tapi percobaan pemberian," tutur Jaksa Irene.

Saat ditanya lebih spesifik apakah pihaknya sulit meneruskan perkara ini, Irene mengamininya. "Ya pasti nggak bisa. Satu saksi bukan saksi. Karena hanya Marudut yang bilang. Jadi sentralnya ada di Marudut," tuturnya.

SUDUNG DAN TOMO TERLIBAT - Hal berbeda disampaikan pengacara Sudi dan Dandung, Hendra Heriansyah. Ia berpendapat bahwa pemberian suap yang diberikan kepada kliennya memang untuk diserahkan kepada Sudung dan Tomo melalui Marudut.

Oleh karena itu ia berharap KPK berlaku adil dengan menjerat dua petinggi Korps Adhyaksa itu. Apalagi, majelis hakim juga berpendapat surat dakwaan yang terbukti di persidangan adalah penyuapan, bukan percobaan pemberian suap seperti yang didengungkan KPK dalam dakwaan pertamanya.

"Kalau bicara keadilan harusnya begitu karena delik suap adalah delik berpasangan, enggak bisa berdiri sendiri," kata Hendra.

Hendra menjelaskan, dari sisi konstruksi hukum dengan terdakwa dinyatakan terbukti dan divonis maka tentunya harus ada keseimbangan dan keadilan. Salah satunya dengan menjerat pihak penerima siapapun itu termasuk Sudung dan Tomo. "Bahwa dari sisi pihak kejaksaaan entah siapapun, kepala kejati atau asisten tindak pidana khusus ikut dijadikan sebagai tersangka," terang Hendra.

Menurut Hendra, jika KPK bersikeras menjerat dengan pasal percobaan penyuapan, maka seharusnya dua kliennya ini lepas dari segala tuduhan. Alasannya, setiap pemberian suap seharusnya memang ada penerima suap, karena kasus itu tidak bisa berdiri sendiri.

"Analisa kami dari fakta hukum maupun keterangan ahli, dapat kami simpulkan bahwa belum adanya pertemuan kesepahaman antara Marudut selaku perantara itu menyebabkan delik suap jadi tidak terbukti," ujar Hendra.

HAKIM BUKTIKAN SUAP UNTUK SUDUNG DAN TOMO - Meskipun terjadi perbedaan pendapat, tetapi majelis hakim Tipikor akhirnya memutus bahwa Dandung dan Sudi melalui Marudut terbukti memberikan uang suap sebesar Rp2 miliar dari rencana pemberian Rp2,5 miliar hingga Rp3 miliar.

"Atas permintaan tersebut, Sudung Situmorang memerintahkan agar Marudut membicarakan lebih lanjut dengan Tomo Sitepu. Kemudian, Marudut kembali melakukan pertemuan dengan Tomo di ruang kerja Tomo, dimana dalam pertemuan tersebut terjadi percakapan," kata Hakim Ketua Yohanes.

Hakim Yohanes pun membeberkan transkip percakapan antara Marudut dan Tomo;

MARUDUT: "Pak, masalah kasus yang tadi seperti apa kira-kira ya, Pak?".

TOMO SITEPU: "Wah, ini sudah Penyidikan Lay, dananya sudah dipakai mereka enggak bener. Sudah telat, Lay".

MARUDUT : "Tapi ini teman-teman saya Bang, apa masih bisa dibantu?".

TOMO SITEPU: "Ini kita dalami dulu. Nanti kita lihat, makanya segera suruh datang mereka, biar ketahuan arahnya. Nanti kalau bisa dibantu, ya kita bantu".

MARUDUT: "Kalau bisa dibantu, seperti apa Bang?"

TOMO SITEPU: "Makanya kau tanya mereka, seperti apa bantuannya?"

MARUDUT: "Oke, nanti saya bicarakan dengan mereka, Bang. Lalu nantinya bagaimana Bang, ini kan Penyidikan. Apa bisa dihentikan? Atau diturunkan jadi Penyelidikan saja?"

TOMO SITEPU: "Ya, nanti kalau bisa dibantu, ya kita hentikan saja Penyidikannya".

Majelis berpendapat, dalam percakapan itu Marudut mempunyai pemahaman bahwa Tomo meminta uang operasional untuk menghentikan penyidikan perkara yang melibatkan Sudi Wantoko. Oleh karena itu, Marudut menemui Dandung di lobby hotel Grand Melia (disamping kantor Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta) dan menyampaikan bahwa Tomo meminta sejumlah uang untuk penghentian penyidikan.

"Yang disepakati oleh dandung dan Marudut akan memberikan uang sejumlah Rp2,5 miliar sampai dengan Rp3 miliar," jelas Hakim Yohanes.

BACA JUGA: