JAKARTA, GRESNEWS.COM - Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta terbelah dalam memutus perkara tindak pidana penyuapan petinggi PT Brantas Abipraya terhadap Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Asisten Pidana Khusus Tomo Sitepu.

Dua hakim karir yaitu Casmaya dan Edi Supriyono berpendapat tindak pidana yang terjadi adalah percobaan penyuapan. Sementara tiga hakim lainnya, yakni hakim ketua dan dua hakim ad hoc berpendapat bahwa penyuapan telah sempurna karena telah ada kesepakatan yang terjadi antara Marudut dan Tomo.

"Atas permintaan tersebut, Sudung Situmorang memerintahkan agar Marudut membicarakan lebih lanjut dengan Tomo Sitepu.  Kemudian, Marudut kembali melakukan pertemuan dengan Tomo di ruang kerja Tomo. Dimana dalam pertemuan tersebut terjadi percakapan," kata Hakim Ketua Yohanes di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (2/9) saat membacakan amar putusan untuk Marudut.

Salah satu yang menjadi pertimbangan hakim memutus tindak pidana penyuapan itu telah terjadi dengan sempurna, karena adanya percakapan antara Tomo dan Marudut mengenai permintaan bantuan. Marudut meminta bantuan Tomo agar perkara PT Brantas Abipraya dihentikan prosesnya.

Marudut : Kalau bisa dibantu seperti apa Bang?
Tomo Sitepu : Makanya kau tanya mereka, seperti apa bantuannya?

Marudut: "Oke, nanti saya bicarakan dengan mereka, Bang. Lalu nantinya bagaimana Bang, ini kan Penyidikan. Apa bisa dihentikan? Atau diturunkan jadi Penyelidikan saja?”
Tomo Sitepu : Ya, nanti kalau bisa dibantu, ya kita hentikan saja Penyidikannya".

Begitu bunyi percakapan yang dibacakan hakim Yohanes dalam persidangan. Atas percakapan itulah majelis berpendapat bahwa ada kesepakatan antara Marudut dan Tomo soal bantuan yang menurut pendapat Marudut sendiri berupa bantuan operasional. Setelah itu, Marudut melaporkannya kepada Dandung selaku petinggi PT Abipraya dan akhirnya disiapkan uang Rp2,5 miliar yang ditujukan kepada Tomo dan Sudung.

Kendati suara majelis terbelah dalam memutus perkara kasus suap pengurusan perkara PT Brantas Abipraya itu terbelah, antara percobaan penyuapan dan penyuapan terjadi sempurna. Namun putusan hakim akhirnya diketok dengan menghukum Marudut selaku perantara pengurusan perkara tersebut selama 3 tahun penjara, karena suara tiga hakim mengalahkan dua hakim.

Hanya saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejauh ini belum berani menyeret Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Sudung Situmorang sebagai tersangka. Meski dalam putusan hakim telah menyebut penyuapan itu terjadi sempurna dan pemberian uang tersebut ditujukan kepada Sudung dan Tomo.  Hingga muncul kesan KPK melindungi Sudung.   

Dikonfirmasi terpisah, Ketua Tim Penuntut Umum yang  menangani perkara ini Irene Putri membantah bahwa pihaknya sengaja melindungi Sudung dan Tomo dalam kasus tersebut. Menurut Irene, KPK sama sekali tidak punya kepentingan apa pun terhadap keduanya.

"Wah enggaklah, kami gak kenal Pak Sudung dakwaannya kan menjanjikan atau mencoba memberi," kata Irene kepada gresnews.com.

Irene mengatakan, dalam putusan hakim ada dua hal yang menjadi dasar mereka, pertama dalam praktik hukum tidak ada percobaan penyuapan. Kemudian yang kedua menurut hakim tidak penting dibuktikan apakah ada kesepakatan antara penerima dan pemberi suap.

Hal ini lah yang membuat perbedaan pandangan dengan tim jaksa. Sebab menurut Irene, dalam menjanjikan sesuatu maka yang menerima janji harus sepakat dengan janji itu sendiri meskipun belum ada penyerahan dari yang dijanjikan itu sendiri.

"Maka kalau baca putusan hakim atas perkara ini, belum bisa juga untuk menjerat Pak Sudung karena unsur dengan maksud pun, menurut hakim bukan dari si penerima tapi cukup maksud si pemberi," kata Irene.

Irene menjelaskan, percakapan antara Tomo dan Marudut belum cukup untuk menjadikan bukti mengembangkan perkara ini. Apalagi dalam percakapan itu tidak disebutkan secara spesifik bantuan operasional yang dimaksud untuk menghentikan perkara PT Brantas Abipraya.

"Dalam percakapan itu tidak ada istilah bantuan operasional. yang ada hanya bilang ´kau tanya lah bantuannya seperti apa´, kemudian Marudut mempersepsikan sendiri," terang Irene.


KPK DITUDING POLITIS - Sementara itu anggota Komisi III DPR Nasir Djamil mengkritisi sikap KPK yang seakan enggan melakukan pengembangan perkara tersebut. Salah satunya upaya menjerat Sudung Situmorang dan Tomo Sitepu atas petunjuk persidangan itu.

Padahal dalam putusannya majelis hakim secara tegas mengatakan uang Rp2,5 miliar digunakan untuk menyuap keduanya. "KPK harusnya jalankan putusan majelis bahwa itu penyuapan dan menjerat si penerima," kata Nasir kepada gresnews.com, Minggu (4/9).

Menanggapi alasan Penuntut Umum KPK belum menjerat Sudung dan Tomo karena dianggap sedikitnya komunikasi terkait pemberian uang kapada keduannya, menurut Nasir hal itu seharusnya tidak menjadi masalah. KPK, kata Nasir harus tetap menyelidiki dan menelaah segala fakta yang ada di persidangan dan juga putusan majelis.

"KPK kok takut beresiko, namanya penegak hukum harus siap segala resikonya. Ini lembaga besar, bukan sekelas Polsek," tegas politisi PKS ini.

Nasir enggan membandingkan kasus ini dengan perkara yang menimpa mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq dalam korupsi daging sapi. Meski dalam kasus tersebut, Luthfi juga belum menerima uang sebesar Rp1,3 miliar dari Bos PT Indoguna Maria Elizabeth Liman.

Uang itu masih ada di tangan perantara suap yaitu Ahmad Fathanah. Tetapi KPK tetap menjerat Luthfi Hasan yang kemudian dalam putusannya majelis juga mengabulkan dakwaan Jaksa KPK. "Saya tidak ingin membandingkan, tetapi ini memang terlihat politis," tutur Nasir.

"KPK hanya tajam kepada pihak tertentu dan tumpul kepada pihak lain," sambung Nasir.


UNSUR TERPENUHI UNTUK JERAT SUDUNG - Secara terpisah, Ahli Hukum Pidana dari Universitas lndonesia, Gandjar Laksmana Bonaprapta mengatakan dalam putusan hakim memang tidak secara langsung menyebut Sudung dan Tomo sebagai penerima suap. Tetapi majelis secara tegas mengatakan sudah ada kesepakatan antara penerima dan pemberi melalui perantara.

"Bila Hakim dalam putusannya menyatakan telah ada ´kesepakatan antara pemberi-penerima´ berarti sudah ada pihak penerima yang secara hukum harus diminta pertanggungjawaban pidananya alias menjadi tersangka sebagai penerima janji," kata Ganjar kepada wartawan, Minggu (4/9).

Oleh karena itu menurut Gandjar KPK seharusnya bisa menjerat pihak penerima dalam perkara ini. Gandjar mengatakan, dalam suatu kasus suap pihak penerima tidak perlu menerima secara fisik sesuatu yang dijanjikan, unsur menerima janji sendiri itu sudah cukup untuk membuktikan kasus suap terjadi secara sempurna.

Bahkan pertimbangan dalam putusan hakim tersebut dinilai dapat dijadikan dasar untuk KPK menjerat Sudung dan Tomo sebagai pihak yang diduga penerima suap. Karena Hakim menilai sudah ada ´meeting of mind´ antara pihak pemberi suap dengan Sudung dan Tomo.

"Menurut saya bisa. Selanjutnya berdasarkan fakta persidangan, Penyidik KPK dapat menetapkan Sud dan Tom menjadi TSK (tersangka)," ujar Gandjar.

BACA JUGA: