JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tahun ini pemerintah akan kembali melakukan eksekusi mati para terpidana kasus narkoba dan kejahatan lainnya. Sebelumnya pemerintah telah melakukan eksekusi terhadap terpidana hukuman mati yang dibagi dalam gelombang I dan II. Pro dan kontra pelaksanaan hukuman mati pun hingga kini terus bermunculan di kalangan masyarakat.

Mereka yang mendukung beralasan eksekusi mati untuk memberikan efek jera. Sementara itu pihak yang menolak eksekusi mati menilai pemberian hukuman harus menempatkan asas kemanusiaan sebagai hal utama. Hukuman mati tidak menghargai kemanusiaan.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Antonius Cahyadi mengatakan argumentasi hukum selama ini yang digunakan untuk melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati sangat legalistik dan prosedural. Menurutnya hukuman mati lebih bersifat politik daripada hukum.

"Hukuman itu perlu mempertimbangkan aspek kemanusiaan, membatasi kewenangan kekuasaan agar tidak seenak-enaknya saja," kata Antonius dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (3/6).

Dia menjelaskan hukuman mati adalah bentuk sanksi yang berkembang sejak puluhan abad lalu. Hukum berevolusi, melewati zaman pencerahan. Dalam hukum modern, hukuman mati bukan sanksi hukum yang dapat digunakan untuk menegakkan hukum.

Menurutnya sanksi hukum bukan sebagai ajang balas dendam melainkan sebagai sarana untuk memperbaiki dan mengembangkan kualitas hidup seseorang yang dianggap melakukan kejahatan. Apabila pemerintah tetap memberlakukan hukuman mati, bisa disebut negara membuat pembunuhan yang direncanakan.

Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet menjelaskan ada kontradiksi dalam masyarakat terkait hukuman mati. Robet menilai masyarakat belum dapat menjadikan hukum sebagai panglima. Tapi ketika institusi hukum melakukan eksekusi terhadap terpidana mati, masyarakat seolah mempercayainya. Hukuman mati dianggap bisa menghadirkan ilusi keadilan pada saat sebagian besar masyarakat belum mampu merasakan keadilan.

Walaupun RUU KUHP yang dibahas oleh pemerintah dan DPR mempersempit ruang pelaksanaan hukuman mati, tapi Robet menilai semangat itu tidak digunakan oleh Presiden Joko Widodo sehingga eksekusi terhadap terpidana mati gelombang I dan II tetap berjalan. Menurutnya sikap Presiden Jokowi menolak grasi yang diajukan para terpidana mati yang dieksekusi pada gelombang I dan II tidak jelas. Presiden Jokowi sebelum eksekusi hanya menyebutkan hukuman mati yang memutuskan hakim di pengadilan sedangkan dirinya hanya menolak grasi.

Robet mengungkapkan, harus ada pertimbangan yang jelas kenapa grasi tersebut ditolak. Hal ini menunjukan keputusan penolakan grasi dilakukan sebelum Presiden Jokowi membaca permohonan grasi yang diajukan para terpidana mati. "Hukuman mati tersebut lebih berat ke politik daripada hukum," kata Robet di Jakarta, Jumat (3/6).

Bagi Robet, hukuman mati bukan hukum melainkan kekuasaan zaman purba yang mengambil tempat dalam politik modern. "Adanya hukuman mati berarti kita menyerahkan hak kita secara diam-diam yaitu menyerahkan hidup dan mati kita kepada negara," katanya.

SELEBRASI HUKUMAN MATI - Dia mencatat setelah reformasi, baru saat ini pemerintah melakukan eksekusi terhadap terpidana mati dengan selebrasi. Itu terlihat dari sikap Jaksa Agung yang melakukan jumpa pers berulang kali terkait eksekusi terhadap terpidana mati gelombang I dan II.

Pemerintah berperan penting menghapus hukuman mati. Menurutnya dalam menghapus hukuman mati pemerintah tidak perlu menunggu respons publik. Seperti yang dilakukan Australia, pemerintah berinisiasi menghapus hukuman mati tanpa melihat respons publik.

Menanggapi kritikan tersebut, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan Kejaksaan Agung baru akan mengumumkan kepastian pelaksanaan hukuman mati tahap III beberapa hari menjelang eksekusi.

Ada tahapan pemberitahuan yang dilakukan Kejaksaan Agung kepada kedutaan besar dari negara asal masing-masing terpidana mati melalui Kementerian Luar Negeri. "Terutama untuk terpidana mati yang bukan warga negara Indonesia," ujar Prasetyo, Jumat (27/5).

Nantinya, Menteri Luar Negeri akan menyampaikan ke kedutaan masing-masing negara yang warga negaranya dieksekusi mati. Masing-masing kedutaan besar yang akan memberitahu keluarga terpidana mati.

Namun, Prasetyo menegaskan bahwa eksekusi belum akan dilakukan dalam waktu dekat. "Kami masih persiapan dan koordinasi. Kalaupun dilaksanakan ya setelah Lebaran lah. Masak puasa-puasa hukuman mati," kata Prasetyo.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan meminta agar hukuman mati diumumkan tiga hari sebelum eksekusi. Hal itu untuk menghindari kesan berlarut-larut dalam menetapkan hukuman mati.

"Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tiga hari sebelum dieksekusi saja diumumkan," ujar Luhut.

Jika langkah itu dilakukan Kejaksaan Agung, Luhut menilai pelaksanaan eksekusi mati tidak ditanggapi berlebihan oleh masyarakat. "Jadi, tidak ada lagi sandiwara atau sinetron soal begituan," kata dia.

DEMI MASA DEPAN BANGSA - Meski dihujani kritik, pemerintah sepertinya akan terus melaksanakan eksekusi mati itu. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan, eksekusi mati tersebut harus dilaksanakan.

"Sudah sepantasnya Presiden Jokowi menghukum mati pengedar narkoba," kata Ryamizard beberapa waktu lalu.

Dia menyatakan prihatin dengan kondisi ribuan anak bangsa yang kini mengalami ketergantungan narkoba. Para bandar narkobanya, meski telah dihukum penjara, tetapi masih mengedarkan.

Hal ini salah satu yang memicunya untuk mendorong eksekusi mati. "Sedangkan di LP itu (pengedar) masih mengedarkan, bagaimana tidak pas (eksekusi mati) dan saya sangat setuju itu (eksekusi mati)," ujarnya.

Bagi Ryamizard, narkoba merupakan ancaman serius bagi Indonesia yang menyasar generasi bangsa. Jika tidak diberlakukan tindakan hukum yang keras dan tegas,  Indonesia kehilangan generasi di masa datang. Setiap tahun ada 18 ribu orang meninggal, yang diobati sebanyak 4,5 juta orang dan yang tak bisa diobati 1,2 juta orang.

Dalam eksekusi mati pada Januari dan April 2015, Indonesia mendapat sorotan dari negara yang warganya dieksekusi mati tersebut. Diantaranya adalah Australia, Belanda, Brasil hingga Sekjen PBB.

Berikut daftar orang yang dieksekusi mati di 2015:

Dieksekusi Januari 2015:
1. WN Brasil, Marco Archer Cardoso Moreira, kasus penyelundupan 13 kg kokain
2. WN Malawi, Namaona Denis, kasus penyelundupan 1 kg heroin
3. WN Nigeria, Daniel Enemuo, kasus penyelundupan heroin lebih dari 1 kg
4. WN Belanda, Ang Kiem Soei, kasus pabrik narkoba terbesar se-Asia
5. WN Vietnam, Tran Thi Bich Hanh, kasus penyulundupan 1,5 kg sabu
6. WNI Rani Andriani, kasus penyelundupan 3,5 kg heroin

Diekseksusi April 2015:
7. WN Australia, Myuran Sukumaran, kasus penyelundupan 8,2 kg heroin
8. WN Ghana, Martin Anderson, kasus perdagangan 50 gram heroin
9. WN Spanyol, Raheem Agbaje Salami, kasus penyelundupan 5,8 kg heroin
10. WN Brasil, Rodrigo Gularte, kasus penyelundupan 6 kg heroin
11. WN Australia, Andrew Chan, kasus penyelundupan 8,2 kg heroin
12. WN Nigeria, Sylvester Obiekwe Nwolise, kasus penyelundupan 1,2 kg heroin
13. WN Nigeria, Okwudili Oyatanze, kasus perdagangan 1,5 kg heroin
14. WNI, Zainal Abidin, kasus 58 kg ganja

BACA JUGA: