JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana pelaksanaan eksekusi mati terhadap para terpidana mati kasus narkotika di kawasan Nusakambangan, Jawa Tengah, terkesan dilakukan diam-diam. Kejaksaan Agung terkesan enggan untuk bersikap terbuka soal pelaksanaan eksekusi mati itu. Padahal di lapangan, persiapan teknis terus dilakukan, mulai dari pemindahan para terpidana mati, kesiapan regu tembak hingga dokter medisnya.

Toh, Jaksa Agung Mohammad Prasetyo masih terus membantah eksekusi mati tahap III akan segera dilaksanakan. Yang dilakukan jaksa sebagai eksekutor, kata dia, hanya sebatas berkoordinasi untuk kesiapan jika sewaktu-waktu akan dilaksanakan. "Yang memutuskan kan di sini, kita belum memutuskan itu, ya," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Rabu (11/5).

Hanya saja Prasetyo tak membantah, saat ini jaksa tengah meneliti kelengkapan administrasinya. Ada puluhan terpidana mati yang siap dieksekusi. Namun jaksa masih akan memilih dengan memprioritaskan kejahatan di luar batas toleransi. Salah satunya adalah terpidana mati kasus narkoba Freddy Budiman. ‎"Saya inginkan Freddy segera dieksekusi," kata mantan Jaksa Agung Muda Pidana Umum itu.

Dia menegaskan hal itu merupakan langkah tegas untuk berperan melawan kejahatan narkotika yang telah menghancurkan generasi muda. Dia juga meminta Freddy untuk segera mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) agar ada kepastian hukum ketika Freddy dieksekusi mati.

"Ya, tentunya di sini perlu ketegasan dan kepastian dari sana sendiri karena selama ini katanya mau mengajukan upaya hukum PK, ternyata mengulur waktu terus. Tentunya kita tak mau menunggu terlalu lama," ‎tutupnya.

Saat ini, penegak hukum telah mencabut tujuh hak Freddy. Ketujuh hak itu adalah hak komunikasi, hak menjabat segala jabatan, hak masuk ke institusi angkatan bersenjata, hak memilih dan dipilih dalam proses demokrasi, hak menjadi penasihat atau wali pengawas bagi anaknya, hak penjagaan anak dan hak mendapatkan pekerjaan.

Sementara soal terpidana mati asal Filipina Mary Jane, yang juga masuk dalam daftar namun lolos dieksekusi gelombang ke-II karena masih ada upaya hukum, hingga kini Kejaksaan Agung masih menunggu selesainya proses hukum di Filipina. "Ya, nanti kita tanya ke pemerintah Filipna karena proses hukumnya di sana. Sudah kita tanya tapi mereka katakan masih dalam proses," ucap Prasetyo.
 
Sikap sedikit terbuka justru ditunjukkan oleh pihak Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah. Pihak Polda Jateng menegaskan saat ini ada 15 terpidana yang akan dieksekusi mati di wilayah Jawa Tengah tepatnya Nusakambangan. Dari jumlah tersebut 10 orang merupakan warga negara asing.

Kepala Bidang Humas Polda Jawa Tengah Kombes Pol A Liliek Darmanto mengatakan pihaknya menerima informasi terakhir ada 15 orang yang akan dieksekusi mati. Dari 15 orang tersebut, 10 orang merupakan WNA dengan rincian 4 warga China, 1 Pakistan, 2 Nigeria, 2 Senegal, dan 1 Zimbabwe. "WNI ada  5 orang, 1 perempuan dan 4 orang laki-laki," kata Liliek saat ditemui detikcom di kantornya, Mapolda Jawa Tengah, Jalan Pahlawan Semarang, Selasa (10/5).

Saat ditanya identitas para terpidana, Liliek enggan membeberkannya. Sementara itu terkait persiapan eksekusi, pihaknya menegaskan akan selalu siap. Tidak hanya anggota Brimob Polda Jateng saja yang siap, namun juga rohaniawan yang akan mendampingi para terpidana mati. "Tim eksekutor tinggal diluncurkan saja. Kita tim eksekutor sudah dilatih berhari-hari agar pelaksanaan aman," tandasnya.

Sesuai UU Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Laksana Eksekusi Mati, maka ada 15 regu tembak yang satu regunya berisi 10 personel untuk satu terpidana. Selain regu tembak, setiap tim akan ada dua personel Brimob yang bertugas memegang senter.

"Kita gunakan kekuatan 10 anggota Brimob. Disamping itu ada dua orang yang ditugaskan menyenter. Jadi 12 orang  untuk 1 terpidana. Agar tidak terlalu lama (eksekusi) akan dilakukan serentak," tegasnya.

Dalam pelaksanaan eksekusi, lanjut Liliek, rohaniawan akan mendampingi terpidana, jika proses pendampingan selesai maka lokasi eksekusi akan steril, hanya ada pihak yang bertugas dan terpidana hingga eksekusi berakhir. "Kalau rohaniawan bilang sudah clear membantu berdoa, maka semua tidak ada di tempat. Jadi pelaksanaannya bebas dari orang-orang lain, itulah gambarannya," pungkasnya.

Liliek menambahkan, terkait waktu pelaksanaan eksekusi, dimungkinkan akan dilakukan pertengahan bulan Mei ini. Meski demikian semua keputusan tetap ada di tangan Jaksa Agung. "Dimungkinkan (pelaksanaan eksekusi mati)  pertengahan Mei. Tapi itu bisa melebar atau menyempit. Yang pastinya dari Kejaksaan Agung," tandas Liliek.

Tim dari Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Jawa Tengah juga disiagakan di lokasi. Mereka akan memastikan terpidana sudah benar-benar mati atau belum, guna proses selanjutnya. Liliek menambahkan, pelaksanaan eksekusi mati mungkin pertengahan Mei ini.

Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia I Wayan Kusmiantha Dusak mengaku sudah memindahkan empat narapidana hukuman mati. Mereka dipindahkan dari lembaga pemasyarakatan di Kepulauan Riau dan Banten ke Nusakambangan.

DIMINTA TRANSPARAN - Eksekusi mati tahap III hingga saat ini tak jelas kapan waktunya. Termasuk siapa saja nama terpidana mati yang masuk daftar eksekusi. Koalisi Masyarakat Sipil Anti Hukuman Mati menyatakan prihatin dan menolak rencana eksekusi tersebut.

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Hukuman Mati adalah koalisi yang terdiri dari beberapa lembaga pemerhati masalah hukum dan hak asasi manusia seperti Imparsial, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Human Right Working Group (HRWG), LBH Masyarakat, LBH Jakarta, LBH Pers, Persaudaraan Napza Indonesia (PKNI), dan lainnya.

Karena itu, pihak koalisi mendesak agar pemerintah tidak menutup-nutupi proses eksekusi terpidana mati tahap ketiga. "Kami melihat ada upaya untuk melakukan eksekusi secara diam-diam dan ini merupakan bagian dari ketidakterbukaan proses penegakan hukum yang sarat dengan penyalahgunaan wewenang dan prosedur," ujar pejabat sementara Direktur Eksekutif Human Right Working Group (HRWW) Muhammad Hafiz saat konferensi pers Menyikapi Rencana Eksekusi Mati Gelombang III di Jakarta, Rabu (11/5).

Rencana eksekusi tahap III ini dinilai perlu ditinjau kembali oleh pemerintah dan segera mencari solusi hukum yang lebih tepat dan manusiawi. Hafiz mengatakan ketertutupan pemerintah terhadap proses eksekusi memunculkan banyak pertanyaan, karena di sisi lain proses penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari kondisi ideal.

Ketertutupan terhadap daftar terpidana mati kemudian menutup peluang adanya pengawasan secara ekternal terhadap siapa eksekusi dilakukan. "Pemerintah perlu diingatkan bahwa dalam proses eksekusi sebelumnya, beberapa nama terpidana justru merupakan korban peradilan yang tidak fair dan akuntabel," kata dia.

Keterbukaan proses eksekusi yang menjadikan kasus Mary Jane dapat terungkap ke publik dan membuktikan adanya kesalahan prosedur dalam proses peradilan. Bila kemudian eksekusi dilakukan secara diam-diam maka peluang tersebut tertutup dan kesewenang-wenangan itu semakin terbuka lebar.

TETAP DILAKSANAKAN - Meski pelaksanaan eksekusi mati gembong narkoba mengundang kritik, namun pemerintah diminta tetap tegas untuk melaksanakannya. Anggota Komisi III DPR Syarifuddin Sudding berharap agar Kejaksaan Agung tetap menjalankan eksekusi mati bagi terpidana kasus narkoba, dengan alasan Indonesia sudah darurat narkoba. "Kita sudah sepakat bahwa Indonesia sudah berada dalam darurat narkoba. Oleh karena itu kami berharap agar eksekusi mati terhadap terpidana narkoba jangan pernah berhenti," ujar Syarifudin beberapa waktu lalu.

Pada kesempatan terpisah, anggota Komisi III DPR I Putu Sudiartana menegaskan, keputusan hukuman mati merupakan domain pemerintah. DPR hanyalah sebagai pengawas konstitusi. Namun, politisi Partai Demokrat asal daerah pemilihan Bali tersebut memaparkan, jika memang keputusan yang dikeluarkan pemerintah dalam hal ini Kejaksaan Agung adalah yang terbaik bagi kelangsungan negeri ini, selama itu juga DPR mendukung.

Terkait kasus Mary Jane, menurut Putu, jika kasus Mary Jane bersinggungan soal human trafficking maka sudah pasti kedua negara yang bersangkutan yaitu Indonesia dan Filipina akan bersinergi dalam menyelesaikannya.

"Tanggapan kami, terutama saya dari dapil Bali melihat, bilamana itu bermanfaat bagi negara lanjutkan, apa yang dilaksanakan oleh presiden atas nama negara silakan. Mungkin ada hubungan yang mesti harus dijaga dengan baik antara Filipina dan Indonesia, mesti harus kita jaga, saya objektif melihat kebijakan Jokowi, dan saya selaku pribadi mendukung bila itu ada kepentingan yang lebih besar demi negara kita bersatu," tandas Putu.

Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo mempertanyakan posisi Mary Jane sebagai narapidana yang sebelumnya masuk dalam daftar eksekusi mati jilid tiga, namun namanya tidak terdapat di daftar nama eksekusi mati jilid tiga tersebut. Bambang menegaskan dirinya akan menanyakan langsung ke Kejaksaan Agung di dalam rapat dengan kejaksaan agung usai reses mendatang, terkait pertimbangan apa yang ada, sehingga Mary Jane tidak dieksekusi mati jilid tiga tersebut.  

"Menurut saya, bukan hanya Mary Jane saja, tapi terpidana mati narkoba yang namanya disebut-sebut dan kemarin sudah dipindahkan ke Lapas Nusakambangan juga sebenarnya tidak masuk dalam daftar yang akan dieksekusi dalam gelombang ketiga ini. Ini juga menimbulkan pertanyaan dan nanti juga akan kita pertanyakan ke Kejagung apa yang melatarbelakangi penundaan hukuman mati di gelombang ketiga ini terhadap napi narkoba itu," terang Bambang.

BACA JUGA: