JAKARTA, GRESNEWS.COM - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menghukum asisten pribadi anggota Komisi VII DPR Dewie Aryaliniza atau Dewie Yasin Limpo, Rinelda Bandaso, dengan pidana penjara selama empat tahun, denda Rp200 juta subsidair satu bulan kurungan.

"Menyatakan terdakwa Rinelda Bandaso terbukti secara sah melakukan korupsi bersama-sama sebagaimana dakwaan pertama," kata Hakim Ketua Baslin Sinaga, Senin (9/5).

Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum KPK menuntut Rinelda hukuman lima tahun penjara karena menjadi perantara suap senilai Sin$177.700 (sekitar Rp1,7 miliar) dari Kepala Dinas ESDM Kabupaten Deiyai, Papua, Irenius Adii dan seorang pengusaha. Namun majelis hakim memutus dirinya penjara yang setahun lebih ringan dari tuntutan jaksa.

Rinelda selaku staf administratif Dewie, anggota Komisi VII dari Fraksi Hanura daerah pemilihan Sulawesi Selatan, bertindak mempertemukan Irenius Adii dengan Dewie Limpo. Pertemuan itu untuk membahas rencana pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai. Dewie pun bersedia mengawal agar Kabupaten Deiyai mendapat dana APBN untuk proyek tersebut dengan imbalan suap senilai Rp1,7 miliar.

Uang suap itu diberikan sebagai dana pengawalan dalam pembahasan anggaran di DPR untuk membangun pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai, Papua. Uang tersebut diberikan oleh Direktur Utama PT Abdi Bumi Cenderawasih Setiadi Jusuf atas permintaan Irenius Adii. Imbalannya, perusahaan Setiadi yang akan mengerjakan proyek tersebut.

Putusan tersebut diambil majelis hakim atas berbagai pertimbangan. Pertimbangan memberatkan, diantaranya perbuatan tersebut dianggap bertentangan dengan program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi. Sementara hal yang meringankan terdakwa diantaranya,  terdakwa belum pernah dihukum, dan mengakui perbuatannya.

Putusan ini tampaknya cukup berat bagi Rinelda, sebab dalam kasus ini ia hanya berperan sebagai perantara dari Dewie Yasin Limpo untuk menerima suap sebesar Sin$177.700. Namun jika dilihat dari pasal yang dikenakan, memang hukuman empat tahun merupakan batas minimal atas pelanggaran pasal tersebut.

Rinelda dijerat dengan dakwaan pertama yaitu Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Pasal ini mengatur tentang pemberian gratifikasi terhadap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berkaitan dengan jabatan yang diembannya. Hukuman minimal empat tahun penjara dan denda Rp200 juta dan maksimal 20 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.

Rinelda sendiri mengaku kecewa dengan putusan tersebut. Ia menyatakan pikir-pikir selama waktu yang ditentukan, selama tujuh hari. Penuntut umum KPK yang dipimpin Kiki Ahmad Yani juga menyatakan hal yang sama, mereka menyatakan pikir-pikir atas putusan majelis hakim.

Kekecewaan Rinelda tergambar dari pernyataannya seusai sidang. "Saya kan gak terima APBD. Iya gak jadi JC (Justice Collaborator), padahal saya gak korupsi," tutur Rinelda.

LEBIH BERAT DARI PUTUSAN KASUS SUAP HAKIM MEDAN - Jika dibandingkan dengan kasus suap terhadap penegak hukum, tiga hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Tripeni Irianto Putro, Dermawan Ginting dan Amir Fauzi, putusan ini terlihat tak adil. Padahal para hamba hukum ini secara nyata telah menerima uang suap dari Otto Cornelis Kaligis agar gugatannya dikabulkan.

Namun dalam putusannya, majelis hakim Tipikor kompak menghukum ketiganya hanya dua tahun penjara. Putusan ini terlihat bertabrakan dengan pasal yang dikenakan yaitu Pasal huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Pasal ini mengatur penerimaan suap para hakim yang berkaitan dengan perkara yang sedang disidangkan. Hukuman maksimal dan minimal dalam pasal ini hampir sama dengan Rinelda yaitu minimal empat tahun penjara dan denda Rp200 juta dan maksimal 20 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.

Namun majelis kala itu berdalih karena mempertimbangkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 dan berpendapat bahwa terdakwa hakim Dermawan turut membantu mengungkap perkara tersebut meskipun tidak ditetapkan sebagai Justice Collaborator (JC) oleh KPK. Selain itu, karena ia tidak menikmati uang suap sehingga dihukum ringan.

"Fakta hukum peranan terdakwa SEMA Nomor 4/2011 mengakui membantu mengungkap perkara lain tidak menikmati hasil, bahkan uang yang diterima kurang dari Tripeni yang jadi JC jadi menurut majelis dapat menjadi hal-hal yang meringankan terhadap terdakwa maka pidana juga dapat berkurang dari ancaman pidana perkara ini," terang Ketua Majelis Hakim Ibnu Basuki Widodo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (20/1).

Padahal, dalam persidangan terungkap, Dermawan berusaha menyembunyikan uang suap tersebut dengan menyuruh satpam pengadilan Silvester Malau untuk menyimpan uang hasil suap.

BACA JUGA: