JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berupaya mengungkap berbagai pihak yang terkait dengan kasus korupsi pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai, Papua yang melibatkan anggota Komisi VII DPR Dewie Yasin Limpo. Salah satunya dengan menyelisik kemungkinan keterlibatan pihak PT PLN dalam kasus ini.

Karena itulah, KPK pada Senin (25/1) kemarin memeriksa Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir untuk menggali keterangan soal sejauh mana PLN terlibat dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro itu. Namun tak dinyana, Sofyan justru malah "menembak" pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Usai pemeriksaan, Sofyan mengatakan bahwa pihaknya sama sekali tidak terkait dengan perkara ini. Sebab, pembangunan pembangkit listrik di Deiyai menggunakan dana APBN dan bukan dana milik PLN.

"Keterangannya itu, kasih tahu bahwa khusus kasusnya yang di Papua ini, itu kan bukan dana PLN, tidak ada anggaran PLN, itu murni APBN, jadi tidak masuk ke PLN," kata Sofyan usai pemeriksaan, Senin (25/1) sore.

Sofyan menjelaskan, perusahaan yang dipimpinnya itu memang mempunyai alokasi dana sendiri yang disebut Anggaran Perusahaan Listrik Negara (APLN). Perbedaanya adalah, jika proyek yang dibiayai langsung oleh APBN itu biasanya diberikan melalui Kementerian ESDM dan dialokasikan melalui kedinasan, tetapi jika melalui APLN dikerjakan melalui General Manager.

"Jadi kalau APBN itu dari kementerian ESDM, bukan proyeknya PLN, jadi waktu di 2015 memang kami tidak lagi menangani dari APBN, saya sudah berkirim surat, kami tidak lagi menangani project dari APBN tapi dari APLN," terang Sofyan.

Sofyan menyebut bahwa proyek yang kemudian menjerat Dewie Yasin Limpo itu merupakan proyek ESDM, bukan proyek PLN. Sofyan mengatakan sejak tahun 2015, PLN tidak lagi menangani proyek APBN.

"Itu proyeknya ESDM, bukan proyeknya PLN. Dulu tahun 2015 memang kami tidak lagi menangani proyeknya APBN, saya sudah berkirim surat bahwa kami tidak lagi menangani proyek APBN, kami hanya menangani proyek-proyek PLN," sebut Sofyan.

Meski pembangunan pembangkit listrik Deiyai tak melibatkan PLN, Sofyan mengatakan, pihaknya siap untuk membeli listrik yang dihasilkan jika memang dijual ke PLN. "Ujungnya ia (ditangani), kalau dijual. Tetapi sampai sekarang belum ada pembahasan (jual-beli listrik di Deiyai)," imbuh Sofyan.

Sofyan menerangkan, PLN juga mempunyai ratusan pembangkit listrik di wilayah Indonesia Timur. Tetapi jumlah tersebut memang tidak termasuk pembangkit yang tercoreng pengerjaannya akibat kasus suap ini. "Ada, totalnya 480 pembangkit listrik di Indonesia Timur," urainya.

Terkait dengan perkara ini, Sofyan juga mengaku dirinya kenal dengan Dewie Yasin Limpo sebab Komisi VII tempat Dewie bertugas merupakan mitra dari PLN. Meskipun begitu, ia menegaskan tidak tahu menahu apakah ada anggota dewan lain yang turut terlibat masalah ini.

"Kenal lah (dengan Dewi-red) kan mitra kita di Komisi VII. Kalau itu (anggota dewan lain terlibat-red) saya tidak tahu, PLN tidak ikut campur," tutur Sofyan.

Sebelumnya, Pelaksana harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati membenarkan tentang pemanggilan kepada Sofyan. Tetapi sayang, Yuyuk tidak mengetahui apa keterlibatan Sofyan dalam kasus suap pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai yang menjerat Dewi Yasin Limpo.

"Benar, yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka DYL (Dewi Yasin Limpo-red). Tetapi kalau itu (keterkaitan Sofyan dengan perkara ini-red) sudah masuk dalam materi pemeriksaan," pungkas Yuyuk.

DANA PENGAWALAN - Sebelumnya dalam persidangan dengan terdakwa Kepala Dinas ESDM Deiyai, Papua, Irenius Adii dan pemilik PT Abdi Bumi Cenderawasih Setiady Jusuf di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jl Bungur Besar, Jakpus, Kamis (21/1), terungkap soal adanya permintaan dana pengawalan dalam proyek ini. Asisten pribadi Dewie Limpo, Rinelda Bandaso alias Ine yang menjadi saksi mengatakan, Setiady Jusuf sempat protes saat diminta menyediakan duit fee sebesar 10 persen untuk pengurusan anggaran proyek pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai, Papua.

Setiady menawar agar besaran fee menjadi 7 persen dari total nilai alokasi proyek yang diusulkan sebesar Rp50 miliar saat bertemu anggota DPR Dewie Yasin Limpo di restoran Bebek Tepi Sawah Mal Pondok Indah pada 18 Oktober 2015. Dewie meminta fee yang diistilahkan dana pengawalan untuk memproses usulan anggaran proyek pembangkit listrik.

"Pada saat itu saudara Dewie Yasin Limpo, saya, saudara Bambang Wahyuhadi, saudara Irenius Adii dan Setiady duduk di satu meja yang sama dan saudara Setiady mengatakan keberatannya akan besaran fee sebesar 10 persen yang dirasa terlalu tinggi. Saat itu saudara Setiady mengatakan ´saya juga main di Komisi V dan hanya diminta 7 persen saja´. Saudara Dewie Yasin Limpo mengatakan bahwa ´ya sudah kalau begitu kamu samakan saja agar kami anggota DPR ini sama saja 7 persen´," ujar Jaksa pada KPK Ni Nengah Gina Saraswati membacakan BAP Ine.

Dalam pertemuan tersebut, Dewie Limpo sebagaimana BAP Ine juga meminta agar fee disiapkan sebelum tanggal 20 Oktober 2015. "Selanjutnya Dewie Yasin Limpo juga menyampaikan agar dana disampaikan secepatnya karena tanggal 20 Oktober 2015 akan pengesahan APBN 2016 dan dana yang masuk harus diberikan sebelumnya agar bisa digunakan untuk ...anggota DPR," lanjut Jaksa Gina membacakan keterangan BAP yang langsung dibenarkan Ine.

Ine memang jadi perantara antara Irenius dengan Dewie Limpo Terkait pengurusan alokasi anggaran untuk proyek pembangkit listrik di Deiyai. Pada Maret 2015, Irenius pernah membahas proposal usulan anggaran.

Tapi proposal usulan bantuan dana pembangunan pembangkit listrik di Deiyai tahun 2015 yang dimasukkan ke Kementerian ESDM, tidak bisa dialokasikan. Sebab proyek pembangkit listrik hanya bisa dianggarkan melalui APBN dengan proses pengadaan secara lelang elektronik di kementerian.

Menurut Ine usulan permohonan alokasi anggaran kemudian tetap diupayakan melalui dana tugas pembantuan (TP) hingga dengan cara memasukkan dalam dana aspirasi. "Tapi dana aspirasi tidak berhasil juga. (Diganti) dana BUMN," sebut Ine.

Pada akhirnya, Setiady memberikan uang sebesar Sin$177.700 atau setara Rp1,7 miliar pada 20 Oktober 2015 di Mal Kelapa Gading. Duit fee diberikan dengan syarat perusahaannya dijamin menjadi pelaksana proyek di Deiyai. Sebagai jaminan, Setiady membuatkan surat pernyataan yang menyebutkan duit akan dikembalikan bila perusahaannya gagal menjadi pelaksana proyek yang usulan anggarannya masih diproses.

Pada awal kesaksiannya, Ine menceritakan awal mula komunikasinya dengan Irenius pada Maret 2010. Kadis ESDM Deiyai ini memang meminta bantuan melalui Ine terkait permintaan alokasi anggaran untuk kebutuhan listrik di Deiyai. Ine mengaku hanya bertugas mengawal proposal proyek pembangkit listrik yang diusulkan.

"Saya sampaikan ke Bu Dewie ada proposal Pemkab Deiyai yang akan disampaikan Kadis Irenius karena kantor bupati tidak ada listrik," ujarnya.

Kerabat Ine, Ruth yang juga dihadirkan dalam persidangan menceritakan kehadirannya pada pertemuan di Pondok Indah Mal. Meski tak terlibat pembicaraa, Ruth mendapat cerita dari Ine soal kesepakatan fee 7 persen dari anggaran proyek yang diusulkan.

"Saya sempat dikasih tahu kakak (Ine), kakak katakan hasil pertemuan itu disepakati adanya fee 7 persen setelah adanya lobi-lobi dari Pak Setiady dan Bu Dewie," kata Ruth.

Dewie Yasin Limpo sendiri kemudian tertangkap tangan oleh tim KPK pada 20 Oktober 2015 bersama dengan staf ahlinya, Bambang Wahyu Hadi. Adik dari Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo itu tertangkap setelah sekretaris pribadinya, Rinelda bertransaksi atas perintahnya.

Rangkaian tangkap tangan tersebut ketika Rinelda bertransaksi duit haram dengan Kadis Pertambangan Deiyai, Irenius Adi, dan Direktur PT Abdi Budi Cendrawasih, Setiadi. KPK menemukan duit sebesar Sin$177.700 di dalam bungkus makanan ringan yang diduga adalah suap dari Setiadi kepada Dewie.

Kelimanya pun kemudian ditetapkan sebagai tersangka dan telah ditahan oleh KPK. Irenius dan Setiadi dijerat sebagai pemberi suap sementara Dewie, Rinelda dan Bambang sebagai penerima suap.

BACA JUGA: