JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tidak hanya kasus dugaan korupsi penjualan kondensat bagian negara yang melibatkan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) yang tak kunjung lengkap berkas perkaranya, kasus dugaan korupsi pengadaan sistem pembayaran paspor elektronik (payment gateway) di Kementerian Hukum dan HAM yang diduga merugikan negara Rp32 miliar juga belum tuntas.

Adalah mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana yang menjadi tersangka tunggal kasus ini. Sama-sama melabeli dirinya sebagai aktivis antikorupsi, namun Denny berbeda nasib dengan mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang sempat menjadi tersangka korupsi. Kasus Samad dan Bambang yang juga ditangani Bareskrim Polri itu akhirnya dikesampingkan perkaranya oleh Jaksa Agung Muhammad Prasetyo.

Bagaimana dengan kasus yang membelit Denny? Prasetyo mengatakan kasus paspor elektronik masih disidik oleh Bareskrim. Jaksa peneliti dari Jaksa Agung Muda Pidana Khusus kembali mengembalikan berkas perkara Denny karena ada yang perlu dilengkapi.

"Masih P19, kami kembalikan untuk dilengkapi oleh penyidik," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jumat (22/4).

Bolak-baliknya berkas Denny disampaikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah. Menurutnya, ada beberapa syarat materil yang setelah diteliti masih diperlukan perbaikan. Karenanya jaksa meminta penyidik Bareskrim untuk melengkapinya.

Dari gejalanya kasus ini terancam akan molor penyelesaiannya. Sebab polisi sendiri mengaku berkasnya telah lengkap. Sementara jaksa menyatakan sebaliknya berkas belum lengkap.

"Dari kami sudah lengkap. Tapi mungkin ada perbedaan pandangan saja," kata Kombes Djoko Poerwanto, Wakil Direktur Dittipikor Bareksrim Mabes Polri.

DISOROT DPR - Komisi III DPR sempat mempertanyakan kelanjutan kasus Denny baik kepada Kapolri Jenderal Badrodin Haiti maupun Jaksa Agung Prasetyo. Lebih dari setahun kasus ini disidik namun tidak ada kemajuan.

DPR meminta kasus-kasus yang tidak cukup bukti seperti kasus payment gateway dihentikan saja sehingga tidak berlarut-larut penyidikannya.

Kuasa hukum Denny, Heru Widodo, sejak awal meminta Bareskrim untuk menghentikan penyidikannya. Sebab sangkaan terjadi korupsi pada kliennya tak berdasar. Jikapun itu terjadi kekeliruan, masuknya ranah administratif semata dan tak layak dikenakan pidana.

"Tak ada niat korupsi, menguntungkan orang lain dan unsur kerugian negara oleh klien kami," kata Heru kepada gresnews.com, Kamis (25/2).

Dia berharap penyidik tak memaksakan kasus ini. Bukti tidak ada korupsi bisa dilihat dari petunjuk jaksa yang belum menemukan terjadinya perbuatan pidana tersebut. Berkas tiga kali bolak-balik. Artinya jaksa tak yakin terjadi korupsi.

Apalagi, kata Heru, keterangan ahli membuktikan kasus payment gateway tidak ada kesalahan prosedur yang menyebabkan kerugian negara.

Kasus Denny sejak awal banyak yang menduga syarat kepentingan. Bukan murni hukum. Sejak awal kasus ini terkesan dipaksakan. Pengusutan kasus Denny bersamaan dengan memanasnya hubungan KPK dan Polri. Denny termasuk barisan yang mendukung KPK.

Saat itu yang melaporkan Denny adalah Andi Syamsul Bahri pada 10 Januari 2015 dan langsung diproses. Pada Maret 2015, Denny pun langsung menjadi tersangka. Saat itu Kabareskrimnya adalah Komjen Budi Waseso, kini kepala Badan Narkotika Nasional (BNN).

Pembelaan pihak Denny dirinya tak korupsi diperkuat keterangan sejumlah saksi. Mereka adalah Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra, Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar, ahli hukum administrasi negara Universitas Padjajaran Asep Warlan Yusuf.

Selain itu, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM Rimawan Pradityo dan ahli hukum administrasi negara Zudan Arif. Semua ahli menyebut kasus Denny bukan korupsi.

Kejaksaan Agung pun enggan mendeponering kasus Denny nanti. Saat disoal alasan deponering Samad dan BW karena pegiat antikorupsi, tak berlaku untuk Denny. "Treatment-nya berbeda," kata Prasetyo.

Dalam kasus payment gateway, Denny yang telah ditetapkan sebagai tersangka, dituduh menyalahgunakan wewenang dalam proses pengadaan penyedia layanan pembayaran biaya pembuatan paspor secara elektronik atau yang disebut payment gateway saat menjadi wakil menteri.

Guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada itu membantah tuduhan korupsi tersebut dan menyatakan program itu dijalankan untuk meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat.

Dalam kasus tersebut, Denny Indrayana diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 dan Pasal 23 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 jo Pasal 421 KUHP Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, maupun setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

BACA JUGA: