JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dikabulkannya gugatan praperadilan yang diajukan Ketua Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur La Nyalla Mattalitti atas penetapan dirinya sebagai tersangka kasus dana hibah Kadin Jatim tahun 2012 oleh Kejaksaan Tinggi Jatim kembali mengundang kontroversi. Putusan ini menambah panjang daftar putusan praperadilan yang kontroversial pasca kasus Komjen Budi Gunawan.

Seperti diketahui, Budi ketika itu mempraperadilankan penetapan dirinya sebagai tersangka kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Saat itu, banyak pakar hukum menilai gugatan itu tak tepat lantaran penetapan tersangka bukanlah objek praperadilan seperti diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 77.

Nyatanya, hakim tunggal Sarpin Rizaldi yang menyidangkan perkara itu di PN Jakarta Selatan, mengabulkan gugatan Budi Gunawan. Sejak itu gugatan praperadilan atas penetapan tersangka oleh aparat penegak hukum seperti membanjir. Uniknya, hasilnya tidak ada yang sama alias ada yang dikabulkan ada juga yang ditolak.

Dalam kasus La Nyalla, hakim tunggal PN Surabaya Ferdinandus mengabulkan gugatan La Nyalla berdasarkan argumen yang diajukan kuasa hukum Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) itu. Di persidangan, kuasa hukum La Nyalla mengatakan, ada sejumlah alasan yang mengakibatkan penetapan kliennya sebagai tersangka tidak sah.

Beberapa yang pokok yaitu kasus ini bersifat nebis in idem atau sudah pernah diputus dengan terdakwa yang berbeda. Selain itu, proses pemanggilan pemeriksaan sebagai tersangka dinilai cacat karena tidak diberi jeda waktu sebagaimana diatur dalam KUHAP dan tidak adanya kerugian negara.

Atas permohonan tersebut, PN Surabaya lalu mengabulkan permohonan La Nyalla dengan pertimbangan diantaranya kasus ini pernah disidangkan sebelumnya sehingga seluruh bukti telah diuji di pengadilan, bukti kuitansi yang diajukan oleh jaksa merupakan permasalahan administratif, dan tidak ada kerugian negara. Status tersangka La Nyalla pun dicabut oleh hakim meskipun dirinya merupakan buronan atau masuk daftar pencarian orang (DPO).

Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mengatakan, kasus La Nyalla adalah gambaran kacaunya hukum acara praperadilan di Indonesia. Terlebih pasca putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 yang memasukkan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan.

"Sejak itu, benang kusut hukum acara praperadilan semakin tak terurai," kata Anggara kepada gresnews.com, Rabu (13/4).

Anggara mengatakan, pada 2013, hasil penelitian ICJR terkait praktik praperadilan untuk penahanan di Indonesia, ditemukan bahwa selama ini hakim menerapkan hukum acara praperadilan yang berbeda-beda. "Dalam beberapa kasus, hakim bahkan masuk ke dalam pokok perkara namun di kasus yang berbeda dan mayoritas, hakim hanya menguji konteks ´formal´ dari praperadilan," terang Anggara.

Salah satu alasan paling mendasar dari persoalan ini adalah, Indonesia tidak memiliki pengaturan praperadilan yang memadai. Kedua, pengaturan hukum acara praperadilan di KUHAP masih sangat singkat dan karenanya tidak memadai sebagai mekanisme kontrol sebagaimana diamanatkan dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014.

"Penambahan kewenangan tersebut tidak diimbangi dengan pengaturan yang cukup dalam praperadilan," tegas Anggara.

Kekosongan hukum terkait hukum acara praperadilan ini menjadi fokus utama ICJR sedari lama. ICJR sebelumnya pernah mengajukan usulan Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Mahkamah Agung tentang Hukum Acara Praperadilan yang telah diserahkan kepada Mahkamah Agung pada 2015. Sayangnya, Mahkamah Agung menolak dengan alasan praperadilan sudah lengkap diatur di KUHAP.

"Alasan ini menjadi tidak mendasar sebab faktanya, sebagaimana telah disebutkan di atas, praktik praperadilan di pengadilan negeri menjadi tidak jelas," kata Anggara.

Dampaknya, hakim tidak menerapkan kepastian hukum, sebab cara menguji dan hukum acara yang berbeda-beda, menimbulkan kerugian konstitusional bagi pencari keadilan. Disisi lain, banyak kejanggalan dan keanehan yang terjadi.

Misalnya, pengadilan menguji permohonan seorang yang ditetapkan sebagai buronan atau DPO. Padahal sebelumnya melalui SEMA No. 6 Tahun 1988 dan SEMA No. 1 Tahun 2012, Mahkamah Agung memiliki sikap yang begitu keras terhadap Buronan atau DPO, dimana Buronan dan DPO tidak diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum.

Dalam usulan pengaturan "Hukum Acara Praperadilan", ICJR juga memasukkan ketentuan larangan seseorang yang dinyatakan sebagai DPO untuk mengajukan permohonan Praperadilan. "Sebab kondisi buronan menunjukkan bahwa seseorang tidak menghormati proses hukum yang berjalan," ujar Anggara.

Atas dasar itu, ICJR mendorong agar Pemerintah segera memperhatikan keadaan ini dengan mengambil langkah-langkah cepat dan responsif. "Salah satunya dengan cara menerbitkan aturan transisi berupa Peraturan Pemerintah untuk mengatur Hukum Acara Praperadilan yang lebih komprehensif," pungkasnya.

Pasca putusan Sarpin atas gugatan praperadilan Budi Gunawan, mekanisme praperadilan di Indonesia memang dinilai tak memberikan kepastian hukum. Dosen Filsafat Hukum Bina Nusantara University Shidarta, ketika itu menjelaskan, metode hukum hakim praperadilan Sarpin tidak bisa dikatakan sebagai suatu terobosan atau penemuan hukum.

Pasalnya, secara metode, sebuah penemuan hukum hanya mengenal setidaknya dua cara yaitu melalui interpretasi atau konstruksi. Menurutnya jika dilihat dari perspektif interpretasi maupun konstruksi, putusan Sarpin tidak memenuhi keduanya.

"Ini tidak tahu metode penemuan hukum apa. Karena itu putusan ini tidak lagi disebut menemukan hukum tapi membentuk hukum baru yang sudah keluar dari norma penemuan hukum," ujar Shidarta saat itu.

Dia menilai jika Pasal 77 KUHAP yang menjadi dasar dari sebuah praperadilan coba diinterpretasi maka harus melekat pada konsep yang sudah ada. Misalnya jika praperadilan dilihat dari sisi penangkapan untuk diinterpretasikan maka penangkapan bisa dilekatkan dengan penetapan tersangka dan sebaliknya.

"Faktanya tidak semua penangkapan berujung pada penetapan tersangka dan tidak semua penetapan tersangka berujung pada penangkapan. Sehingga makna pasal 77 KUHAP tidak bisa diperluas," katanya.

Ahli Hukum Administrasi Negara Riawan Tjandra juga mengatakan, putusan Sarpin atas praperadilan Budi Gunawan memang mengandung sejumlah kelemahan. Pertama kelemahan secara substantif Pasal 77 KUHAP bersifat limitatif dan restriktif atau dibatasi. Tapi Sarpin menyerobot batasan tersebut. "Jadi menyerobot kewenangan legislasi presiden dan DPR," ujar Riawan.

KEJATI JATIM KECEWA - Putusan praperadilan La Nyalla memang telah membuat kecewa banyak pihak. Terutama pihak Kejaksaan Tinggi Jawa Timur selaku penyidik kasus korupsi dana hibah Kadin Jatim tahun 2012. Jaksa Kejati Jatim Ahmad Fauzi mengatakan, masyarakat bisa melihat sendiri bagaimana pertimbangan dari hakim.

"Pada intinya, kami tidak sependapat dengan hakim. Dan bukti-bukti yang kami sampaikan, sama sekali tidak ada yang dipertimbangkan," katanya usai sidang putusan praperadilan di ruang sidang Cakra gedung Pengadilan Negeri Surabaya, Jalan Arjuno, Surabaya, Selasa (12/4).

Ia mengatakan, bukti-bukti yang merugikan pemohon dinilai sama sekali tidak dipertimbangkan oleh hakim Ferdinandus. "Kami mengajukan 59 bukti, tapi tidak ada satu pun yang dipertimbangkan," kata Fauzi.

Dia menerangkan, dua alat bukti yang diperoleh penyidik pada tanggal 14 Maret yakni keterangan dari Mandiri Sekuritas, keterangan dari Bank Jatim, keterangan dari Pemprov Jawa Timur dan keterangan ahli dari Peruri.

"Itu diperoleh tanggal 14. Jadi kalau hakim bilang tadi, alat-alat bukti yang kita peroleh setelah ditetapkan tersangka atau setelah tanggal 16 Maret, itu tidak benar," cetusnya.

Selain mengajukan bukti yang diperoleh pada 14 Maret, kata Fauzi, pihaknya juga memperoleh keterangan pada 15 Maret 2016 yakni keterangan ahli dari keuangan negara.

"Tadi temen-temen melihat sendiri, mendengar sendiri, keuntungan yang diperoleh tersangka (dari penjualan IPO Bank Jatim oleh La Nyalla) sama sekali tidak dipertimbangkan oleh hakim. Silakan dinilai sendiri bagaimana putusannya. Yang jelas kami sangat kecewa dengan apa putusan hakim dan apa yang menjadi pertimbangan hakim," jelasnya.

Pihak Kejati Jatim sendiri memastikan akan mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik) yang baru pasca dikabulkannya gugatan praperadilan La Nyalla Mattalitti. Pihak Direktorat Jenderal Imigrasi juga sudah mencabut paspor La Nyalla sehingga ia mau tidak mau kembali ke Indonesia.

"Harusnya sih demikian (kembali ke Indonesia). Kan beda urusan imigrasi dan korupsi. Itu masalah kewarganegaraan yang berjalan ke luar negeri, kalau ini soal tuntutan (itu masalah) pidana korupsi," ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah, Rabu (13/4).

Bila nanti dikeluarkan sprindik baru, maka penyidik bisa melayangkan panggilan kepada La Nyalla. Bila ia tak datang, maka statusnya sebagai buronan kejaksaan bisa dilanjutkan. Jaksa Agung Prasetyo dalam kesempatan yang berbeda mengatakan, kejaksaan akan berupaya untuk mendapatkan La Nyalla.

Kejagung sendiri mendukung langkah Kejati Jatim untuk mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik) yang baru. Kejagung akan terus memonitor perkembangan kasus ini.

"Langkah Kejagung terus memonitor dan menyikapi langkah apa yang akan dilakukan oleh Kajati Jatim. Selagi memang itu on the track, kuat ya ga masalah," kata Arminsyah.

Kejaksaan bertekad agar pencegahan terhadap La Nyalla tetap dilakukan. Paspor Ketum PSSI itu sudah dicabut, kejaksaan juga sudah membuat surat kepada beberapa Dubes yang berada di negara ASEAN kalau paspor La Nyalla dicabut. Jaksa Agung menyebut La Nyalla tidak akan bisa berlama-lama berada di luar negeri.

"Kan dia enggak bisa lama-lama tinggal di negara lain (dengan paspor ditarik). Kalau pun tidak ditarik (paspornya) kan nanti bisa dianggap penduduk gelap," ujar Prasetyo.

Terkait kasus ini, kejaksaan sudah mengirim surat kepada Kapolri untuk menerbitkan red notice. Dengan begitu, status La Nyalla sebagai buronan akan diberitahukan ke Interpol.

"Iya lah, sudah saya sampaikan ke Kapolri kok. Dinyatakan sebagai DPO, Polri sudah tahu apa yang harus dilakukan karena mereka kontak Interpol," ungkap Prasetyo. (dtc)

BACA JUGA: