JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemilik Grup Media Nusantara Citra (MNC) Hary Tanoesudibdjo (HT) kembali diperiksa penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung terkait dugaan korupsi restitusi pajak PT Mobile-8 Telecom. Pemeriksaan kembali HT itu untuk menemukan benang merah dugaan keterlibatan pendiri Partai Perindo itu saat menjadi komisaris PT Mobile-8.

HT mengaku pemeriksaan terhadap dirinya tidak jauh berbeda dari pemeriksaan sebelumnya. Pertanyaan hanya mengulang pemeriksaan sebelumnya. Ada beberapa penjelasan tambahan yang ditanyakan penyidik.

"Cuma pengulangan saja," kata HT usai diperiksa di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Senin (11/4).

HT menyatakan tidak ada manipulasi restitusi pajak fiktif seperti disidik Kejaksaan Agung. Sebagai komisaris saat itu, HT mengaku tidak mengurus soal operasional perusahaan, khususnya soal pajak. Dirinya lebih mengurusi soal kebijakan pengembangan perusahaan.

Sementara itu Jampidsus Arminsyah mengatakan pemeriksaan terhadap HT itu untuk melengkapi penyidikan sebelumnya. Karena sejumlah pertanyaan dilewati oleh HT. Selain itu, penyidik ingin mengonfirmasi keterangan saksi yang menyebut-nyebut nama HT. "Kami konfirmasi lagi keterangan saksi yang sebut HT itu. HT membantah," kata Arminsyah.

SALAH SIDIK - Pihak HT berkali-kali menyatakan penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung salah sasaran. Penyidikan kasus restitusi pajak bukan ranah Kejaksaan Agung karena tidak ada unsur korupsi. Malah dalam kasus ini negara untung.

Hal itu dikatakan oleh kuasa hukum HT Hotman Paris Hutapea. Hotman mengatakan Kejaksaan Agung dinilai tak paham Undang-Undang Pajak karena mengaitkan dua hal yang tidak ada kaitannya. Uang gratifikasi pajak PT Mobile-8 sebesar Rp10 miliar yang diterima PT Mobile-8 tahun 2009 adalah pengembalian uang pajak terkait dengan kompensasi kerugian pada masa pajak 2004.

Sebaliknya transaksi penjualan sebesar Rp80 miliar dari PT Mobile-8 yang dituduhkan Kejaksaan Agung sebagai fiktif terjadi pada 2007. Ada peningkatan penjualan sebesar Rp80 miliar. Terlepas apakah itu fiktif atau tidak justru menguntungkan negara.

Uang sebesar Rp10 miliar yang diterima PT Mobile-8 bukan kerugian negara dan restitusi bukan disebabkan transaksi penjualan sebesar Rp80 miliar tahun 2007. "Jadi tidak ada kerugian negara dan karenanya bukan perkara korupsi dan bukan kewenangan kejaksaan," kata Hotman.

Dalam kasus pajak PT Mobile-8, negara malah untung sebesar Rp8 miliar. Itu adalah hasil peningkatan penjualan sebesar Rp80 miliar yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen.

Kenapa timbul restitusi pajak? Hotman menjelaskan pada masa pajak tahun 2004 PT Mobile-8 rugi. Karena rugi maka pada akhir tahun tidak wajib bayar pajak. Akan tetapi sebelum kerugian dihitung, pada akhir tahun PT Mobile-8 membayar pajak (prepaid tax). Dan PT Mobile-8 berhak meminta kembali uang yang dibayarkan.

"Disinilah kekeliruan besar dari kejaksaan Agung yang tidak memahami tentang apa itu restitusi pajak," kata Hotman.

Dan restitusi pajak sebesar Rp10 miliar telah sesuai dengan ketetapan dari kantor pajak. Ditjen Pajak beberapa kali menegaskan tidak ada pelanggaran pajak atas restitusi pajak PT Mobile-8. Kalau surat ketetapan itu salah yang harusnya disidik adalah pejabat pajak yang menandatangani SKP tersebut.

"Kenapa justru HT yang diburu oknum kejaksaan," kata Hotman.

Arminsyah menanggapi santai yang disampaikan Hotman. Menurutnya penyidik memiliki bukti kuat kasus ini ada korupsi. Ada rekayasa transaksi fiktif yang dilakukan Mobile-8 dengan PT Djaya Nusantara Komunikasi (DNK) untuk mendapatkan restitusi pajak. "Memang dalam dokumen ada transaksi, semua ada tapi itu fiktif," kata Arminsyah.

Dugaan rekayasa transaksi itu diiyakan oleh Eliana Djaya sebagai Direktur PT Djaya Nusantara Komunikasi (DNK). "Jadi uang itu dikirim ke DNK tapi kemudian dikirim balik," kata Arminsyah.

BACA JUGA: