JAKARTA, GRESNEWS.COM – Terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan Uninterruptible Power Supply (UPS) untuk 25 sekolah pada Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Barat, Alex Usman, dituntut tujuh tahun penjara dikurangi masa tahanan oleh jaksa penuntut umum dalam persidangan kasus tersebut dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jl Bungur Besar, Jakarta Pusat, Kamis (3/3). Selain itu, Alex juga dituntut membayar denda sebesar Rp500 juta subsider enam bulan kurungan.

Hanya saja, Alex tidak dituntut membayar uang pengganti kerugian negara dan hanya membayar uang perkara sebesar Rp10.000. "Menyatakan Alex Usman terbukti melakukan korupsi bersama-sama dan meminta majelis hakim menjatuhkan tujuh tahun penjara," kata jaksa Tasjrifin di persidangan itu.

Jaksa menuntut Alex Usman dengan hukuman tersebut karena menilai Alex telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaigama diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.  "Unsurnya melawan hukum, memperkaya diri sendiri serta merugikan kerugian negara sudah terbukti dan terpenuhi. Dan terbukti melanggar UU Tipikor Pasal 2 Ayat (1)," kata Tasjrifin.

Tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum diajukan setelah mempertimbangkan bahwa Alex tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun begitu, dalam pertimbangan yang meringankan, Alex dinilai sangat sopan dan kooperatif selama proses persidangan. "Sangat sopan dan kooperatif dalam sidang sehingga membantu proses jalannya sidang," ungkap Tasjrifin.

Atas dasar itu pula Alex Usman tidak dituntut tidak berkewajiban membayar uang pengganti karena yang membayar adalah pihak-pihak yang menikmatinya. Penuntut umum meyakini, dalam pengadaan UPS itu Alex Usman sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) telah mengatur pengadaan proyek UPS agar dimenangkan perusahaan PT Offistarindo Adhiprima milik Harry Lo.

Total kerugian negara akibat korupsi UPS untuk SMA/SMKN pada Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Barat mencapai senilai Rp81,433 miliar dari anggaran APBD tahun 2014.

Untuk mengatur proyek itu, Alex Usman dalam dakwaan jaksa disebutkan mengadakan beberapa kali pertemuan bersama Fahmi Zulfikar Hasibuan, anggota DPRD DKI Jakarta dari Komisi E yang juga anggota Badan Anggaran DPRD, untuk meloloskan proyek UPS ke dalam APBD-P tahun anggaran 2014.

Pengadaan UPS itu sendiri menurut keterangan saksi tidak pernah diajukan oleh 25 sekolah SMA/SMK sederajat pada Suku Dinas Pendidikan Jakarta Barat. Namun pengadaan UPS ini mendadak muncul ke dalam APBD-P 2014 senilai Rp21 miliar setelah sepulangnya Alex Usman dari kunjungannya ke Taiwan.

Menghadapi tuntutan ini, Alex berkilah, dia tak bertanggung jawab memasukkan usulan pembelian UPS seperti dimaksud JPU. Alex sendiri mengaku heran kenapa anggaran untuk UPS bisa muncul ke dalam anggaran APBD-P 2014 padahal dia mengajukannya untuk APBD 2015. "Saya merencanakan untuk anggaran 2015, saya juga kaget kenapa muncul pada anggaran 2014," ungkap Alex usai persidangan.

Alex mengaku, terkait perencanaan pengadaan UPS itu,memang tugasnya sebagai Prasarana dan Sarana pada Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Barat, untuk melakukan perencanaan.

Terkait fakta persidangan yang menyatakan dia melakukan pertemuan bersama Fahmi Zulfikar Hasibuan anggota Komisi E DPRD dibantah Alex. Dia mengatakan, pertemuan dirinya dengan Fahmi tak pernah melakukan pembicaraan soal bagaimana memuluskan proyek UPS ke dalam anggaran.

"Saya bertemu dengan Fahmi itu biasa, karena saya sudah berteman sejak tahun 90-an. Konsekuensi sebagai PPK ya seperti ini tetapi kita sudah mengikuti segala aturan yang berlaku,” aku Alex.

Sedangkan pertemuan dengan Harry Lo diakuinya terkait dengan pekerjaan pengadaan di Sudin Dikmen Jakbar. "Kan memang Harry Lo itu kan memang penyedia, PT penyedia, jadi memang bertemu saya juga berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan," terangnya.

PETINGGI PEMDA DKI - Dalam persidangan itu, Alex juga sempat menyinggung peran seorang petinggi di Pemprov DKI dalam memuluskan proyek itu. Alex mengaku, bukan porsinya untuk bisa memuluskan proyek UPS ke dalam APBD. "Tidak memungkinkan itu dengan kapasitas saya sebagai pejabat eselon I. Saya cuma pada level pelaksanaan, di level kebijakan apalagi level anggaran saya tidak ikut," tegas Alex.

Soal siapa yang berinisiatif mengatur pertemuan dengan Fahmi dan Harry untuk mengatur fee bagi anggota dewan dalam meloloskan anggaran, Alex menolak menjawab gamblang. "Kalau mengikuti persidangan, nanti kan jelas siapa. Kalau di persidangan kan jelas siapa, dari Pemda DKI," tuturnya.

Siapa pejabat Pemda DKI yang dimaksud, Alex tidak bisa menjawab. "Tidak tahu, karena tidak terungkap sampai saat ini karena semua bilang enggak tahu, apalagi saya, karena saya cuma PPK. Saya cuma punya kewenangan menyiapkan yang berkaitan dengan lelang, cuma itu," paparnya.

Dia hanya menegaskan pekerjaannya dipertanggungjawabkan juga ke atasannya yakni Kasudin Pendidikan. "Kalau atasan saya ya KPA, yaitu Kasudin," jawab Alex.

Soal ini, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham Lunggana alias Haji Lulung pernah melontarkan pernyataan keterlibatan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam kasus UPS ini.

Alasannya, kata Lulung, Ahok adalah pihak yang menandatangani Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) untuk 50 unit UPS. "SP2D siapa yang tandatangan? Itu UPS 50 unit, 1 unit itu tandatangannya dari Gubernur SP2Dnya. Masak 50 unit dia kagak tahu, lucu," kata dia.

Lulung yakin ada pihak yang jabatannya lebih tinggi dari Alex yang ikut bermain dalam proyek ini. "Banyak, semua. SKPD dari Sekda sampai Kepala Dinasnya, Larso. Kalau Alex Usman siapa sih? Kepala Suku Dinas. Jadi jangan hilirnya, hulunya dong sekarang, makanya saya berani bilang jujur termasuk para saksi dan jaksa," tegas Lulung.

Ahok sendiri dalam persidangan atas terdakwa Alex Usman di Pengadilan Tipikor, Kamis (4/2) lalu mengakui dia menandatangani Perda APBD Perubahan Nomor 19 Tahun 2014 yang di dalamnya masuk anggaran pengadaan UPS. Mulanya, Ahok membantah telah menandatanganinya, dia menyebut yang menandatangani adalah gubernur sebelumnya, yaitu Joko Widodo.

Namun setelah ditunjukkan hakim bukti dokumen yang ditandatanganinya itu, Ahok mengoreksi keterangannya. "Saya koreksi, benar itu saya (yang tanda tangan), maaf saya lupa," kata Ahok yang dihadirkan sebagai saksi.

AHOK BANTAH TERLIBAT - Ahok sendiri dalam persidangan berulangkali menegaskan dirinya tak tahu menahu munculnya anggaran UPS yang kemudian jadi persoalan hukum. Dia baru mengetahui ada anggaran UPS setelah terjadi perselisihan dengan DPRD DKI soal APBD 2015. Dalam RAPBD 2015, menurut Ahok, anggaran UPS memang muncul kembali.

"Setelah APBD 2015, pihak eksekutif yang saya tanya mereka merasa tidak (tahu soal anggaran UPS), dari kami tidak ada pembahasan, tiba-tiba muncul ada," sambungnya.

"TAPD tidak pernah melapor, sampai saya curiga saya tanya, dinas pun tidak mengaku. Larso Marbun tugas utama memotong semua belanja yang tidak pantas di APBD karena beliau inspektorat. Beliau nyatakan bersih. Terakhir saya tanya ke beliau kok bisa ada minta UPS di APBD Perubahan. Beliau mengatakan saya tidak tahu itu urusan sudin," ujar Ahok di persidangan.

Pengacara Alex Usman bolak-balik bertanya soal masuknya anggaran UPS yang didakwa Jaksa pada Kejari Jakbar merugikan keuangan negara Rp81 miliar itu. Tapi Ahok banyak menjawab tidak tahu soal proses input anggaran.

Termasuk saat ditanya soal keterlibatan Alex Usman dalam pembahasan anggaran sehingga UPS bisa lolos masuk dalam APBD Perubahan 2014, Ahok mengaku tidak mengetahui. "Tidak tahu, karena pembahasan tidak terbuka," kata Ahok ditanya soal pembahasan anggaran UPS di Komisi E DPRD DKI.

Ahok juga tidak mengetahui adanya evaluasi dari Kemendagri soal anggaran UPS tersebut. "Tidak tahu. Kalau dalam KUA-PPAS ((Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara) tentu tidak boleh dan kalau nggak dalam KUA-PPAS Mendagri menolak. Makanya saya tidak tahu dokumennya bisa seperti itu, kalau merujuk 2015," paparnya.

"Kalau tidak ada yang lapor ke Bapak, siapa yang tanggungjawab?" tanya pengacara Alex. "Sesuai suratnya TAPD," jawab Ahok singkat.

Ahok juga membantah tudingan Lulung yang menyebut ada barter di balik kasus korupsi pengadaan UPS dan kasus pembelian lahan RS Sumber Waras. Ahok menegaskan tidak ada barter-barteran kasus.

"Nggak ada barter-barter. Itu UPS sudah ada sejak tahun 2013. Sudah ada loh mereka main-main mebel komputer. Kalau ada barter, ngapain gue yang buka? Enggak ada! Kalau dia ngomong barter enggak bisa. Yang patokannya KUA-PPAS. Sekarang kita ngomong deh, kalau dia fitnah barter, itu fitnah yang gobloknya minta ampun!" kata Ahok dengan nada tinggi.

Ahok menjelaskan alasannya menyebut tudingan itu sekadar fitnah. "Kenapa saya bilang fitnah itu gobloknya minta ampun? Kalau dia barter, di KUA-PPAS ada Sumber Waras dia bodoh nggak, nggak masukin UPS? Kalau kamu pinter nih, mau barter nih kan di KUA-PPAS ada Sumber Waras, kenapa di KUA-PPAS nggak ada UPS? Kalau barter waktu di KUA-PPAS kita tanda tangan, dimasukin UPS dong. Kenapa nggak? Itu saja, kalau barter ngomong dong," papar dia. (Gresnews.com/Armidis Fahmi/dtc)

BACA JUGA: