JAKARTA, GRESNEWS.COM - Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menghukum Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik dengan pidana penjara selama 9 tahun. Selain itu, jaksa juga meminta Jero untuk membayar denda Rp350 juta subsidair 4 bulan.

Tak sampai situ saja, Jero juga diminta membayar uang pengganti cukup besar yaitu sekitar Rp18,79 miliar. Jika tidak bisa membayar, maka harta bendanya disita oleh negara. Dan apabila harta itu tidak cukup, maka Jero harus mendapat hukuman tambahan selama 4 tahun kurungan.

Menurut Jaksa KPK Dody Sukomono, Jero terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Tak tanggung-tanggung, ia dijerat dalam tiga dakwaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Jero dianggap terbukti melanggar dakwaan pertama alternatif kedua yaitu Pasal 3 Juncto Pasal 18 perihal penyalahgunaan Dana Operasional Menteri (DOM), kemudian dakwaan kedua alternatif pertama yaitu Pasal 12 huruf e tentang pemerasan serta Pasal 11 tentang pemberian gratifikasi.

"Kami penuntut umum menuntut supaya majelis hakim memutus menyatakan terdakwa Jero Wacik telah terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata Jaksa Dody, Kamis (22/1) malam.

Dalam memberikan tuntutan, Jaksa juga mempunyai berbagai pertimbangan. Untuk meringankan, Jero masih mempunyai tanggungan keluarga dan belum pernah dihukum. Sedangkan memberatkan, perbuatan Jero dianggap bertentangan dengan semangat masyarakat bangsa dan negara sebagai program pemberantasan tindak pidana korupsi.

"Perbuatan terdakwa tidak memberikan teladan terhadap rakyat. Terdakwa tidak mengakui dan tidak menyesali perbuatannya," pungkas Jaksa Dody.
TAK MENERIMA - Usai persidangan, kepada para awak media Jero mengaku keberatan dengan surat tuntutan yang dilayangkan tim penuntut umum. Menurut Jero, surat tuntutan jaksa tersebut sama saja dengan surat dakwaan yang dilayangkan pada sidang perdana.

Jero menganggap jaksa tidak melihat fakta persidangan yang ada termasuk keterangan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika itu. "Fakta persidangan termasuk kesaksian Pak Wapres tidak dipertimbangkan tapi ini kan pengadilan kita hormati hak Jaksa," ujar Jero.

Politisi Partai Demokrat ini pun akan "membalas" surat tuntutan tersebut dengan nota pembelaan (pledoi) baik secara pribadi maupun penasehat hukumnya. Jero percaya, setelah pledoi nanti, majelis hakim mempunyai penilaian yang seimbang untuk memutus secara adil sesuai fakta dan barang bukti yang ada.

Secara singkat, Jero berusaha menjelaskan satu persatu mengenai surat tuntutan tersebut. "DOM Kemenbudpar? Sudah jelas saksi persidangan itu sumir sekali, kesaksian Wapres sangat besar pengaruhnya tapi tidak dipertimbangkan," tutur Jero.

Kemudian untuk dakwaan kedua tentang pemerasan, Jero juga membantahnya. Ia menyebut dalam surat tuntutan dan dakwaan, dirinya dianggap menyuruh Waryono Karno dan juga Sri Utami untuk mengumpulkan kick back terhadap perusahaan yang mengerjakan proyek ESDM.

Padahal, kick back itu disebut mulai dikumpulkan sejak Januari 2010 dan Jero sendiri baru menjadi Menteri ESDM sejak 2001 hingga Rp15 miliar. "Jadi menteri ESDM Oktober 2011 tapi saya dituduh memaksa mengumpulkan kick back," imbuhnya.

Kemudian terkait dengan dakwaan ketiga Jero lagi-lagi membantahnya. Menurut mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata ini, pemberian gratifikasi berupa pesta ulang tahun istrinya, Triesna Wacik seperti yang dituduhkan jaksa sama sekali tidak berdasar.

Sebab ketika itu yang terjadi adalah peluncuran buku oleh istrinya. Dan acara itupun dihadiri tokoh-tokoh penting termasuk Jusuf Kalla. "Pak wapres sebut itu bukan ultah tapi peluncuran buku. Jadi Pak Wapres hadir berpdato, Pak SBY hadir dan berpidato. Pramono hadir, Pak Luhut hadir, Pak Jokowi menulis tapi tidak hadir. Itu peluncuran buku bukan ultah," tutur Jero.
TUDINGAN KORUPSI SEJAK MENBUDPAR - "Kegiatan" korupsi Jero ternyata sudah dimulai sejak dia menjabat Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Alokasi DOM disediakan melalui Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) digunakan untuk kegiatan pribadi dan keluarganya, bukan kegiatan operasionalnya sebagai menteri.

Untuk alokasi anggaran DOM setiap tahun Jero menunjuk Pejabat Pelaksana Anggaran pada Satker Sekretariat jenderal Kemenbudpar saat itu Sekjen Waryatmo. Jero juga menunjuk Kepala Bagian Tata Usaha Pimpinan (Menteri) pada Biro Umum Setjen Kemenbudpar Luh Ayu Rusminingsih sebagai bendahara dalam mengurus uang DOM.

Luh lalu memerintahkan Kasubag TU Menteri Siti Alfiah untuk mengajukan permintaan uang muka DOM sesuai permintaan terdakwa selaku menteri atau untuk keperluan biaya penunjang kegiatan menteri kepada Biro Keuangan.

Untuk pencairan anggaran DOM pada bulan-bulan selanjutnya hanya dilampirkan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja (SPTB) yang ditandatangani PPK disertai bukti-bukti pertangungjawaban penggunaan uang DOM yang telah diterima bulan sebelumnya.

Setelah anggaran dicarikan kemudian Samsa (periode 2008) dan Sunhaji (periode 2009-2011) menyarahkan kepada Siti Alfiah sesuai dengan permintaan uang yang telah diajukan.

"Atas permintaan terdakwa, Luh Ayu Rusminingsih menyerahkan sebagian uang DOM secara langsung kepada terdakwa, padahal seharusnya uang DOM tersebut digunakan untuk pembayaran kepada pihak ketiga atau kebutuhan operasional menteri tetapi terdakwa meminta dan menerimanya langsung secara tunai dengan menandatangani kuitansi penerimaan uang sedangkan sisanya dikelola oleh Luh Ayu untuk operasional kegiatan menteri setiap bulan," kata Jaksa KPK Dody.

Setelah terdakwa menerima DOM secara tunai, kemudian terdakwa menggunakannya untuk keperluan pribadi, upacara adat dan acara keagamaan dan tidak didukung dengan bukti-bukti pertangggungjawaban belanja yang lengkap, valid dan sah.

Terhadap penggunaan uang DOM yang diterima langsung oleh Jero, sesuai bukti kuitansi penerimaan ternyata tidak didukung bukti penggunaannya, Maisaroh pernah menanyakan kepada Luh Ayu Rusminingsih yang merupakan atasan dari Siti Alfiah dan dijawab oleh Luh Ayu "bahwa itu sudah kebiasaan dari dulu dan bapak menteri memberikannya begitu," ujar Jaksa Dody menirukan perkataan Luh Ayu.

Dengan jawaban seperti itu, Maesaroh tidak bertanya lagi dan tidak berani menanyakan langsung kepada terdakwa selaku menteri. Luh melakukan pencatatan setiap penggunaan dan melaporkan kepada Jero antara lain uang DOM digunakan untuk pembelian bensin, transport ajudan menteri, operasional menteri, pembelian bunga.

Kemudian uang digunakan juga untuk pembayaran telepon, pembelian souvenir dan cuci cetak foto, honor bagi pengelola DOM, serta perjalanan dinas staf dan pendampingan perjalanan menteri.

Pencairan DOM 2008-200 rinciannya adalah sebagai berikut :
a. Tahun anggaran 2008.
Alokasi DOM yang didapat Jero Wacik adalah Rp300 juta setiap bulan dalam setahun sehingga jumlahnya mencapai Rp3,6 miliar. DOM yang dicairkan berkisar Rp2,113 miliar. Uang DOM yang digunakan untuk keperluan pribadi keluarga Jero sekitar Rp583,821 juta.

Untuk uang yang dipakai Jero, Luh Ayu serta Siti Alfiah dan juga Murniyati Suklani membuat pertangungjawaban DOM yang tidak menunjukkan keadaan sebenarnya yaitu biaya perjalanan dinas sejumlah Rp571,121 juta dan pembelian bunga Rp12,7 juta.

b. Tahun Anggaran 2009
Alokasi DOM adalah Rp3,6 miliar dan yang dicairkan sebanyak Rp1,387 miliar. Uang untuk keperluan terdakwa sejumlah Rp169 juta. Untuk menyamarkan, Luh Ayu dan Siti Alfiah menunjukkan pembelian bunga sejumlah Rp161 juta dan pembayaran telepon dan lain-lain sejumlah Rp8 juta.

c. Tahun Anggaran 2010
Alokasi DOM adalah sebesar Rp3,6 miliar dan yang dicairkan adalah sebanyak Rp1,956 miliar. Uang untuk keperluan pribadi terdakwa mencapai Rp252 juta. Namun Luh Ayu dan Siti Alfiah membuat laporan pertanggungjawaban untuk pembelian bunga sejumlah Rp206 juta dan pembayaran telepon dan lain-lain sekitar Rp45,95 juta.

d. Tahun anggaran 2011
Alokasi DOM adalah Rp3,6 miliar dan yang dicairkan sesuai kuitansi yang ditandatangani Jero selama 2011 sejumlah Rp1,88 miliar. DOM yang digunakan untuk keperluan pribadi keluarga sejumlah Rp65,32 juta. Sedangkan Luh Ayu dan Siti Alfiah membuat laporan yang tidak sebenarnya yaitu untuk pembelian bunga sejumlah Rp39 juta dan pembayaran telepon dan lain-lain Rp26 juta.

Inilah mungkin enaknya menjadi menteri. Jero dengan mudahnya meminta anak buahnya yaitu Luh Ayu memperhatikan keperluan keluarganya. Sehingga, Luh Ayu atas permintaan Jero harus membiayai keperluan potong rambut, pijat refleksi, hingga pembelian makanan keluarga dengan uang DOM.

Pembayaran kartu kredit ANZ atas nama Jero juga dibiayai negara. Bahkan hingga membeli peralatan persembayangan/sesaji dan keperluan keluarga menteri lainnya juga diambil dari dana negara.

Karena keperluan itu tidak dilengkapi dengan bukti-bukti pendukung, maka Luh Ayu Rusminingsih, Siti Alfiah dan Muniyati Suklani menyamarkan pertanggungjawaban penggunaan uang DOM antara lain berupa biaya perjalanan dinas, biaya protokol, operasional menteri melalui ajudan menteri dan pembelian bunga hanya sebagai formalitas kelengkapan dokumen.

Jero mungkin sadar bahwa sepintar-pintarnya menyimpan bangkai, baunya pasti tercium. Untuk itu pada Oktober 2011, ia memerintahkan Luh Ayu Rusminingsih untuk memusnahkan seluruh bukti pertanggungjawaban DOM yang dipegang atau disimpan Siti Alfiah, Luh pun menyampaikannya kepada Siti Alfiah.

Atas perbuatannya ini Jero dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 65 ayat (1) KUHP.
PAKSA KUMPULKAN DANA - Sebagai seorang pemimpin, wajar saja jika menyuruh anak buahnya melakukan sesuatu jika terkait dengan pekerjaan atau kewajibannya. Tetapi ulah Jero ini jangan ditiru, ia meminta para bawahannya untuk mengumpulkan uang demi memenuhi kebutuhan operasional. Dana Rp120 juta/bulan dirasa Jero tak cukup membiayai operasionalnya saat menjabat Menteri ESDM.

Kejadian ini bermula ketika ia baru diangkat sebagai Menteri ESDM pada 2011 lalu. Karena hanya mendapat DOM Rp120 juta/bulan, dalam rapat pada November ditahun yang sama, ia memerintahkan anak buahnya Sekjen ESDM ketika itu Waryono Karno agar belajar dari Kemenbudpar.

Waryono akhirnya bertemu Sekjen Kemenbudpar Wardiyatmo dan menanyakan bagaimana bisa mendapat DOM Rp3,6 miliar per tahun sedangkan di kementeriannya hanya Rp120 juta perbulan sehingga totalnya hanya Rp1,44 miliar.

Dalam rapat di ruang Sekjen ESDM, Waryono memerintahkan anak buahnya Kabiro Keuangan Didi Sutrisnohadi dan Indriyati menindaklanjuti perintah Jero dengan menemui kabiro keuangan dan kepegawaian Kemendbudpar.

Didi berkoordinasi dengan Wardiatmo dan menanyakan "Brurr, di tempat you kok bisa lain sendiri?" dan dijawab Wardiatmo "Aku sudah mau pensiun, ya kalau itu salah jangan ditiru," kata Jaksa KPK lainnya Yadyn menirukan percakapan tersebut.

Waryono dan Didi melaporkan kepada Jero jika tidak dapat menganggarkan DOM lebih dari 120juta/bulan. Sebabnya anggaran DOM di Kemenbudpar sebesar Rp3,6 miliar per tahun ternyata dianggap janggal oleh BPK setelah melakukan audit. Namun, Jero tetap meminta agar menyediakan biaya operasionalnya di ESDM seperti yang diterima di Kemenbudpar.

"Sebagai tindak lanjut, masing Kabiro dan Kapus mengumpulkan dana yang berasal dari kegiatan pengadaan barang/jasa yg antara lain diperoleh dengan cara membuat pertanggungjawaban fiktif atas kegiatan pengadaan dan melakukan pemotongan atas pencairan dana yang diajukan rekanan. Kemudian hasilnya digunakan untuk memenuhi permintaan uang dari Jero," terang Yadyn.

Dalam beberapa kali kesempatan, Jero meminta uang untuk keperluan pribadinya. Berikut perinciannya :

1. Permintaan uang untuk keperluan pribadi Jero sejumlah Rp760jt. Permintaan ini berawal pada 3 November 2011, ia menyampaikan kepada Waryono adanya kebutuhan Rp50 juta. Waryono kemudian memerintahkan anak buahnya dan setelah uang itu disiapkan, ia langsung menghubungi ajudan Jero untuk mengambilnya.

Permintaan ini terus berlanjut pada tanggal dan bulan berikutnya dengan jumlah yang berbeda. Diantaranya ada permintaan Rp100 juta beberapa kali, lalu juga Rp10 juta. Sehingga dalam kurun waktu 3 November 2011 hingga 20 April 2012 berjumlah Rp760 juta.

2. Permintaan uang untuk keperluan pribadi Jero sejumlah Rp2 miliar. Para pegawan ESDM tampaknya melayani dengan baik bosnya ini. Hal itu terbukti dari berbagai usaha yang dilakukan untuk memenuhi permintaan Jero Wacik.

Para pegawai mengumpulkan dana dari imbalan (kickback) para perusahaan rekanan yang mendapat proyek di ESDM. Alhasil, permintaan mendadak Jero yang meminta uang secara mendadak sebanyak Rp2 miliar tidak sulit untuk diwujudkan.

3. Selanjutnya Jero juga meminta uang untuk keperluan pribadinya sebanyak Rp3,6 miliar. Uang ini diambil dari pagu anggaran rapat-rapat ESDM pada 2012.

4. Jero Wacik memang luar biasa. Ia tidak hanya meminta kegiatan pribadinya dibiayai negara, tetapi pesta ulang tahun istrinya Triesna Jero Wacik, peluncuran buku "Adilkriya Sulam Indonesia", dan "Jero Wacik di Mata 100 Tokoh" yang kesemuanya dilangsungkan di lokasi mewah Hotel Dharmawangsa, hingga makan malam pun dibiayai negara.

Anggaran yang dikeluarkan dari seluruh kegiatan pribadi dan keluarganya pun cukup besar, yaitu berkisar Rp1,9 miliar. Anggaran tentu didapat dengan memaksa para anak buahnya mencari dana untuk keperluannya itu.

5. Meskipun berbagai kegiatan yang dilakukan berasal dari uang korupsi, tetapi Jero berusaha menutupi hal itu dengan melakukan pencitraan di media massa. Ia pun memilih Indopos dan melakukan kontrak kerja senilai Rp3 miliar.

Pertemuan pun dilakukan untuk membahas hal ini. Waryono, bersama beberapa pejabat eselon I Kementerian ESDM bertemu dengan pimpinan redaksi Indopos, Muhammad Noer Sadono atau yang lebih dikenal dengan nama Don Sardono.

Dari pertemuan itu, disepakati kontrak kerja sebesar Rp3 miliar dalam satu tahun. Biaya itu sudah meliputi biaya konsultasi pengembangan isu, perencanaan berita, reportasi, editing sampai penayangan berita postif ESDM di tiga media Jawa Pos Group yakni Indopos, Rakyat Merdeka dan Jawa Pos.

Namun dari nilai kontrak Rp3 miliar, ESDM hanya mempu membayar Rp2,5 miliar. Sebab kekurangan uang Rp500 juta belum dibayarkan kepada Don karena uang kickback dari rekanan penyedia jasa konsultasi di Setjen ESDM tidak mencukupi jumlahnya.

6. Permintaan uang untuk Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparringa Rp610 juta.

Walaupun mengeluh DOM tidak mencukupi, ternyata hal itu bukan menjadi penghalang bagi Jero untuk memperlihatkan kekuasaan yang dimiliki kepada para koleganya. Jero memberikan "bantuan" kepada rekannya yaitu Daniel Sparringa yang saat itu menjabat Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik sebesar Rp25 juta/bulan dengan nilai total Rp610 juta.

Kejadian ini berawal pada September 2011, Daniel menyampaikan keluhannya kepada Djoko Suyanto yang kala itu menjabat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polhukam) bahwa anggaran yang diterimanya sangat kecil yaitu Rp1,4 miliar.

Beberapa minggu kemudian, Djoko menyampaikan hal itu kepada Jero, dan selanjutnya, Jero memerintahkan anak buahnya yaitu Waryono Karno, Didi Dwi dan Sri Utami untuk membantu rekannya itu. "Tolong itu dibantu operasionalnya Daniel Sparringa Rp25 juta," imbuh Jaksa Yadyn menirukan permintaan Jero.

Selanjutnya pada November 2011, Daniel bertemu dengan Jero ketika rapat kabinet di Istana Presiden. Saat itu Jero mengatakan kepada Daniel bahwa sudah bertemu dengan Djoko Suyanto dan sudah membicarakan kebutuhan dana operasional dan ia akan membantu Rp25 juta/bulan.

"Bahwa terdakwa menerima hadiah uang dari Waryono, Didi Dwi, Arief Indarto, Rida Mulyana, Ego Syahrial, Susyanto, Agus Salim, Indriyati, Sri Utami, Dwi Hardhono selama 2011 s/d 2013 seluruhnya sejumlah Rp10,381 miliar" terang Yadyn.

Atas perbuatannya itu, Jero dijerat dengan Pasal12 huruf e jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 65 ayat (1) KUHAP atau pasal 11 Jo Pasal 18 UU Tpikor jo Pasal 65 ayat (1) KUHP

Karena dakwaan ini disusun secara alternatif, maka Jero juga bisa dijerat dengan Pasal 11  jo Pasal 18 UU Nomor 31 Thn 1999 tentang Pemberantasan Tipikor yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

DAKWAAN KETIGA TERIMA UANG DARI WAKETUM KADIN - Bila hendak mengadakan pesta ulang tahun di tempat mewah diperbolehkan saja asal dana yang digunakan berasal dari uang halal. Tetapi hal itu tidak terjadi dalam diri Jero Wacik. Tak hanya istrinya, Jero juga mengadakan pesta ulang tahun yang dananya meminta kepada pihak lain.

Lokasi digelarnya acara ulang tahun ini pun sama, yaitu Hotel Dharmawangsa. Entah mengapa Jero tampak menyukai hotel ini, sebab beberapa kali acara yang tertera dalam surat dakwaan memang dilangsungkan di lokasi itu.

Jero meminta bawahannya untuk menyiapkan uang untuk menggelar pesta ulang tahunnya. Acara itu berlangsung pada 24 April 2012 berupa makan malam. Setelah itu, Hotel Dharmawangsa memberikan invoice pembayaran sekitar Rp379 juta.

Tetapi, Arief Indarto yang kala itu menjabat Kepala Pusat Data dan Informasi ESDM sudah membayar uang muka sebesar Rp30 juta yang berasal dari sisa dana ulang tahun dan peluncuran buku Triesna Wacik. Sehingga, kekurangan dana sekitar Rp349 juta.

Arief Indarto kemudian melaporkan tagihan itu kepada Waryono Karno. Atas tagihan itu Waryono memerintahkan Arief menemui Herman Afif Kusumo, yang merupakan Komisaris Utama pada Grup perusahaan PT Trinergi Mandiri Internasional dan juga sebagai Waketum Bidang Energi dan Pertambangan di Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) yang mempunyai hubungan dengan ESDM.

Sebelumnya Herman Afif Kusumo pernah menemui terdakwa di kantor ESDM. Setelah itu, Herman juga bertemu dengan Arief Indarto yang saat itu menyampaikan "Tolong bisa carikan dana sekitar Rp300 juta" yang menurut Arief Indrianto untuk membayar makanan pada acara ulang tahun Jero sekitar 2012.

Selanjutnya Arief Indrianto menemui Herman di Menara Global di Jalan Jenderal Gatot Subroto untuk menyerahkan bukti tagihan (invoice) tersebut pada Herman.

"Kemudian 12 Juni 2012, Herman memerintahkan stafnya yang bernama Ali Rahman melakukan pembayaran penyetoran ke rekening BNI Patra Jasa nomor rekening 0195506738 atas nama Puri Dharmawangsa Raya Hotel sejumlah Rp349.065.174 sebagai pembayaran ulang tahun Jero Wacik," tutur Jaksa Yadyn.

Atas perbuatannya itu, Jero pun dikenai Pasal 11 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi uu no 20 tahun 2001. Dan ini menjadi tuduhan ketiga Jero yang tertera dalam surat dakwaan Jaksa KPK.

BACA JUGA: