JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kehadiran Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai saksi dalam sidang terdakwa mantan Menteri ESDM Jero Wacik memberikan kesan tersendiri. Di satu sisi, kehadiran orang nomor dua di RI itu memberikan arti bahwa siapapun memiliki prinsip dan kedudukan yang sama dihadapan hukum.

Namun disisi lain, kesaksian yang disampaikan pria yang kerap disapa JK ini mengundang kontroversi. Setidaknya ada dua pernyataan JK yang menjadi pertanyaan baik oleh Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Kedua pernyataan kontroversial itu terutama berkaitan dengan penggunaan Dana Operasional Menteri (DOM) serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Pertama, JK menyebut bahwa penggunaan DOM tidak perlu dipertanggungjawabkan sebab sudah menjadi hak seorang menteri.

Kemudian untuk yang kedua, ia mengatakan bahwa saat ini dasar KPK untuk menjerat Jero dengan PMK Nomor 03 tahun 2006 sudah tidak berlaku lagi. Sebab, peraturan tersebut telah dicabut dan diganti oleh PMK Nomor 268 Tahun 2014. Padahal, kejadian perkara yang melibatkan Jero berada dalam kurun waktu 2008 hingga 2011.

Kedua hal ini tentu saja menjadi pertanyaan tersendiri baik oleh jaksa KPK maupun majelis hakim. Tetapi berbeda dengan Jero yang justru mendukung pernyataan yang dilontarkan JK. Maklum saja, kehadiran JK kali ini memang sebagai saksi meringankan untuk Jero Wacik.

Lebih jauh JK menjelaskan bahwa pemerintah, mempunyai dana taktis yang dapat dibelanjakan oleh seorang menteri. JK menyebut dana ini bisa digunakan secara leluasa tetapi dengan catatan untuk keperluan yang baik.

Alasan diberikannya dana tersebut, karena gaji pokok seorang menteri dianggap kecil hanya sekitar Rp19 juta. Dengan gaji tersebut, para menteri dianggap akan sulit menjalankan tugas kenegaraan sebagai pembantu presiden.

Atas dasar itulah para menteri mempunyai dana taktis dan akhirnya diresmikan menjadi Dana Operasional Menteri (DOM). Pada awalnya, penggunaan dana ini diatur dalam PMK Nomor 03 Tahun 2006. Tetapi peraturan itu dianggap terlalu ketat sehingga dicabut dan dirubah dengan PMK Nomor 268 Tahun 2014.

"Dom itu suatu diskresi seorang menteri dan dikeluarkan secara lumpsum (penarikan sekaligus-red)," kata JK di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (14/1).

JK tampaknya tidak mempermasalahkan jika penggunaan DOM dilakukan demi kepentingan pribadi. Sebab menurutnya, jabatan tersebut melekat baik ketika dalam bertugas maupun tidak bertugas.

Ia mencontohkan dalam hal pengeluaran DOM untuk berolahraga. Menurut JK, menteri tidak mempunyai fasilitas dari negara untuk berolahraga. Padahal, olahraga dianggap penting untuk menjaga kesehatan demi meningkatkan kinerja sebagai menteri.

"Kalau menteri pariwisata harus mengundang relasi, undang makan. Itu dana untuk memudahkan tugasnya dan sulit untuk memisahkan makna menteri disaat bertugas sama kesehariannya," pungkas JK.

Mendengar hal itu, Jaksa KPK Yadyn mempertanyakan apakah penggunaan DOM sesuai PMK 268 bisa diperuntukkan untuk kepentingan pribadi, bukan kepentingan dinas. Sebab, pernyataan JK itu terlihat janggal karena DOM berasal dari dana APBN yang seharusnya digunakan dalam pekerjaan.

"Saya bilang menteri sulit dipisahkan tugas dinas sehari-hari dan menteri. Harkat menteri ini akan selalu berjalan. Maka harus ada dana untuk memenuhi yang tidak tercover," pungkas JK.

JK juga menjelaskan, PMK Nomor 268 Tahun 2014 aturan dalam penggunaan DOM memang lebih fleksibel. Hal ini dimaksudkan supaya para menteri bisa menjalankan tugasnya dengan baik tanpa ada kekhawatiran dana operasional.

"Dalam perspektif keuangan, penggunaan DOM di satu sisi juga melekat pertanggungjawaban keuangan negara?" tanya Jaksa Yadyn. JK pun mengamininya, tetapi pertanggungjawaban itu tidak perlu dilakukan secara rinci.

Jaksa KPK lainnya, Wayan juga menanyakan bagaimana mekanisme penggunaan dana DOM yang merujuk pada PMK 2003 dalam Pasal 7 mengenai pertanggungjawaban pemakaian. "Dikembalikan prinsip dasar DOM. Hal yang penting bersifat lumpsum, tidak lagi diharuskan memberikan bukti-bukti," kata JK.

JK MINTA JERO TAK DIHUKUM - Kontroversi kesaksian JK tidak hanya sampai situ. Dalam keterangannya, politisi senior Partai Golkar ini juga meminta hakim tidak menghukum Jero dengan PMK Nomor 03 Tahun 2006. Alasannya, aturan itu telah dicabut dan diganti dengan PMK Nomor 268 Tahun 2014.

Padahal, tindak pidana yang dilakukan Jero dilakukan pada kurun waktu 2008-2011 mengenai penyalahgunaan DOM yang digunakan untuk pribadi. Dan PMK Nomor 268 Tahun 2014 ketika itu belum disahkan oleh pemerintah.

"Dalam PMK Nomor 03 Tahun 2004 tentu ini sudah dicabut, saya yakin hakim yang mulia tidak akan memakai peraturan yang sudah dicabut," ujar JK.

Hakim anggota Tito Suhut juga menanyakan, pada saat kasus Jero bergulir yaitu pada 2008 hingga 2011 lalu aturan mana yang dipakai pemerintah dalam penggunaan DOM. Mendengar hal ini, JK pun mengakui bahwa saat itu yang menjadi dasar penggunaan adalah PMK Nomor 03 Tahun 2006.

"Jero didakwa 2008-2011, kalau tidak ada di PMK 2006 kata-kata lumpsum, kalau pertanggungjawaban lumpsum itu gimana?" tanya Hakim Ketua Sumpeno yang tampak bingung dengan keterangan JK.

Alih-alih menjawab pertanyaan, JK justu kembali menegaskan bahwa saat ini PMK Nomor 3 Tahun 2006 itu tidak lagi digunakan. "Saya enggak mau berandai, tapi kalau sudah dicabut, ya sesuai PMK 268 itu," tuturnya.

Usai sidang, Jaksa KPK Yadyn tampak enggan menanggapi kesaksian yang diutarakan JK. Meskipun begitu, mereka tetap bersikeras akan menggunakan PMK Nomor 03 Tahun 2006 sebagai dasar hukum untuk menjerat Jero Wacik.

"Hukum positif tidak bisa berlaku surut. Tidak bisa berlaku surut kan retroaktif. Jadi retroaktif itu tidak bisa berlaku terhadap hukum positif terhadap locus dan tempus delictinya, terhadap waktu dan tempat kejadianya. Apa yang berlaku pada saat itu, momentum UU positif yang digunakan," ujar Yadyn.

 
 

BACA JUGA: