JAKARTA, GRESNEWS.COM - DPR RI menyatakan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat berasal dari institusi atau jabatan profesional apa pun, karena adanya sifat kekhususan yang dimiliki KPK. Hal itu disampaikan anggota Komisi III DPR RI John Kenedy Aziz yang mewakili DPR selaku pembuat undang-undang saat memberikan keterangan dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) di Mahkamah Konstitusi.  

Sebelumnya pengacara kondang Otto Cornelis Kaligis atau yang akrab disapa OC. Dalam permohonan perkara perkara Nomor 109/PUU-XIII/2015,  Kaligis menggugat pasal Pasal 45 UU KPK tentang kewenangan KPK dalam mengangkat penyidik. Kaligis yang ditetapkan tersangka terkait kasus  suap hakim Pengadilan Tata Usaha (TUN) Medan , menilai penetapan dirinya sebagai tersangka tidak sah.

Alasannya ia ditetapkan oleh penyidik KPK yang  pengangkatannya tidak sah. Menurut Kaligis, KPK tidak berhak mengangkat penyidik, karena tugas penyidik hanya dimiliki oleh Kepolisian sebagaimana yang telah ditetapkan dalam KUHAP dan UUD 1945.

John menilai kedudukan penyidik KPK yang tercantum dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) yang menyatakan KPK berhak mengangkat dan memberhentikan penyidik tidaklah berdiri sendiri. Menurutnya, Pasal 45 UU KPK itu memiliki keterkaitan dengan Pasal 21 UU KPK. Pasal 21 ayat 1 mengatur tentang komposisi KPK yang terdiri dari pimpinan, tim penasehat dan pegawai KPK.

Selain itu, dalam Pasal 21 ayat 4 UU KPK juga ditegaskan, bahwa Pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum. Pimpinan KPK dalam pelaksanaannya juga memiliki kewenangan untuk mendistribusikan tugas dan wewenangnya kepada penyidik dan penuntut umum yang diangkat oleh KPK sebagaimana yang diatur dalam Pasal a quo.

"Pasal 21 itu menentukan bahwa seluruh pimpinan KPK dari mana pun asal institusinya dapat menjadi penyidik dan penuntut umum,  dalam perkara korupsi yang ditangani KPK," kata John saat memberikan keterangan di MK, rabu (2/12).

Artinya penyidik KPK dapat berasal dari institusi/jabatan profesional apa pun karena sifat kekhususan lembaga itu. Ia menambahkan, permohonan pemohon yang berasumsi bahwa tiga orang penyidik KPK yang menangani kasus OC. Kaligis, yang bernama Ambarita Damanik, Riska Anungnata, dan Yudi Kristiana bukanlah penyidik yang sah sesuai dengan ketentuan UU KUHP bukanlah ranah konstitusi yang harus ditangani oleh MK.

"Seharusnya pemohon dapat mengajukan permohonan praperadilan jika memang memiliki bukti kesalahan penyidik dalam menetapkan status tersangka pemohon," katanya.

Lebih jauh ia mengatakan, jika pemohon mempersoalkan keabsahan penyidik KPK sesuai dengan permohonan a quo, ia berpendapat bahwa permohonan judicial review yang disampaikan pemohon ke MK ini salah sasaran. John menegaskan, bahwa posisi penyidik KPK adalah penyidik khusus karena lembaga Anti Rasuah itu bersifat extraordinary.

Dengan demikian, lanjutnya, seluruh instrumen yang dimiliki KPK diatur sedemikian rupa dengan mengabaikan ketentuan umum yang berlaku dalam hukum acara peradilan umum.

"Tapi dengan kekhususan itu penyidik yang berasal dari institusi kepolisian dan/atau kejaksaan harus diberhentikan terlebih dulu dari ikatan institusi lamanya untuk menunjang profesionalisme kinerja di lembaga KPK. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 39 ayat 3 UU KPK," tegasnya.

TETAP PADA KEYAKINAN - Kuasa hukum OC.Kaligis Muhammad Rullyandi mengatakan, pada intinya kita tetap pada pendiriannya, bahwa penyidik itu harus dari kepolisian. Ia menjelaskan, alasan yang fundamental adalah lembaga KPK dibentuk dengan alasan guna membantu lembaga kepolisian dalam menangani kasus yang khusus berkaitan dengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dengan demikian, penyidik KPK harus berasal dari Kepolisian.

Ia menambahkan, penyidik independen yang ada di KPK sebagaimana dijelaskan oleh pihak terkait dalam persidangan tidak lebih dari penafsiran yang sifatnya subjektif dari KPK. Menurutnya, itu dilakukan karena KPK hendak memperluas kewenangannya sendiri.

Ia beralasan, ketentuan Pasal 39 UU KPK yang menyatakan penyidik KPK harus diberhentikan sementara oleh lembaga atau instansi Kepolisian Republik Indonesia itu juga dapat memperkuat argumentasinya, yakni penyidik haruslah dari Kepolisian, sebab posisi penyidik KPK yang diperbantukan oleh kepolisian pada dasarnya adalah penyidik dari Kepolisian, bukan penyidik independen.

"Padahal lembaga itu didirikan karena membantu tugas kepolisian, makanya penyidiknya harus polisi, kan begitu logikanya kan?" ujarnya.

Ia pun mencontohkan, dalam permohonan Praperadilan yang diajukan mantan Ketua BPK RI Hadi Poernomo juga mempersoalkan tentang status penyidik KPK. Kata dia, Hadi mempersoalkan pengangkatan penyidik KPK secara independen yang menurutnya bertentangan dengan KUHAP dan UUD 1945.

"Makanya kita akan tetap bertahan pada keyakinan kita, harusnya penyidik tetap dari kepolisian,” katanya,  yang mengaku akan mempertahankan argumentasinya hingga MK memutuskan perkara.

OTAK PENGKONDISIAN DANA BANSOS – Mantan Dewan Penasehat Bidang Hukum Partai NasDem, OC. Kaligis diduga memiliki peran penting dalam pengamanan atau pengkondisian terkait kasus penyelewengan Dana Bansos di Provinsi Sumatera Utara. Selaku pengacara yang sudah merasakan asam garam puluhan tahun di bidang hukum dan peradilan ini, OC.Kaligis bukanlah pemain ecek-ecek. Ia ditengarai menjadi aktor intelektual pengkondisian dana Bansos mulai dari PTUN hingga ke Kejaksaan Agung RI.

Dugaan itu perlahan-lahan terungkap ke publik. Melihat perjalanan kasus tersebut, penyidik setidaknya telah membongkar peran OC.Kaligis dalam mengkondisikan Hakim PTUN Medan melalui anak buahnya yang bernama M. Yagari Bhastara alias Gary sebagai kurir pemberi uang untuk Hakim PTUN. Atas dugaan tersebut, Jaksa Penuntut Umum pun mendakwa OC.Kaligis memberikan perintah kepada Gary untuk memberikan suap kepada Hakim PTUN Medan untuk mempengaruhi putusan terkait perkara Dana Bansos di Sumatera Utara.

Atas keyakinannya, Jaksa telah menuntut OC.Kaligis dengan tuntutan 10 tahun penjara. Dalam pertimbangannya, Jaksa menilai bahwa OC Kaligis terbukti melakukan pengkondisian dengan menyuap majelis hakim dan panitera PTUN di Medan sebesar 27.000 dollar AS dan 5.000 dollar Singapura.

Penyuapan atau pengkondisian terhadap sejumlah hakim dan panitera PTUN Medan itu dilakukan dengan tujuan untuk mempengaruhi putusan gugatan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara atas pengujian kewenangan Kejati Sumatera Utara terkait penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi dana Bansos, Bantuan Daerah Bawahan (BDB), dana BOS, Tunggakan Dana Bagi Hasil (DBH), dan penyertaan modal sejumlah BUMD pada Pemerintah Provinsi Sumut.

Tidak selesai disitu, dalam kasus ini juga terbongkar bahwa pengkondisian perkara dana Bansos Provinsi Sumatera Utara ini tidak hanya selesai di PTUN Medan saja, akan tetapi hingga ke Kejaksaan Agung. Sebab, sebelum operasi tangkap tangan oleh KPK terhadap salah satu anak buah OC.Kaligis yaitu Gary. Diketahui, Wakil Gubernur Sumut, Tengku Erry telah melaporkan dugaan adanya penyelewengan atau korupsi dana Bansos ke Kejaksaan Agung yang melibatkan Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho.

Hal itu sempat diungkap oleh istri kedua Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho yang kini telah ditetapkan tersangka oleh KPK, yaitu Evy Susanti. Evy mengakui menggunakan OC.Kaligis untuk menyelesaikan persoalan hukum yang menjeratnya baik di PTUN Medan maupun di Kejaksaan Agung. Posisi OC.Kaligis yang merupakan Dewan Penasehat Partai NasDem pun memiliki power untuk meredam kasus dugaan penyelewengan dana Bansos tersebut.

Bagaimana tidak, Wakil Gubernur Sumatera Utara yang sempat melaporkan dugaan Korupsi Dana Bansos ke Kejagung adalah kader Partai NasDem. Evi Susanti pun mengakui selain meminta OC.Kaligis untuk menangani perkara yang tengah membelitnya di PTUN Medan, ia juga meminta agar Partai NasDem dapat memfasilitasi perdamaian konflik antara suaminya yang saat itu menjabat Gubernur Sumut dengan Wakil Gubernur Tengku Erry yang melaporkan dugaan penyelewengan Dana Bansos ke Kejaksaan Agung.

Sehingga terjadi pertemuan di Kantor DPP NasDem atas rencana Evy, yang dihadiri oleh OC.Kaligis, Sekjen DPP Partai Nasdem Rio Patrice Capella, dan Kakak Kandung Ketua Umum DPP NasDem Surya Paloh, yaitu Rusdi Paloh.

Dalam Persidangan tersangka Sekjen DPP NasDem, Rio Patrice Capella pada hari Senin (23/11) lalu di Pengadilan Tipikor, Gubernur Sumut non aktif, Gatot Pujo  yang ketika itu menjadi saksi mengakui telah memberikan uang untuk Rio Capella sebesar Rp200 juta melalui anak buah OC, bernama Fransiska Insani Rahesti.

Selain itu, dalam persidangan juga terungkap bahwa Gatot telah memberikan uang sebesar USD 150 ribu kepada OC.Kaligis guna menyelesaikan kasus yang ditangani Direktorat Pidana Khusus Kejagung.

Ketika disinggung oleh Hakim Artha Theresia Silalahi apakah uang itu ditujukan untuk Jaksa Maruli (Dirdik Pidana Khusus Kejagung), Gatot pun berdalih uang yang diberikannya kepada OC.Kaligis itu bermaksud untuk mendudukan perkara yang sebenarnya pada penyidik Kejaksaan Agung.

"Bukan urus perkara, tapi mendudukan perkara karena sejak awal pemanggilan staf dan Biro Keuangan masih dalam proses penyelidikan tapi sudah mencantumkan saya Gatot Pujo Nugroho Gubernur Sumut sebagai tersangka kasus korupsi. Saya belum pernah diperiksa," kata Gatot menjawab pertanyaan Hakim Theresia di Pengadilan Tipikor, Senin (23/11) lalu.

Diketahui sebelumnya kasus dugaan korupsi Dana Bansos di Sumatera Utara ini merupakan skandal kasus terbesar yang ditangani KPK di tahun 2015 ini. Kasus ini dikatakan sebagai kasus korupsi berjamaah terbesar di Provinsi Sumatera Utara. belakangan kasus ini menyeret sejumlah nama seperti Mantan Sekjen DPP Partai NasDem Rio Patrice Capela. Kasus ini belakangan juga menguak kasus lain yakni kasus pengamanan interpelasi oleh Gatot Pujo kepada anggota DPRD Sumatera Utara. (Rifki Arsilan)

BACA JUGA: