JAKARTA, GRESNEWS.COM - Desakan agar persidangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) atas kasus anggota pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto-Fadli Zon dilakukan secara terbuka semakin kencang. Setya dan Fadli yang menghadiri acara sumpah setia kandidat Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump, itu dianggap menyalahi kode etik selaku wakil rakyat sehingga perlu digelar sidang MKD.

Namun ternyata, dalam aturan perundang-undangan jelas mengatur persidangan MKD memang boleh saja dilakukan secara tertutup. Diketahui dalam Pasal 15 Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara MKD DPR RI memang disebutkan sidang MKD dilakukan tertutup, kecuali dinyatakan terbuka oleh sidang MKD. Bahkan pimpinan dan anggota MKD wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dari sidang MKD.

Sayangnya, jika benar sidang harus digelar tertutup, tentu kasus ini berpotensi untuk dibelokkan tak sejalan dengan ketentuan seharusnya.

Beberapa imbauan membuka persidangan kepada publik diantaranya diusulkan oleh Wakil Ketua MKD Junimart Girsang. Juga oleh sejumlah partai seperti Nasdem, PDIP, Demokrat, dan Hanura. Usulan tersebut dilakukan dengan tujuan supaya rakyat bisa ikut mengawasi jalannya persidangan.

PERMINTAAN TAK DIBUKA KE PUBLIK - Namun, pada tanggal 17 September 2015, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah meminta agar pengusutan kasus Setya Novanto-Fadli Zon dengan Donald Trump tidak dibuka ke publik. Politisi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menyatakan hal tersebut melalui surat bernomor PW/13895/DPR RI/IX/2015. Kontan saja surat ini mendapat reaksi keras dari sejumlah kalangan.

"Saya menilai surat tersebut, surat yang tak bertanggungjawab," kata anggota Komisi III Taufiqulhadi keepada gresnews.com, Jumat (25/9).

Ia menyatakan dalam persidangan-persidangan MKD sebelumnya tak ada aturan yang menyatakan ketentuan terbuka atau tertutupnya persidangan. Namun, memang sidang sebelumnnya paling banyak dilakukan secara tertutup dengan hasil akhir yang baru diberitahukan kepada publik.

Tetapi, tindakan yang dilakukan Novanto dan Fadli terkait pertemuannya tersebut dikategorikan terkait dengan harga diri rakyat Indonesia, sehingga sudah semestinya dilakukan transparansi persidangan. Apalagi DPR sedang membangun prinsip parlemen modern dimana salah saatu konsepnya merupakan aksesibilitas publik yang semakin luas untuk mengetahui tindak-tanduk para anggota dewan di Senayan.

"Tidak boleh Fahri melakukan itu, karena apa yang dilakukannya merupakan intervensi yang paling buruk," katanya.‎

Menurutnya, jika intervensi dengan cara tersebut masih saja dilakukan dan dikabulkan, maka DPR tak pantas disebut sebagai sebuah parlemen modern. Sebab perilaku pimpinan yang tidak sesuai, kemudian sedang berjalan proses pengusutan dan klarifikasi kesalahan tak boleh dimintakan persidangan tertutup.

Seharusnya, sebagai pimpinan DPR, Fahri haruslah memberikan dukungan atas pengusutan yang sedang dijalankan MKD. Sebab, MKD sedang melakukan tanggung jawab kepada rakyat dalam mengontrol etika para anggotanya.

Ia pun berencana mempertanyakan dan meminta klarifikasi penyuratan tersebut dalam sidang paripurna. "Fahri harus menjelaskan kenapa dan apa tujuan meminta penyelidikan kasus secara tertutup," katanya.

PERLU TRANSPARANSI - Taufik pun berharap pengusutan kasus Donald Trump yang melibatkan kedua pimpinan DPR ini terus berlanjut. Transparasi kepada publik terhadap setiap penyelidikan kasus anggota dewan juga mutlak dilakukan. Sebab tak hanya kasus nyata yang harus dipublikasikan, segala tindak tanduk sekecil apapun dari anggota dewan rakyat pun harus mengetahuinya.

"Selama ini persidangan dilakukan tertutup itu lantaran berkenaan dengan etika personal, bukan etika publik seperti yang dilakukan keduanya," katanya.

Ia pun menyontohkan gelaran sidang yang dapat dikategorikan tertutup untuk menjaga nama baik anggota dewan, yakni semisal dilaporkan akibat perselingkuhan atau perlakuan seksualitas di tempat umum. Persidangan macam itu tentu saja harus dilakukan tertutup karena pengusutannya bisa saja membuka aib anggota dewan atau saksi terkait.

"Tapi yang kini dihadapi merupakan ketidakpatutan seorang pemimpin yang mempermalukan rakyat. Persoalan publik yang harus dketahui publik karena seluruh Indonesia juga sudah mengetahui kasuus ini," katanya.

Apalagi, diketahui, sebagai pemimpin DPR, Novanto dan Fadli merupakan simbol parlemen demokrasi yang  juga merupakan representasi kedaulatan rakyat. "Ini hanya masalah kebijakan saja dari MKD," ujarnya.

BERTEMU KANDIDAT PRESIDEN AMERIKA SERIKAT - Polemik ini dipicu oleh kehadiran pemimpin dan sejumlah anggota DPR di gedung Trump Tower, New York, pada Kamis tiga pekan lalu. Setelah menyampaikan sumpah setia, Trump memperkenalkan Ketua DPR Setya Novanto di hadapan ratusan pendukungnya. Setya, yang berdiri di sisi kanan Trump, menyatakan orang Indonesia menyukai pendiri lisensi Miss Universe itu.

Penelusuran gresnews.com mendapati ada 21 orang dari rombongan DPR yang bertolak ke New York, Amerika Serikat, untuk menghadiri Forum Parlemen Sedunia. Beberapa di antaranya Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Nurhayati Ali Assegaf, Aziz Syamsuddin, Tantowi Yahya, dan Michael Watimena. Dari rombongan itu juga ada Nurul Arifin sebagai anggota staf dan tenaga ahli Ketua DPR.

Sebagian anggota rombongan itu memilih pulang seusai acara forum parlemen. Tapi sebagian lain, seperti Setya, Fadli, Tantowi, dan Nurul, memilih memperpanjang kunjungan di New York.

Kasus ini menyedot perhatian publik setelah imam Masjid Besar New York, Shamsi Ali, membuat pernyataan kepada sejumlah media atas kehadiran Ketua DPR Setya Novanto dan Fadli Zon dalam kampanye calon presiden Donald Trump. Shamsi Ali menyebut bahwa apa yang diperbuat wakil rakyat di kampanye Donald Trump itu jelas merendahkan martabat bangsa Indonesia.

Shamsi menjelaskan di penghujung acara kampanye, sebenarnya Setya Novanto dan rombongan hampir terlupakan. Namun rupanya ada yang mengingatkan tentang adanya tamu anggota DPR dari Indonesia sehingga Donald Trum yang semula hendak pergi berbalik kembali dan memperkenalkan Ketua DPR dengan cara yang dianggap Shamsi melecehkan.

Minimal, lanjut Shamsi, ada dua kalimat yang perlu digaris bawahi: 1) dikatakan oleh Donald Trum  ´we would do great thing for US dan pak ketua (Setya Novanto, red) hanya manggut-manggut. 2) Do they love me in Indonesia? Pak ketua (Setya Novanto, red) menjawab; yes highly.

"Kedua jawaban yang diberikan oleh pak Ketua tidak pantas," tegas Shamsi Ali.

Menurut Shamsi dengan kehadiran DPR di acara DT itu, dengan sendirinya merendahkan diri sendiri dan martabat bangsa. "Siapa DT yang memperlakukan seorang ketua DPR/wakil, (coba sekali lagi videonya) demikian? Setelah selesai acara ditinggalkan saja demikian seperti orang kebingungan," ujarnya.

BISA DINONAKTIFKAN - Menanggapi hal ini pengamat hukum tata negara Andi Irman Putra Siddin menyatakan langkah yang dilakukan Fahri tidaklah menyalahi aturan. "Tidak ada masalah ketika meminta tak dipublikasikan selama ada alasan yang sah untuk dipertanggungjawabkan," katanya kepada gresnews.com, Jumat (25/9).

Namun, ia menyatakan Novanto dan Fadli bisa saja dinonaktifkan ketika MKD menyatakan terdapat pelanggaran serius atas kasus mereka. Sebab, sudah jelas dalam Pasal 86 ayat 1 Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR. DPRD dan DPD (MD3) dinyatakan jabatan wakil rakyat fungsinya sebagai juru bicara masyarakat.

Tentu sebagai juru bicara masyarakat, wajar dilakukan persidangan ketika masyarakat tak puas dengan kinerja mereka. Apalagi, ditengarai banyak pihak kedua pemimpin DPR ini ikut dalam kegiatan kampanye Trump.

Untuk itu, sesuai Pasal 119 UU MD3, MKD bisa mengusut kasus ini untuk mengategorikannya sebagai pelanggaran kode etik atau tidak. "Mengenai terbuka atau tertutup, itu tergantung MKD saja, kan kewenangan ada di tangan mereka," katanya. (dtc)

BACA JUGA: