JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemberian cendera mata dari calon presiden Amerika Serikat Donald Trump kepada para anggota DPR RI diributkan publik. Para wakil rakyat itu, didesak  melaporkan hasil pemberian tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pasalnya, penerimaan tersebut diduga terkait dengan jabatan mereka sebagai wakil rakyat dan menjadi salah satu poros penentu kebijakan luar negeri di Indonesia. Donal Trump sepertinya melihat hal ini, sebab tak mungkin Trump memberikan cinderamata kepada sembarang orang.

Namun sayang, hingga akhir pekan ini baru satu orang yakni Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Fadli Zon yang melapor pemberian cinderamata itu kepada KPK. Padahal, KPK telah menghimbau sejumlah pejabat penerima pemberian untuk melaporkan pemberian itu.

"Kalau memang benar ada pemberian topi, sebaiknya dilaporkan ke kami untuk ditentukan sebagai gratifikasi atau tidak," kata Pelaksana Tugas Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji, Selasa lalu.

Namun, hingga akhir pekan ini, hanya Fadli yang telah melaporkan. Itu pun setelah sebelumnya sempat menyindir KPK, karena meminta Pimpinan DPR melaporkan pemberian yang hanya berupa sebuah topi.

Tetapi Fadli akhirnya melunak dan melaporkan pemberian itu kepada KPK. Bahkan, ia siap  menghadiahi pemberian topi dan dasi dari Trump itu jika barang itu dikategorikan bukan gratifikasi.

ANCAMAN PIDANA GRATIFIKASI - KPK memang rajin mengingatkan para penyelenggara negara yang menerima sesuatu yang diduga terkait jabatannya untuk melaporkan pemberian tersebut. Sebab, para penerima itu terancam pidana jika tidak melaporkan pemberian tersebut.

Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Ancaman dalam peraturan ini cukup beragam, dan berbeda antara pemberi dan penerima.

Ancaman pidana pemberi, diatur dalam Pasal 5 UU Tipikor ayat (1) dan (2).

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Kemudian untuk penerima, seperti dalam kasus Fadli Zon dan juga Setya Novanto yang menerima cinderamata dari Trump, ancaman pidananya diatur dalam Pasal 12 UU Tipikor, huruf a dan b.

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

MEREKA YANG KENA PIDANA GRATIFIKASI - Meskipun ancaman pidana yang tertera sudah cukup jelas, tetapi hal ini tidak membuat pihak pihak penerima cinderamata dari Trump melaporkan pemberiannya. Selain Fadli, penerima cinderamata Trump adalah Ketua DPR Setya Novanto.

Tetapi hingga akhir pekan ini, politisi Partai Golkar itu  belum melaporkan pemberian tersebut. "Belum ada (yang melapor). Hingga Jumat (18/9) kemarin, baru Fadli," kata Pelaksana Harian Juru Bicara KPK Yuyuk Andriati kepada gresnews.com, Minggu (20/9).

Padahal, KPK telah membuktikan bisa menjerat seseorang yang telah terbukti menerima gratifikasi dan tidak melaporkan pemberian itu. Sejauh ini KPK telah menjerat sejumlah nama baik dari kalangan anggota DPR, pejabat Kementerian, dan lainnya yang diketahui menerima pemberian pihak lain.

Salah contohnya kasus yang menerpa mantan Ketua Komisi VII DPR RI, Sutan Bhatoegana. Ia divonis 10 tahun oleh Majelis Hakim Tipikor karena menerima sesuatu atau jani yang terkait dengan jabatannya kala itu.

Sutan terbukti menerima suap sebesar US$ 140 ribu dari mantan sekjen Kementerian ESDM Waryono Karyo terkait pembahasan APBN Perubahan Kementerian ESDM 2013 di Komisi VII DPR.

Selain itu politisi Demokrat ini juga terbukti telah menerima sejumlah pemberian, antara lain menerima uang US$200 ribu dari Rudi Rubiandini. Sutan terbukti pula mendapatkan tanah rumah sebagai posko pemenangan dari pengusaha Saleh Abdul Malik.

Pasal gratifikasi pun disematkan kepadanya. Sutan dinilai terbukti melanggar Pasal 12 huruf a UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam dakwaan pertama primer. Dan juga dinilai terbukti melanggar Pasal 11 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP sebagaimana dalam dakwaan kedua lebih subsider.

Selanjutnya kasus yang mendera mantan Sekjen Kementerian ESDM Waryono Karno. Dalam salah satu amar putusannya, Waryono disebut menerima gratifikasi berupa sejumlah uang senilai US$284.862 dan US$50.000 dollar. Majelis Hakim yang juga dipimpin Artha Theresia, akhirnya mempidananya 6 tahun penjara.

Untuk perkara yang sedang bergulir, kasus Suryadharma Ali sepertinya juga menjadi salah satu contoh. Mantan Menteri Agama ini didakwa menerima gratifikasi berupa potongan kain Ka´bah atau yang lazim disebut Kiswah.

Potongan Kiswah ini pun sempat menjadi perdebatan antara tim kuiasa hukumnya Humprey Djemaat, Jhonson Panjaitan dan Alamsyah Hanafiah dengan Jaksa Penuntut Umum KPK pimpinan Supardi.

Pihak Suryadharma Ali atau SDA menilai, potongan Kiswah ini tidak mempunyai nilai materiil sehingga tidak bisa disebut dalam gratifikasi. Tapi disisi lain, tim Jaksa KPK mempunyai pandangan berbeda.

Dalam sidang beberapa hari lalu dengan agenda tanggapan Jaksa atas eksepsi terdakwa, salah satu penuntut umum yaitu Abdul Basir menyatakan pemberian gratifikasi tidak hanya terpaku pada nilai komersial, tetapi juga ada nilai lain seperti agamis, serta spiritual.

BACA JUGA: