JAKARTA, GRESNEWS.COM - Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta membuat putusan mengejutkan dengan hanya menghukum Udar Pristono dengan pidana penjara 5 tahun dan denda Rp250 juta subsidair 5 bulan kurungan. Putusan itu sangat jauh dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Agung yang menuntut mantan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta itu dihukum 19 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.

Menurut Ketua Majelis Hakim Artha Theresia Silalahi, Udar memang terbukti melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Tetapi, menurut Artha, hal itu bukan merupakan tindak pidana sehingga tidak bisa dihukum.

"Mengadili menyatakan terdakwa Udar Pristono tersebut di atas terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan kesatu primair, dan kesatu subsidair, tetapi bukan merupakan tindak pidana," kata  Artha saat membacakan putusan, Rabu (23/9).

Untuk itu, Udar dilepaskan dari dakwaan pertama primair yaitu Pasal 2 ayat (1) dan subsidair Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. Pasal ini mengatur bahwa setiap orang yang menerima janji atau sesuatu yang mengakibatkan kerugian negara dihukum paling rendah 4 tahun dan paling lama 20 tahun pidana penjara, serta denda paling ringan Rp200 juta dan terbesar Rp1 miliar.

Udar juga lolos dari dakwaan kedua primair yaitu Pasal 12 huruf B undang-undang yang sama. Pasal ini mengatur tentang pemberian sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berkaitan dengan jabatannya. Ancaman hukumannya minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara dengan denda yang sama.

Kemudian, ayah dari Aldi Pradana yang juga sempat tersangkut kasus ini, lolos juga dari dakwaan ketiga yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang sesuai dakwaan primair Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 dan subsidair Pasal 2 undang-undang yang sama. Udar hanya dianggap terbukti menerima suap sekitar Rp78 juta.

Hal ini tentu saja menarik perhatian, sebab sebelumnya dalam surat dakwaan, jaksa menganggap pria kelahiran Denpasar tersebut melakukan korupsi dengan angka yang cukup besar yaitu Rp390 miliar. Tetapi yang terbukti menurut Majelis Hakim hanya sebesar Rp78 juta.

KESALAHAN ADMINISTRATIF - Dalam penjelasannya, hakim anggota Joko Subagyo mengatakan Udar memang menandatangani beberapa proyek pengadaan bus transjakarta. Tetapi hal itu dianggap bukan suatu tindak pidana, tetapi hanya kesalahan administrasi belaka sehingga tidak dapat dihukum.

Menurut Joko, Udar telah mendelegasikan sebagian kewenangannya sebagai Pengguna Anggaran (PA) dalam pengadaan bus transjakarta kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) maupun Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang pada 2012 dijabat Hasbi Hasibuan dan 2013 oleh Drajad Adhyaksa.

"Dari tugas dan tanggung jawab PA itu, sebagian telah didelegasikan kepada KPA, yaitu meliputi, melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja, melaksanakan anggaran unit kerja, melakukan pengujian atas tagihan, melakukan pembayaran dan lain-lain," terang Joko.

Hal itu didukung oleh pendapat ahli dari Kementerian Dalam Negeri DR Hendriwan MSI. Menurutnya, mandat terkadang ditempatkan sebagai cara tersendiri, namun mandat bukan pelimpahan wewenang seperti delegasi. Sedangkan delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain dan yang memberi wewenang disebut delegataris. Syarat delegasi antara lain delegasi yang definitif, artinya delegasi yang tidak dapat lagi menggunakan wewenang yang sudah dilimpahkannya itu.

Dalam persidangan, kata Joko, diperoleh fakta hukum bahwa terdakwa, meskipun sudah mendelegasikan kewenangan kepada KPA, tapi masih membubuhkan tandatangan dalam dokumen pencairan anggaran. Hal itu dilakukan karena seluruh satuan kerja perangkat daerah di Provinsi DKI Jakarta memang diwajibkan menandatangani dokumen sebagai syarat agar anggaran dapat dicairkan.

Dalam kewenangan delegatif, pihak yang harus bertanggung jawab terhadap tugas yang sudah didelegasikan ada pada penerima delegasi. Dalam hal ini, Udar yang bukan sebagai pemberi delegasi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas tugas dan tanggung jawab yang sudah didelegasikan.

Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Joko menilai, perbuatan Udar selaku PA dalam menandatangani dokumen pencairan anggaran pengadaan bus transjakarta 2012 dan 2013 bukanlah merupakan tindak pidana. Tetapi hal itu hanya kesalahan administratif belaka.

"Sehingga kepada terdakwa tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana. Melainkan sanksi administratif sebagaimana telah dikenakan terhadap diri terdakwa berupa pemberhentian dari jabatan sebagai Kadishub Provinsi DKI Jakarta," pungkas Joko.

GRATIFIKASI TAK TERBUKTI - Dalam surat dakwaan, jaksa menganggap Udar menerima sejumlah uang terkait jabatannya sebanyak Rp6,5 miliar. Tetapi sayang, jaksa tidak dapat merinci darimana saja uang itu didapat. "Udar Pristono diduga telah beberapa kali menerima pemberian uang dari orang-orang yang sudah tidak diingat lagi," terang Jaksa.

Tetapi, menurut hakim anggota Ibnu Basuki Widodo, Udar dapat membuktikan bahwa seluruh hartanya sah menurut hukum. Menurut Ibnu, Udar dan istrinya memang mempunyai beberapa usaha sampingan diantaranya jual beli properti. Ibnu mengungkap bisnis properti Udar ini. Diantaranya tanah dan bangunan di kawasan Sukajadi, Bandung, Jawa Barat, seluas 1.076 m2 yang dijualnya seharga lebih dari Rp1 miliar.

Kemudian juga ada di kawasan Lembang, Menteng, Jakarta Pusat yang juga telah dijualnya sekitar Rp2 miliar. Selain itu ada juga tanah dan bangunan di kawasan Cempaka Putih, Jakarta, yang juga dijual olehnya. Lalu ia juga mempunyai aset serupa di kawasan Duren Tiga Jakarta Selatan seharga Rp13 miliar.

Udar juga mempunyai unit apartemen di Taman Rasuna atas nama istrinya, Lieke Amaliya, yang dijual seharga Rp800 juta, tanah di Bintaro yang dulu dibeli Rp162 juta lalu dijual seharga Rp1,3 miliar.

"Terdakwa bisa membuktikan uang diperoleh secara sah, terlebih tidak ada saksi yang menyatakan memberi sesuatu. Karena tidak terbukti, maka Pasal 12 B tidak perlu dibuktikan lagi," terang Hakim Ibnu.

MUASAL Rp78 juta - Tetapi Udar terbukti menerima gratifikasi terkait jabatannya sekitar Rp78 juta dari petinggi PT Jati Galih Semesta Yeddie Kuswandi. Uang ini merupakan selisih penjualan mobil Kijang jenis LGX yang dijual Udar kepada Yeddie.

Ceritanya begini, Udar membeli mobil Pemprov DKI Jakarta seharga Rp21,920 juta. Kemudian ia menjualnya lagi kepada Yeddie melalui Teddy Rustandi seharga Rp100 juta. Awalnya Yeddie menolak dengan mengatakan harga yang dipatok terlalu mahal sedangkan usia mobil sudah tidak lagi produktif.

Tetapi, tak berselang lama, ternyata mobil itu akhirnya dibeli oleh Yeddie. Dan ia mentransfer Rp100 juta ke rekening milik anak Udar yaitu Aldi Pradana. Selisih antara pembelian yang dilakukan Udar dengan penjualan mobil sekitar Rp78 juta.

Memang ada surat pernyataan yang menyatakan Yeddie membeli mobil karena memang memerlukan untuk operasional perusahaannya. Tetapi hal itu tidak sesuai fakta persidangan. Yeddie dan Teddy memang dihadirkan jaksa, dan dalam keterangannya pembelian itu terkait dengan jabatan Udar sebagai Kadishub.

Sebabnya, perusahaan Yeddie merupakan salah satu rekanan Dishub Provinsi DKI Jakarta dan mengerjakan proyek penyempurnaan koridor I Busway di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Alasan lain yaitu baru dua bulan dibeli, mobil itu kembali dijual kepada pihak lain dengan harga jauh lebih murah sekitar Rp60 juta.

"Dari rangkaian peristiwa hukum, uang Rp78 juta diberikan karena menurut pemberi hadiah itu berkaitan dengan jabatan terdakwa," ujar hakim Joko.

TAHU HASIL KORUPSI - Udar juga lolos dari dakwaan pencucian uang yang dituduhkan penuntut umum. Alasan yang dikemukakan hakim juga cukup menarik, yaitu Udar tidak tahu bahwa uang yang ditransfer ke rekening anaknya berasal dari tindak pidana korupsi.

Padahal hakim mengakui bahwa memindahkan, mentransfer atau mengalihkan yang menjadi salah satu unsur pencucian uang telah terpenuhi. Uang Rp78 juta memang tidak diterima Udar secara langsung tetapi dikirimkan ke rekening anaknya, Aldi Pradana.

Tetapi Udar dianggap tidak mengetahui bahwa uang itu berasal dari korupsi yang menjadi salah satu unsur dikenakannya pencucian uang. Ia menganggap penjualan mobil dengan harga yang lebih tinggi merupakan hal yang wajar dan tidak melanggar hukum.

"Dakwaan ketiga primair tidak terbukti, maka dibuktikan dakwaan subsidair. Tetapi karena pertimbangan hukum dan fakta sama, maka Majelis berpendapat bukan merupakan tindak pidana maka harus dilepaskan dari dakwaan-dakwaan tersebut," terang Jaksa Joko.

LUPA PAKAI KURSI RODA - Kejadian menarik dalam persidangan kali ini tidak hanya sampai situ. Udar yang pada saat persidangan menggunakan kursi roda mendadak berdiri tegak dan berusaha menyalami Majelis Hakim.

Hal ini tentu saja menjadi pertanyaan tersendiri, padahal sebelum sidang Udar juga mengeluhkan sakit yang dideritanya. "Kaki saya masih sakit," kata Udar ketika menjawab pertanyaan wartawan saat ditanya alasan menggunakan kursi roda sekitar pukul 13.20 WIB.

Ia juga terlihat dipapah petugas ketika akan berpindah duduk dari kursi roda ke kursi terdakwa.Tetapi hal itu tidak tampak saat hakim membatalkan dua dakwaan dan menghukumnya jauh dibawah tuntutan jaksa.

Udar bahkan sempat berdiri disamping kuasa hukumnya saat memberikan keterangan kepada para awak media. Namun, ia kembali duduk di kursi roda ketika akan keluar ruang sidang. Mungkin ia sadar para awak media dan pengunjung sidang memperhatikan kontradiksi keadaannya itu.

JAKSA SIAP BANDING - Jaksa Kejaksaan Agung Victor Antonius tampak kecewa dengan putusan Majelis Hakim. Ia berencana mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas vonis yang diberikan kepada Udar Pristono.

Awalnya, Victor masih terlihat enggan mengungkap tindak lanjut atas putusan ini. "Kita pikir-pikir dulu," terang Victor.

Namun, pernyataannya itu sontak berubah saat para awak media menanyakan mengapa Kejaksaan belum mengambil sikap tegas atas putusan ini. "Iya, kami akan banding," imbuhnya.

Victor pun yakin atas surat dakwaan yang telah dibuat tim penuntut umum sudah sesuai fakta yang ada. Meskipun begitu, ia tetap menghormati putusan Majelis Hakim yang mempunyai pendapat yang berbeda.

Dikonfirmasi terpisah, pengacara Udar, Tonin Tahta, tidak mempermasalahkan jika jaksa akan melakukan langkah hukum lanjutan atas keputusan itu. "Memang harus banding, tapi kita akan lawan dengan kontra banding," tutur Tonin.

BACA JUGA: