JAKARTA, GRESNEWS.COM - Candaan khas Sutan Bhatoegana yang mengundang tawa para pengunjung sidang mungkin tidak akan terdengar lagi. Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi telah menghukum mantan Ketua Komisi VII DPR RI itu dengan pidana penjara 10 tahun dan denda Rp500 juta.

Selama persidangan, Sutan seringkali berguyon dengan Majelis Hakim. Salah satu yang paling diingat mengenai kawat gigi atau behel yang digunakannya. Hal itu sempat menjadi guyonan dengan Hakim Ketua Artha Theresia Silalahi.

Ketika itu, Sutan meminta untuk berobat giginya. Menurut Sutan, akibat sakit gigi orang bisa meninggal dunia. Tapi hal itu langsung direspons Hakim Ketua Artha. Menurutnya, tidak ada orang yang meninggal karena tidak menggunakan kawat gigi.

"Tidak ada orang yang meninggal karena behel. Lagian sudah tua kenapa sih pakai behel?" kata Hakim Artha dalam sidang pada 27 April 2015 lalu.

Namun ternyata Sutan menimpali perkataan Artha. "Loh kenapa Bu? Kalau tetanus, bagaimana sih Ibu ini? Ibu ini bukan dokter, Ibu ini Hakim. Bu ini untuk kesehatan. Inilah Ibu kadang-kadang," ucap Sutan membalas pernyataan Hakim Artha.

Lantas Hakim Artha pun mengalah, ia memberikan Sutan kesempatan untuk berobat ke dokter gigi pribadinya. Namun begitu, Hakim Artha juga meminta petugas KPK mengawasi Sutan selama menjalani pengobatan diluar rutan.

Setelah itu, Sutan memang tampak beberapa kali bersitegang dengan Hakim atau pun Jaksa Penuntut Umum KPK. Meski pun pada akhirnya, Hakim Artha memperingatkan Sutan mengenai kelakuannya. Tapi, Sutan beralasan jika suaranya meninggi, itu bukan marah, namun karena sudah menjadi tabiatnya.

MULUTMU HARIMAUMU - Yang tidak disadari Sutan adalah, tabiatnya itu ternyata menjadi bumerang buat Sutan. Majelis Hakim menjadikan sikap Sutan yang suka ngeyel itu sebagai pertimbangan yang memberatkan.

"Sikap Terdakwa dalam persidangan tidak mencerminkan mantan anggota DPR yang terhormat," kata Hakim Anggota Hugo di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (19/8).

Tak hanya itu, Sutan dalam persidangan juga seringkali mengklaim sebagai orang yang paling mendukung kinerja KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi. Namun, dari segala bukti dan fakta persidangan yang ada, ternyata apa yang dikatakannya ini tidak sesuai kenyataan.

Majelis Hakim pun menyematkan hal ini sebagai pertimbangan memberatkan. "Perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang gencarnya memberantas korupsi dan bertentangan dengan slogan anti korupsi yang selalu didengung-dengungkan oleh terdakwa," ujar Hakim Hugo.

Selanjutnya pertimbangan memberatkan lainnya yaitu sikap Sutan yang selalu memberikan keterangan berbelit-belit selama persidangan dan bersikukuh tidak pernah melakukan perbuatan korupsi yang didakwakan kepadanya.

Majelis Hakim hanya memberikan satu pertimbangan meringankan. "Terdakwa kepala keluarga yang mempunyai tanggungan keluarga," lanjut Hakim Hugo.

DIJERAT DAKWAAN PRIMER DAN LEBIH SUBSIDER - Atas dasar pertimbangan itu, Hakim Ketua Artha Theresia akhirnya menghukum Sutan dengan pidana penjara 10 tahun dan denda Rp500 juta subsider 1 tahun kurungan. Hukuman ini hanya selisih satu tahun dari tuntutan Jaksa yang meminta Sutan dipidana 11 tahun.

"Terdakwa Sutan Bhatoegana melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan pertama primer, dan kedua lebih subsider," ujar Hakim Artha membacakan surat putusan.

Dakwaan pertama primer yang dimaksud Hakim Artha adalah Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sedangkan dakwaan kedua lebih subsider adalah Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dakwaan kedua lebih subsider ini disematkan karena Sutan tidak terbukti bersalah pada dakwaan kedua primer dan subsider. "Membebaskan terdakwa dari dakwaan kedua primer dan subsider tersebut," terang Hakim Artha.

TERBUKTI TERIMA UANG SUAP DAN RUMAH - Majelis Hakim juga menjelaskan unsur Pasal 12 huruf a sebagaimana yang tertera di dakwaan pertama primer. Sutan terbukti menerima uang suap sebesar US$140 ribu dari Sekjen Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Waryono Karno. Uang tersebut diduga untuk memengaruhi pembahasan APBN-Perubahan Tahun Anggaran 2013.

Kejadian ini bermula dari pertemuan Sutan dengan pejabat ESDM seperti Waryono, Didi Dwi Sutrisno Hadi dan juga Ego Syahrial. Dari pertemuan itu, Waryono meminta Sutan untuk mengawal agar pembahasan itu tidak diganggu oleh pihak-pihak lain dan Sutan pun menyanggupinya.

Kemudian, Waryono memerintahkan Didi untuk mencari uang yang disebut sebagai buka kendang dari Satuan Kerja Khusus Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) yang ketika itu dipimpin oleh Rudi Rubiandini. Rudi akhirnya menyanggupi dengan memerintahkan anak buahnya mengantar uang tersebut.

Setelah dihitung, uang itu dimasukkan ke dalam amplop yang diberi logo masing-masing untuk Ketua Komisi sebesar US$7.500, untuk sekretariat dan anggota Komisi VII sebesar US$2.500. Selanjutnya Didi menghubungi salah satu orang dekat Sutan, Iryanto Muchyi, untuk mengambil uang itu.

"Didi meminta Iryanto menandatangani tanda terima yang telah disiapkan. Iryanto kemudian pergi ke Gedung DPR RI untuk memberikan uang ke terdakwa," kata Hakim Anggota Syaiful Arif.

Lantas, Iryanto menyerahkan uang tersebut kepada orang dekat Sutan lainnya yaitu M. Iqbal. Iqbal kemudian melaporkan penerimaan itu kepada Sutan. "Pada saat mau menaruh, terdakwa bilang, jangan di sini, taruh saja di mobil," ujar Hakim Syaiful.

Kemudian Sutan juga terbukti menerima gratifikasi yaitu sebidang tanah dan bangunan di Jalan Kenanga Raya, Tanjung Sari, Kota Medan, Sumatera Utara dari Komisaris PT SAM Mitra Mandiri Saleh Abdul Malik. Rumah itu pada awalnya diperuntukkan sebagai Posko Kampanye Sutan dalam Pilkada Sumatera Utara. Ketika itu ia mencalonkan diri sebagai Gubernur.

Pemberian bantuan ini tidak lepas dari peran Sutan yang membantu Saleh mendapatkan pengurangan masa hukuman ketika Saleh mendekam dalam penjara di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. "Saleh pernah dibantu untuk dapat asimilasi dan remisi dari terdakwa," kata Hakim Syaiful.

Sutan juga terbukti menerima hadiah sebesar US$200 ribu dari Rudi Rubiandini. Uang itu diminta Sutan sebagai bentuk Tunjangan Hari Raya (THR) SKK Migas kepada anggota dewan. Penyerahan uang tersebut memang tidak langsung kepada Sutan, tetapi melalui Tri Yulianto. Sutan dan Tri memang berasal dari Partai yang sama yaitu Partai Demokrat. Uang diserahkan di Toko Buah All Fresh di kawasan MT Haryono, Jakarta Timur.

"Saat pertemuan di rumah Rudi, ia mengkonfirmasikan ke terdakwa terkait uang US$200 ribu, lalu Sutan menyindir anggota DPR RI sebanyak 54 orang. Dan Rudi menganggap bahwa uang sudah diterima, tetapi kurang," ucap Hakim Hugo.

Namun, Majelis Hakim tidak mengabulkan semua tuntutan Jaksa KPK. Mereka menganggap penerimaan uang sebesar Rp50 juta dari Jero Wacik dan penerimaan mobil Toyota Alphard sama sekali tidak terbukti sebagai gratifikasi.

Untuk uang Rp50 juta, tidak ada saksi yang mendukung pernyataan itu selain Didi Dwi Sutrisno Hadi. Sedangkan untuk Alphard, Majelis Hakim menganggap mobil mewah tersebut bukan penerimaan, melainkan hasil jual beli yang sah sehingga tuntutan Jaksa tidak dapat dikabulkan.

SUTAN TUDING HAKIM BERI HARAPAN PALSU - Usai sidang, Sutan Bhatoegana tampak kecewa dengan putusan hakim. Ia menganggap persidangan ini hanya sandiwara belaka sehingga harusnya tidak perlu dilanjutkan.

"Tapi kan dikasih angin segar kita waktu itu, dan praperadilan akan dipertimbangkan tapi satu pun tidak ada yang diungkapkan, kemudian saksi ahli tidak ada, pledoi sama sekali nggak dianggap," ucap Sutan.

Menurutnya, Majelis Hakim hanya menyalin surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum tanpa memperhatikan fakta persidangan. Padahal, Sutan mengklaim, para saksi tidak bisa membuktikan seluruh penerimaan yang didakwakan kepadanya itu.

Terkait putusan yang dinilai tidak adil ini, pengacara Sutan, Eggi Sudjana, pun berencana akan mengajukan banding. "Ya terus terang saja harus kita lawan. Kita harus banding," tutur Eggi.

BACA JUGA: