JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dua kali Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) perkara  korupsi puluhan miliar dengan diam-diam. Muncul dugaan, SP3 yang dikeluarkan penyidik itu bukan semata-mata faktor hukum semata tetapi ada faktor lain.

Dua kasus yang dimaksud adalah perkara pengadaan mobil pemadam kebakaran (Damkar) di PT Angkasa Pura I dengan anggaran Rp63 miliar. Dalam kasus ini penyidik telah menetapkan dua tersangka, Direktur Utama PT AP I Tommy Soetomo dan Direktur PT Sicientek Komputindo Hendra Liem.

Kasus lainnya adalah  kasus dugaan korupsi proyek pengadaan alat pengering gabah atau drying centre di Bank Bukopin yang diduga merugikan negara sekitar Rp 76 miliar. Dalam kasus ini, nama Direktur Utama PLN Sofyan Baasyir pernah diperiksa oleh penyidik. Setelah disidik hampir delapan tahun kasus ini pun di SP3.

"Justru ini di-SP3 bukan membawa ke pengadilan, tentu ini harus dipertanyakan," kata Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (Maki) Boyamin Saiman dihubungi, Sabtu (13/6).

Sehingga dipertanyakan juga kerja tim Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgasus P3TPK) bentukan Kejaksaan Agung. Dia menilai, kinerja Satgassus P3TPK belum bisa dibilang optimal. Padahal Jaksa Agung HM Prasetyo berjanji akan memberantas tindak pidana korupsi.

Boyamin menilai, putusan Satgassus P3TPK menghentikan kasus Damkar belum lama ini, kurang tepat karena tidak disertai alasan. Apalagi sudah ada dua tersangka yang dijerat yakni Dirut PT Angkasa Pura (AP) I Tommy Soetomo dan Direktur PT Scientek Computindo Hendra Liem.

Ia mengaku prihatin atas tindakan Satgassus bentukan Kejagung itu. Untuk  itu, Maki tengah mempertimbangkan untuk menggugat praperadilan atas keputusan SP3 kasus dugaan korupsi Damkar tersebut. "Mungkin saja nanti kita akan gugat praperadilan, sehingga bisa teruji apa alasan Kejagung mengeluarkan SP3 perkara Damkar," ujarnya.

Alasan Kejagung tidak menemukan kerugian negara pada kasus Damkar berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dinilai tidak tepat. Karena, dalam hal ini seharusnya Kejagung minta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) turun tangan melakukan audit investigatif. "BPKP tidak punya kewenangan. Karena itu kita pertanyakan, ada apa sebenarnya dibalik SP3 ini?," katanya.

Jika dalam kasus Damkar, Korps Adhyaksa beralasan tidak menemukan kerugian negara. Sementara dalam kasus dugaan korupsi di Bank Bukopin justru Kejagung enggan memberi alasan detail mengapa dihentikan.

Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Kadafi menilai, langkah Satgassus menghentikan penyidikan perkara sangat memprihatinkan. Apalagi Kejagung mengeluarkan SP3 itu secara diam-diam dan membuat publik bertanya.

"Dengan dikeluarkannya SP3 ini, komitmen Kejagung memberantas korupsi semakin dipertanyakan. Kejagung begitu gampang melepas tersangka tanpa diketahui publik apa alasannya yang jelas," ujar Uchok.

Sementara Kepala Subdirektoran Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Kejagung Sarjono Turin yang dikonfirasi enggan menjelaskan secara rincih soal SP3 kasus Damkar. Dia hanya menyebut, penghentian kasus lantaran BPKP tidak menemukan kerugian negara pada proyek penggadaan lima unit kendaraan Damkar itu.

"Penghitungan BPKP tidak ada selisih. Dengan begitu, tidak ditemukan kerugian negara, sehingga tim Satgassus memutuskan untuk mengeluarkan (SP3)," kata Turin.

BACA JUGA: