JAKARTA, GRESNEWS.COM - Anggota Komisi IX DPR RI Amelia Anggraini akan meminta pimpinan Komisi IX DPR RI untuk memanggil pihak PT Krakatau Steel terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 700 pekerja outsourcing. "Pada masa Sidang ke-2 DPR RI Januari ini, saya akan meminta pimpinan Komisi IX DPR segera mengagendakan untuk memanggil pihak PT Krakatau Steel untuk menjelaskan masalah tersebut," ujar Amelia dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Selasa, (6/1).

Amelia juga meminta menteri terkait untuk segera merespons masalah PHK massal di Krakatau Steel. "Saya mendesak Menaker segera merespon dan mencari jalan penyelesaian masalah tersebut," tegasnya.

Ia mengingatkan, kesimpulan rapat kerja DPR dengan Menteri BUMN tanggal 4 Maret 2014 adalah Menteri BUMN sepakat menjalankan rekomendasi Panja, yakni mengangkat pekerja OS BUMN menjadi pekerja tetap perusahaan BUMN. Kesepakatan itu juga menyebut BUMN harus mempekerjakan kembali pekerja OS yang sudah di PHK sepihak, serta membayarkan hak-hak normatifnya.

"Atas dasar itulah, tidak ada alasan bagi perusahaan BUMN dan Pemerintah untuk tidak melaksanakan kesimpulan raker tersebut," tukas politisi Nasdem tersebut.

Diberitakan sebelumnya, PT Krakatau Steel melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 700 pekerja outsourcing (OS). Hal ini dilakukan Krakatau Steel karena ketidaksanggupan manajemen menampung pekerja outsourcing tersebut dengan beban keuangan yang merugi di tahun 2014. Pekerja OS yang di PHK massal ini, mayoritas sudah berusia kerja puluhan tahun. Mereka di-PHK per 31 Desember 2014.

Menanggapi PHK pekerja outsourcing di KS, koordinator Gerakan Bersama Buruh BUMN (GEBER BUMN), Ahmad Ismail mengecam keras tindakan manajemen KS itu. "Kerugian keuangan KS tidak boleh mengorbankan pekerja OS sampai di-PHK!" tegas pria yang akrab disapa Ais itu.

Menurut Ais, perlu diukur sejauhmana keputusan PHK massal tersebut, berkorelasi dengan beban keuangan perusahaan. Apalagi, KS tengah di pantau atas adanya pelanggaran penerapan outsourcingnya. "KS memiliki kewajiban atas dasar amanah undang-undang untuk mengangkat pekerja OS itu menjadi pekerja tetap di perusahaan baja tersebut," ujarnya.

Ditambahkan Ais, jika pembayaran pekerja OS masuk ke dalam pos pembayaran karyawan di laporan arus kas PT KS, maka keputusan PHK massal itu hanyalah jalan pintas yang sesat dan tidak solutif. Berdasarkan laporan keuangan KS bulan September 2014, tergambarkan, pos pembayaran karyawan hanya di kisaran 4% dari beban pembayaran operasional rutin dari aktivitas kas operasional PT KS.

Pembayaran terbesar justru ada pada pos pembayaran ke pemasok sebesar 83%. Hal ini kata Ais, mencerminkan ketidakmampuan manajemen KS dalam menegosiasi dan me-reschedule pembayaran tersebut. Atau hal lainnya, ada kebergantungan yang cukup besar terhadap supplier.

Ais menyebut, KS tidak mampu berinovasi mengatasi hal ini. "Pembayaran ke pemasok juga melebihi pembayaran-pembayaran lainnya seperti pembayaran pajak, beban bunga bank dan beban usaha. Ada apa ini?" tanyanya.

Ais juga meragukan fakta PHK dengan alasan kondisi keuangan. Menurut ia, soal pembayaran pekerja OS masuk di beban usaha umum dan administrasi, maka, jumlahnya relatif kecil dibandingkan beban beban usaha lainnya.

"Fakta itulah yang kerapkali menjadikan rasionalisasi pekerja sebagai jalan pintas. Ini sama saja menutup akses rakyat mendapatkan hak atas pekerjaan dari negara melalui perusahaan BUMN-nya," tegasnya.

Padahal, kata Ais, salah satu rekomendasi Panja OS BUMN DPR RI, adalah larangan PHK. Bahwa, tidak boleh ada PHK dan penghentian rencana PHK terhadap pekerja/buruh baik yang berstatus PKWT maupun PKWTT. Demikian juga halnya dengan kesepakatan rapat antara MenBUMN, Menakertrans dan Komisi IX DPR RI pada 4 Maret 2014.

"Perusahaan-perusahaan BUMN malah diminta untuk mempekerjakan kembali para pekerja OS yang telah di PHK sepihak sebelumnya," ujarnya.
 
Geber BUMN juga menyayangkan Pemerintah yang tidak segera merespons masalah PHK massal di KS. Padahal, sudah ada kesepakatan penyelesaian di tingkatan institusi negara, namun diabaikan di tingkat korporasi. "Kewibawaan negara berada di bawah superioritas para direksi BUMN," tegas Ais.

Hal ini, kata Ais, dapat dilihat dari tiadanya direksi BUMN yang dipecat sebagai sanksi atas ketidakpatuhan menjalankan rekomendasi DPR. "Memecat direksi ketika bermain golf berani, tapi ketika direksi dengan sengaja korbankan nasib ribuan pekerja, cuek saja," ujarnya.

BACA JUGA: