JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kebijakan bahan bakar minyak (BBM) subsidi selalu menghantui anggaran pemerintahan. Akibat subsidi BBM yang terlalu besar yang menyebabkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) jebol sehingga menyebabkan defisit anggaran.

Berdasarkan penelusuran Gresnews.com, banyak hal yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengendalikan penggunaan BBM subsidi. Baik kebijakan yang dikeluarkan pada saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hingga pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Berikut kaleidoskop gonjang-ganjing kebijakan BBM subdisi di tahun 2014 :

Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II

1. Kebijakan penggunaan Radio Frequecy Identification (RFID)

Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina (Persero), Hanung Budya mengatakan pihaknya akan memperluas titik-titik pemasangan RFID di wilayah Jakarta. Rencanannya pemasangan akan diperluas di area-area publik seperti pusat perbelanjaan, perkantoran dan kompleks perumahan.

Hanung mengaku bahwa saat ini pelayanan pemasangan RFID sudah mencapai 70 ribu kendaraan yang sudah terpasang dalam per harinya. Hanung mengatakan bahwa pemasangan RFID juga dapat dilakukan di seluruh SPBU di wilayah Jakarta yang mencapai 263 unit.

"Sistemnya sudah 90 persen stabil sehingga pada akhir Desember 2013 implementasinya diharapkan bisa mencakup seluruh Jakarta," kata Hanung.

Sementara itu PT INTI (Persero) sebagai perusahaan yang ditunjuk untuk pemasangan RFID tersebut menargetkan sebanyak 4,9 juta kendataan roda empat atau lebih untuk dipasang RFID hingga akhir tahun 2014. Berdasarkan data yang dimiliki PT INTI (Persero) bahwa jumlah kendaraan yang ada di Jakarta mencapai 15 juta unit yang terdiri dari atas sepeda motor 10,5 juta dan roda empat atau lebih 4,5 juta unit.

Sementara secara nasional terdapat 11 juta mobil penumpang, untuk kendaraan bermotor sebanyak 80 juta motor, 3 juta bus, 6 juta truk, sedangkan SPBU yang tersedia sebanyak 5.027 SPBU. Secara total jumlah kendaraan di tingkatan nasional sebanyak 100 juta kendaraan dan 5027 lebih SPBU di 33 Provinsi

Direktur Utama PT INTI (Persero), Tikno Sutisna mengatakan pihaknya akan bekerjasama dengan dengan perusahaan BUMN lain untuk menyiapkan lahan kosong untuk meminimalisir antrian SPBU dikarenakan banyaknya kendaraan yang ingin mengikuti program SMPBBM dengan memasang RFID.

Tikno mengatakan pihaknya membutuhkan lahan yang dapat menampung 100-150 kendaraan untuk memasang RFID agar SPBU tidak terjadi antrian panjang dan mengganggu pengguna jalan.

"Kami juga butuh kerjasama dengan BUMN yang mempunyai lahan yang luas," kata Tikno.

Namun pada pelaksanaannya, program pengendalian BBM bersubsidi tersebut terancam gagal karena pada saat pelaksanaan nilai rupiah merosot dan dollar pun melejit. Sehingga perhitungan kerjasama antara Pertamina dan INTI sudah tidak cocok lagi. Akibatnya INTI tidak mungkin meneruskan kerjasama tersebut kecuali jika Pertamina setuju diadakan perhitungan ulang.

Menurut Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan peristiwa berakhirnya kerjasama akibat fluktuasi mata uang sudah terjadi di seluruh BUMN. Dahlan pun mengaku tidak bisa campur tangan akibat terancamnya kerjasama antara INTI dengan Pertamina. Dahlan menjelaskan jika dirinya campur tangan nantinya akan berdampak tidak adil terhadap kedua perusahaan BUMN.

"Kalau saya bela Pertamina dikira menyusahkan INTI, kalau saya bela INTI dikira menyusahkan Pertamina. Ga boleh itu, urusan mereka (INTI-Pertamina) berdua," kata Dahlan.

Dahlan mengatakan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah tersebut dapat diselesaikan dengan mengubah kontrak antar perusahaan. Namun bisa diupayakan melalui jalur hukum atau arbitrase. Kendati demikian Dahlan meminta kedua perusahaan tersebut harus menghormati kontrak yang sudah dibuat.

"Dari segi INTI, rupiah dan dollarnya kan beda. Kalau mau menyalahkan kan kenapa dollarnya menjadi menguat. Semua ini kan karena dollarnya menguat di luar dugaan," kata Dahlan.

Sementara itu, Vice President Communication PT Pertamina (Persero) Ali Mundakir mengatakan prinsipnya kontrak antara Pertamina dan INTI adalah kontrak sistem atau kontrak jasa. Untuk itu Ali meminta agar perjanjian kontrak kedua perusahaan agar dikaji secara legal formal.

"Ini masih dicari terobosannya. Jadi masih dalam kajian," kata Ali.

2. Kebijakan Pertamina Tidak Menjual Solar di Jakarta Pusat dan Pelarangan Menjual Premium di SPBU Tol

PT Pertamina (Persero) menyatakan per tangal 1 Agustus 2014 sudah tidak menjual sollar di seluruh Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Jakarta Pusat. Hal tersebut sesuai dengan Surat Edaran BPH Migas No937/07/Ka BPH/2014.

Vice Presiden Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Ali Mundakir menuturkan per tanggal 4 Agustus, waktu penjualan solar subsidi di seluruh SPBU Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Bali akan dibatasi dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 18.00 untuk cluster tertentu. Dia menjelaskan penentuan cluster tersebut difokuskan untuk kawasan industri, pertambangan, perkebunan dan wilayah-wilayah yang dekat dengan pelabuhan dimana rawan penyalahgunaan solar subsidi.

Namun untuk SPBU yang terletak di jalur utama distribusi logistik, tidak dilakukan pembatasan waktu penjualan solar. Untuk wilayah-wilayah yang sudah menerapkan pembatasan ataupun pengaturan waktu seperti Batam, Bangka Belitung, serta sebagian besar wilayah Kalimantan tetap akan menerapkan aturan sesuai yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Dia menambahkan tidak hanya solar di sektor transportasi, tanggal 4 Agustus 2014, alokasi solar bersubsidi untuk Lembaga Penyalur Nelayan (SPBB/SPBN/SPDN/APMS) juga akan dipotong sebesar 20 persen dan penyalurannya mengutamakan kapal nelayan di bawah 30 GT.

Kemudian, Ali mengungkapkan terhitung mulai tanggal 6 Agustus 2014, seluruh SPBU yang berlokasi di jalan tol tidak akan menjual premium bersubsidi, namun hanya menjual Pertamax Series. Sampai saat ini total jumlah SPBU di jalan tol mencapai 29 unit, dari jumlah tersebut 27 unit SPBU ada di wilayah marketingg operation Region III (Jawa Bagian Barat) dan 2 unit SPBU ada di wilayah Marketing Operation Region V (Jawa Timur).

Ali mengatakan dalam menjalankan kebijakan tersebut perusahaan telah melakukan koordinasi dengan Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Gas) sebagai wadah organisasi para pengusaha SPBU. Ali menuturkan dalam rangka sosialisasi, perusahaan telah menyiapkan spanduk yang dipasang di setiap SPBU dan pengumuman mengenai aturan tersebut.

"Perusahaan memastikan pasokan Pertamax Series yang meliputi Pertamax, Pertama Plus, dan Pertamax Dex tersedia cukup di seluruh SPBU," kata Ali dalam siaran pers yang diterima oleh Gresnews.com

Sampai dengan 31 Juli 2014, data sementara yang dimiliki oleh Pertamina, realisasi konsumsi Solar bersubsidi sudah mencapai 9,12 KL atau sekitar 60% dari total kuota APBNP-2014 yang dialokasikan kepada PT Pertamina (Persero) sebesar 15,16 juta KL. Sedangkan realisasi konsumsi premium bersubsidi mencapai 17,08 juta KL atau 58% dari kuota APBNP-2014, sebesar 29,29 juta KL.

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik menghimbau pengendalian BBM subsidi dengan pelarangan operasi penjualan solar di Jakarta Pusat pada pukul 08.00 hingga pukul 18.00, lalu pelarangan penjualan solar di daerah dekat pertambangan, perkebunan, dan kehutanan, serta pelarangan penjualan premium di rest area jalan tol, jangan diartikan sebagai kelangkaan bbm subsidi atau kuota bbm sudah habi. Dia menjelaskan alasannya Jakarta pusat dipilih sebagai tempat pengendalian BBM sollar karena jumlah SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) sebanyak 26 SPBU dan rata-rata masyarakat Jakarta Pusat adalah kalangan menengah keatas.  

"Tidak ada istilah pencabutan subsidi, itu tidak ada. Yang ada pengendalian solar dan premium di daerah tertentu dan cluster tertentu. Ingat ya hanya Jakarta Pusat, bukan seluruh DKI. Tujuannya jangan sampai solar dan premium diprioritaskan yang tidak mampu," kata Jero.

Dia mengatakan mengatakan pada kuartal I 2014 BBM subsidi sudah habis sebanyak 15 juta Kilo Liter (Kl) dan setelah setengah tahun BBM subsidi sudah habis sebesar 22.9 juta Kl. Jero memperkirakan akan terjadi kenaikan yang signifikan pada semester kedua karena bertepatan dengan adanya lebaran dan pemilihan presiden. Jero mengatakan jika tidak dilakukan pengendalian di semester kedua maka kuota BBM subsidi jenis solar akan habis pada akhir November 2014 dan BBM subsidi jenis premium akan habis pada 19 Desember 2014.

Jero mengatakan berdasarkan penelitian yang dilakukan Kementerian ESDM, hampir 77 persen BBM Subsidi dinikmati oleh orang yang tidak berhak atau dinikmati oleh kalangan menengah keatas. Menurutnya definisi kalangan menengah keatas adalah kalangan yang memiliki mobil, walaupun mobil tersebut masih dalam bentuk cicilan. Kemudian kalangan kategori mampu adalah orang yang memiliki dua sampai tiga mobil, memiliki air conditioner (AC) di dalam rumah serta rumah memiliki kapasitas listrik diatas 2000 watt.

"Kalangan menengah dan kalangan mampu yang sekarang menikmati subsidi dari BBM. Untuk itu kami melakukan pengendalian subsidi," kata Jero di Kementerian ESDM.

Jero mengatakan dalam membuat premium satu liter diperlukan biaya Rp12.000, kemudian dijual ke masyarakat sebesar Rp6.500. Artinya pemerintah harus membayar selisih harga Rp5.500, selisih harga tersebut itulah yang dimaksud subsidi oleh pemerintah. Sementara itu untuk solar, dalam pembuatan solar menghabiskan biaya Rp12.500 per liter, lalu dijual kepada masyarakat Rp5.500, selisih hargar Rp7000 ditalangi oleh pemerintah.

Dia juga menuturkan dari tahun ke tahun kuota BBM terus mengalami peningkatan dari tahun 2010 jumlah kuota BBM subsidi sebanyak 38,23 juta Kl, tahun 2011 sebanyak 41 juta Kl, tahun 2012 sebanyak 45 juta Kl, tahun 2013 sebanyak 46,6 juta Kl dan tahun 2014 sebanyak 46 juta Kl. Jero menjelaskan pada awalnya pemerintah mengajukan tawaran BBM subsidi sebanyak 48 juta Kl, akan tetapi DPR tidak menyetujui. Pada akhirnya pemerintah dan DPR sepakat kuota di tahun 2014 berada dibesaran 46 juta Kl.

Jero menjelaskan alasannya kuota BBM selalu mengalami kenaikan ditiap tahunnya dikarenakan masyarakat Indonesia makin sejahtera, kebutuhan listrik pun naik dan kebutuhan BBM juga naik. Kenaikan tersebut sejalan dengan jumlah kendaraan mobil yang per tahunnya bertambah 1,2 juta unit, kemudian sepeda motor bertambah 9 juta unit per tahunnya.

"Sebetulnya berat kalau kuotanya 46 juta Kl. Tapi namanya berjuang dan ada tantangannya harus kita hadapi," kata Jero.

Kebijakan pengetatan tersebut ternyata tidak berhasil ditetapkan kepada masyarakat. PT Pertamina (Persero) menyatakan mencabut kebijakan pengetatan Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi di seluruh SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum). Kebijakan pengetatan BBM subsidi jenis premium sebesar 5 persen sampai 10 persen dan solar sebesar 15 persen.

Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina (Persero) Hanung Budya mengatakan kebijakan tersebut diambil dikarenakan Pertamina mendapatkan jaminan dari hasil perbincangan dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Chairul Tanjung. Hanung menceritakan dirinya dipanggil oleh Chairul Tanjung yang akrab disapa CT. Dalam perbincangannya dengan CT, Hanung mengungkapkan bahwa Pertamina diminta oleh pemerintah untuk menghentikan pengetatan BBM subsidi di seluruh SPBU. Artinya penyaluran BBM kembali dinormalkan kembali tetapi tetap melakukan pengendalian secara terukur.

"Artinya tidak boleh tidak diijinkan BBM subsidi ini diperjualbelikan. Jadi tidak boleh orang beli pakai jirigen lalu dijual secara eceran dan tidak boleh melakukan pembelain secara berlebihan," kata Hanung di Bandara Udara Halim Perdanakusuma, Rabu (27/8).

Hanung menambahkan dalam perbincangannya dengan CT bahwa kuota BBM subsidi akan cukup hingga akhir tahun. Lalu, Hanung mengungkapkan bahwa CT akan menjamin jika kuota yang sudah ditetapkan ternyata melampaui maka akan menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemerintah akan mengambil solusi jika kuota BBM akan melampaui dari APBN-P.

Hanung juga menyampaikan kepada CT terkait surat Menteri Keuangan yang berisikan agar kuota BBM subsidi tidak boleh dilampaui. Jika terlampui maka resiko di Pertamina, potensi penggantian subsidi tidak dibayar. Hanung mengaku menanggapi hal itu CT menyatakan akan menyampaikan kepada Menteri Keuangan bahwa kebijakan untuk mencabut pengetatan BBM subsidi tidak akan merugikan Pertamina.

"Pencabutan kebijakan pengetatan BBM yang terhitung dari tanggal 18 Agustus sudah tidak berlaku lagi karena Pertamina sudah mendapatkan jaminan dari Pak CT. Jadi Pertamina tidak lagi menanggung beban subsidi jika melampaui kuota," kata Hanung di Bandara Udara Halim Perdanakusuma.

Maka dari itu, ketika sudah mendapatkan jaminan dari CT. Hanung langsung memerintahkan kepada General Manager (GM) diseluruh SPBU untuk kembali menyalurkan BBM subsidi secara normal. Bahkan dalam perintahnya kepada GM agar dalam penyalurannya ditambah 30 persen dari distribusi normal.

Kendati demikian, untuk menyalurkan 30 persen dari distribusi normal akan dilakukan secara bertahap karena mobil tangki yang biasanya beroperasi hinggan pukul 20.00, harus berjaga-jaga harus bekerja hingga pukul 00.00.

"Jadi butuh waktu. Kemarin sudah disampaikan kepada konsumen bahwa pengetatan subsidi BBM sudah dicabut," kata Hanung.

Kabinet Kerja

Belum ada seratus hari Presiden Joko Widodo langsung menaikan harga BBM subsidi sebesar Rp2000 dari Rp6500 menjadi Rp8500. Padahal pada saat pemerintah menaikan harga BBM subsidi, trend harga minyak dunia mengalami penurunan dari US$120 per barel menjadi US$80 per barel.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan kenaikan BBM akan berdampak terhadap meningkatnya angka inflasi dari 5,2 persen menjadi 7,2 persen. Selain berdampak terhadap tingginya angka inflasi, pemerintah dapat menghemat di sektor Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan mengurangi defisit anggaran.

Bambang memperkirakan pemerintah mampu menekan angka defisit anggaran lebih rendah ketimbang asumsi yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) yaitu sebesar 2 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Dia juga menegaskan pemerintah tidak perlu meminta izin kepada DPR untuk menaikan harga BBM. Sebab dalam pembahasan APBN-P tidak ada satu pasal yang mengharuskan meminta persetujuan kepada DPR terkait rencana kenaikan harga BBM.

"Jadi pemerintah tidak perlu melakukan konsultasi untuk menaikan BBM," kata Bambang.

BACA JUGA: