JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah menyatakan tengah mengkaji harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dengan daya beli masyarakat. Pemerintah berencana mematok harga maksimal bahan bakar jenis premium sebesar Rp9500 per liter. Untuk sementara ini harga premium masih mengikuti harga  minyak dunia. Namun kebijakan mematok harga ini dinilai bisa menjadi masalah jika harga minyak dunia terus melonjak, dikhawatirkan akan berdampak pada daya beli masyarakat.

Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Minyak dan Gas (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Naryanto Wagimin mengatakan saat ini harga premium masih tergolong rendah seiring menurunnya harga minyak dunia. Namun jika saat harga minyak dunia melambung tinggi maka secara otomatis harga BBM premium akan naik, sehingga akan membuat daya beli masyarakat menjadi tertekan.

Oleh sebab itu, Naryanto mengatakan pemerintah saat ini masih mengkaji daya beli masyarakat dalam penentuan harga jual BBM. Disisi lain Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengharapkan agar harga premium dapat dibatasi maksimal sebesar Rp9500 per liter.

"Pak Menko inginnya harga premium bisa dibatasi maksimal Rp9500 per liter," kata Naryanto, Jakarta, Senin (12/1).

Menurutnya saat ini posisi harga minyak mentah berdasarkan perhitungan West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman minyak di bulan Februari mengalami penurunan menjadi US$47,5 per barel. Sedangkan untuk perdagangan pada siang hari, minyak mentah Brent pada bulan Februari menjadi US$49,21.

"Kecenderungannya mengalami penurunan untuk Premium dan Solar per 1 Februari 2015. Tapi penurunannya masih dihitung oleh pemerintah," kata Naryanto.

Sementara itu, pengamat energi dari Energy Watch Ferdinand Hutahaean mengatakan patokan harga maksimal BBM sebesar Rp9500 sangat tidak tepat dan terlalu tinggi untuk masyarakat. Sebab bila harga naik sampai Rp9500, pemerintah belum melakukan aksi apapun. Dia menilai seharusnya harga premium sebesar Rp5500 per liter jika mengikuti harga minyak mentah dunia.

Menurutnya dipatoknya batas maksimal Rp9500, tidak bisa diartikan hal tersebut untuk menjaga daya beli masyarakat. Sebab harga tersebut sudah terlalu tinggi. Jika untuk menjaga daya beli, maka pemerintah harus menurunkan harga patokan maksimalnya.

Dia menambahkan seharusnya pemerintah mengubah kebijakan terkait penentuan harga BBM. Sebab kebijakan penentuan harga BBM dengan mengikuti harga minyak mentah, dinilai mencari jalan mudah.

"Ini sangat tidak tepat dan pemerintah  cenderung membiarkan rakyat dalam kondisi tertekan. Masih banyak yang bisa dilakukan supaya rakyat terlindungi," kata Ferdinand kepada Gresnews.com.

Menurutnya meskipun harga minyak dunia dalam kondisi rendah, pemerintah seharusnya tidak terlalu reaktif dan latah untuk menurunkan harga minyak. Menurutnya pemerintah tetap mempertahankan harga BBM dengan harga yang wajar dalam takaran masyarakat sekarang. Sebab penurunan harga minyak ternyata tidak diikuti dengan kebijakan penurunan harga bahan pokok. Sehingga penurunan harga BBM hanya menguntungkan kalangan mampu.

Menurutnya lebih baik harga BBM tetap bertahan sehingga pemerintah mendapatkan untung untuk membangun infrastruktur seperti kilang minyak dan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG). Dia menilai dengan pembangunan infrastruktur dan SPBG, Indonesia bisa menuju kedaulatan energi. Pemerintah  diminta untuk tidak mengeluarkan kebijakan yang reaktif dan sporadis, pemerintah harus memikirkan kebijakan yang antisipatif dan terpola.

"Kebijakan antisipatif itu kegunaannya ketika harga minyak naik. Semua sudah diantisipasi sehingga rakyat terlindungi dari gejolak pasar" kata Ferdinand.

BACA JUGA: