JAKARTA,GRESNEWS.COM - Pertamina sebagai perusahaan minyak nasional (NOC) dinilai kurang diberikan kesempatan luas untuk mengelola dan mengusahakan blok-blok minyak dan gas (migas). Kontribusi Pertamina dalam pengelolaan migas sejauh ini baru 26 persen. Prosentase ini jauh lebih kecil dibanding perusahaan-perusahaan migas nasional lainnya.


Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Syamsir Abduh menyebut kontribusi negara lain,  seperti Petronas, Malaysia sudah mencapai 70 persen. "Maka pemerintah harus memberikan peran Pertamina sesuai dengan tujuan pembentukannya dengan mengelola blok migas secara mandiri di dalam negeri," kata Syamsir di Jakarta, Rabu (28/12).

Menurut Syamsir, secara teknis kemampuan Pertamina sudah tidak diragukan. Bahkan dengan menunjuk Pertamina mengelola blok migas produksinya jauh lebih baik daripada operator sebelumnya. Seperti yang terjadi di lapangan Ramba, Sumatera Selatan. Apalagi dengan regulasi Pertamina diberikan hak pertama untuk mengelola blok yang habis masa kontraknya.
 
"Agar mencapai ketahanan energi dan kemandirian nasional, maka pemerintah harus menunjuk Pertamina mengelola blok migas yang masa kontraknya akan habis," ujarnya.

Namun Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja (FSP BUMN Bersatu) Arief Poyuono berpendapat,  untuk  dapat mengelola blok-blok migas  yang ada di Indonesia Pertamina membutuhkan capital yang kuat. Hal itulah yang menjadi persoalan Pertamina sekarang ini.

Oleh karena itu rencana Menteri BUMN membentuk holding Migas BUMN dimana Pertamina menjadi lead holding-nya harus segera direalisasikan. Hal itu akan meningkatkan permodalan Pertamina, sehingga bisa mengelola blok-blok migas.

"Dengan demikian bisa meningkatkan kontribusi  produksi Migas nasional  menjadi di atas 50 persen," kata Arief kepada gresnews.com, Rabu (28/12) malam.

BANYAK MAFIA BERMAIN - Ia juga mengakui dari sisi kemampuan SDM Pertamina tidak kalah dengan National Oil Company (NOC) negara lain. Namun yang membuat pengelolahan migas pertamina kalah dari negara luar, karena terlalu banyak politisasi DPR terhadap Pengelolaan Pertamina, saat mereka akan melakukan aksi Corporasi.

"Itu sebenarnya karena kepentingan dan ketakutan para mafia migas yang selama ini menikmati rente impor migas dari negara dan menghambat kontribusi produksi migas nasional," ujarnya.
 
Menurut Arief yang penting sekarang harus cepat dibentuk holding migas agar tidak banyak birokrasi dan akan lebih kuat dan di percaya oleh para lembaga pembiayaan nasional dan international.


"Saya rasa akan lebih baik kalau  Pertamina diberi hak ekslusive untuk mengelola blok migas dan itu wajar terjadi di banyak Negara. Dimana NOC juga dikasih hak eksklusive oleh negara," tegasnya.

Namun ia menegaskan, untuk mencapai visi kemandirian dan ketahanan energi nasional, semua tergantung cadangan yang masih tersisa dan feasible tidaknya perusahaan itu secara keuangan.

"Karena kalau cadangan migas dan modal yang dikeluarkan terlalu tinggi untuk mengelola blok migas yang sudah habis kontraknya, malah nanti Pertamina rugi," paparnya.

Ia meyakini bahwa terhambatnya Pertamina mengelola migas, karena dugaan ada campur tangan para mafia migas. "Sebab  jika Pertamina menguasai produksi migas  dan menaikkan produksi nasional. Maka hal itu akan mempengaruhi para mafia migas dan oknum-oknum DPR dan Kementerian ESDM, karena mereka tidak lagi mendapatkan jatah dari mafia migas," ujarnya.

Namun ia juga mengingatkan Pertamina harus berhati-hati saat mengambil alih blok migas yang habis kontraknya. Pertamina harus mengetahui data lengkap tentang sisa cadangan dan biaya yang dikeluarkan agar tidak merugi.

"Pertamina harus selektif memilih lapangan yang akan diambil, dengan mengukur aspek kesiapannya," katanya.

Seperti diketahui saat ini terdapat sejumlah blok migas yang masa kontrak pengelolannya akan habis. Pemerintah perlu memberikan ruang bagi Pertamina untuk mengelola blok migas dalam negeri itu.

BACA JUGA: