JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah organisasi negara-negara pengekspor minyak (Organization of Petroleum Exporting Countries--OPEC) memangkas produksi minyaknya rata-data sebesar 1,2 juta barel per hari (bph) ternyata mulai membawa dampak kepada Indonesia. Dengan alasan ada kenaikan harga minyak mentah, pemerintah melalui PT Pertamina (Persero) berencana akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Solar bersubsidi pada awal tahun depan sebesar Rp500 per liter.

Wakil Direktur Utama Pertamina Ahmad Bambang mengatakan, penjualan Solar subsidi sudah mengalami defisit sejak Oktober 2016. Dengan terkereknya harga minyak dunia, setelah keputusan OPEC tersebut, Pertamina akan semakin merugi jika tetap menjual solar subsidi di harga Rp5.150 per liter.

"Apakah pemerintah berani menaikkan harga dengan mengikuti kenaikan harga minyak per 1 Januari 2017? Karena kami telah defisit solar subsidi Rp700 per liter, " kata Bambang di The Ritz Carlton Hotel,Jakarta, Selasa (13/12).

Bambang menjelaskan, harga minyak dunia saat ini terkerek naik karena bukan hanya negara-negara OPEC saja yang memangkas produksinya. Sepuluh negara produsen minyak non OPEC, salah satunya Rusia, mengikuti komitmen itu. Mereka sepakat menurunkan produksi sebesar 500.000 bph.

Kesepakatan penurunan produksi itu membuat harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Januari 2017 naik US$2,28/barel menjadi US$53,78/barel. Sementara harga minyak jenis Brent naik US$2,29/barel menjadi US$ 56,62/barel. Maka harga bahan bakar minyak (BBM) per Januari 2017 juga naik.

Akibatnya angka subsidi solar pun ikut membengkak. Tadinya di harga Rp5.150 per liter, subsidi yang diberikan pemerintah adalah sebesar Rp1.200. Namun kenaikan harga minyak mentah membuat angka subsidi juga terkerek naik karena harga solar sebenarnya juga sudah naik.

"Karena harga nyatanya telah di atas Rp6.000 (per liter), maka ini adalah sebagai pekerjaan rumah," kata Bambang.

Menurutnya, sejak Oktober 2016 perseroan sudah mengalami kerugian dalam menjual solar bersubsidi. Tetapi pihaknya belum menaikkan harga jual, karena Pertamina masih dapat menutupi dengan keuntungan yang diperoleh sejak Januari 2016, sampai September 2016, dari penjualan solar subsidi tersebut .

"Jadi sebenarnya sejak Oktober 2016, tetapi kita tidak mau menaikkan dengan alasan masih ada untung untuk solar, namun untuk Januari 2017 keadaan telah berbeda," ujarnya.

Keuntungan Pertamina dari penjualan solar subsidi pada 2016 ini tak bisa dipakai untuk 2017. Pembukuannya berbeda, penggunaannya tidak boleh dicampur aduk. Maka Pertamina tak bisa menutup defisit harga solar di 2017 dengan surplus dari tahun 2016.

"Ada kondisi yang berbeda. Solar sebetulnya kita sudah rugi sejak Oktober tapi kami nggak mau menaikkan karena kami masih punya untung untuk solar. Tapi Januari ini kan beda tahun, pembukuannya beda, nggak bisa digeser. Tabungan solar Pertamina nggak bisa digunakan menyeberang tahun," tutupnya.

Permintaan Pertamina untuk menaikkan harga solar bersubsidi sebesar Rp500/liter di 2017 ini dinilai tak tepat oleh Pengamat Ekonomi dan Energi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmi Radhi. "Kenaikan harga solar mempengaruhi secara signifikan terhadap kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, sehingga memberatkan bagi rakyat," kata Fahmi kepada gresnews.com, Selasa (13/12).

Dia berargumen, pencabutan subsidi lewat menaikkan harga solar bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)yang mengamanahkan pemerintah untuk memberikan subsidi BBM. "Padahal subsidi BBM hanya diberikan pada solar dan minyak tanah," jelasnya.

Oleh karena itu, kata dia, pemerintah harus menolak permintaan Pertamina untuk menaikan harga solar."Kalau tetap akan dinaikkan, sebaiknya bukan menaikkan harga solar, tapi harga Premium, Pertalite dan Pertamax," ujarnya.
PEMERINTAH PERTIMBANGKAN - Terkait masukan dari Pertamina itu, Kementerian ESDM menyatakan akan mempertimbangkannya. Pemerintah akan menghitung dulu apakah harga BBM memang harus berubah atau tidak. "Kita sedang hitung, nanti tunggu tanggal mainnya," kata Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Kementerian ESDM, Setyorini Tri Hutami, Selasa (13/12).

Rini menambahkan, harga minyak dunia memang sedang dalam tren kenaikan. Namun, perlu berbagai pertimbangan untuk menetapkan kenaikan harga BBM subsidi. Keputusan final akan diambil oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan. "Trennya memang naik, tapi nanti Menteri ESDM yang memutuskan," ucapnya.

Namun sebelumnya, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara, mengatakan dampak kenaikan minyak dunia sejak keputusan OPEC, tidak banyak berpengaruh pada perekonomian Indonesia, khususnya APBN. Sebagai informasi, harga minyak mentah melonjak 10% pada perdagangan Rabu hingga menembus US$ 50/barel.

"Kalau dulu pada waktu masih memberikan subsidi besar pada BBM, maka kenaikan harga minyak akan tekan APBN. Karena Pertamina harus beli minyak yang harganya naik, tapi jualnya rendah. Jadi APBN harus nombokin," jelas Mirza, di acara Arah Kebijakan BI 2017 di Hotel Kempinski, Jakarta, Kamis (1/12).

"Makanya dulu kenaikan harga BBM, subsidi BBM pasti meningkat. Dan pada satu batas di mana kenaikan harga tak bisa ditolerir lagi, maka terpaksa harga dinaikkan, di mana pasti inflasi akan naik," imbuhnya.

Apalagi, lanjut dia, saat ini pemerintah melakukan penyesuaian harga setiap 3 bulan sekali untuk harga BBM jenis solar, sehingga kenaikan minyak mentah tidak berdampak siginifikan pada ekonomi Indonesia.

"Setiap 3 bulan ada adjusment (penyesuaian), situasi ini berbeda dengan dulu-dulu. Memang harga BBM pakai market price, tapi bukan benar-benar market price. Jadi sekarang kenaikan BBM sudah beban APBN, yang kalau dinaikkan pasti berdampak pada inflasi," jelas Mirza. (dtc)

BACA JUGA: