JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana pemerintah mempercepat mengembangkan Blok East Natuna masih mengalami kendala. Pasalnya hingga saat ini, negosiasi terkait sistem kontrak menjadi hambatan pengembangan blok tersebut.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar mengatakan, lambatnya negosiasi antara pemerintah dengan beberapa konsorsium yakni PT Pertamina (Persero), ExxonMobil dan PTT FP Thailand terjadi karena persoalan bagi hasil.

Seperti diketahui, pemerintah telah menyodorkan Production Sharing Contract (PSC/kontrak bagi hasil) Blok East Natuna kepada konsorsium Pertamina, ExxonMobil, dan PTT sejak 2 bulan lalu. Konsorsium tersebut ditawari bagi hasil minyak sebesar 40%. Namun hingga kini kontrak itu belum juga ditandatangani, meski diharapkan bisa diteken pada 14 November lalu.

"Konsorsium masih mempunyai beberapa pandangan berbeda yang harus dipertimbangkan," kata Archandra dalam Forum Bisnis Pengembangan Migas di Kawasan Natuna di Crowne Plaza, Jakarta, Selasa (6/12).

Dia mengaku, saat ini pemerintah sedang mendorong negosiasi tersebut agar dapat dipercepat. "Saat ini negosiasi tengah berlangsung, kita terus mendorong sebenarnya kita minta agreement dua minggu lalu seharusnya," jelasnya.

Dia menyebutkan, terdapat beberapa persyaratan dan aturan yang ditawarkan pihak konsorsium terhadap pemerintah belum menguntungkan bagi negara. Sehingga Kementerian ESDM terus mencari peluang agar syarat ataupun sistem tercapai dengan saling menguntungkan. "Salah satunya adalah masalah split. Fiskalnya sedang dibicarakan," ucap Arcandra.

Arcandra berharap negosiasi bisa segera selesai dan PSC East Natuna dapat diteken pada awal 2017. "Kalau kita bikin target baru lagi, Insya Allah awal tahun 2017. Mohon bersabar menanti apa yang akan diputuskan," ujarnya.

Sebagai informasi, PSC Blok East Natuna yang ditawarkan pemerintah sekarang baru mengatur secara detail syarat dan ketentuan untuk pengembangan minyak di struktur AP. Sedangkan untuk pengeboran di struktur AL (gas) belum diatur jelas, karena masih menunggu hasil kajian mengenai teknologi yang cocok untuk pengembangan gas di sana, serta bagaimana pemasarannya (Technology and Marketing Review/TMR).

Bagi hasil untuk gas belum ditentukan, TMR ditargetkan selesai akhir 2017. Pemerintah berjanji menyesuaikan PSC setelah studi untuk pengembangan gas di East Natuna selesai.

Lokasi Blok East Natuna termasuk dalam 9 garis batas di Laut Cina Selatan yang diklaim China sebagai wilayahnya. Maka blok yang memiliki cadangan gas sebesar 46 triliun kaki kubik (TCF) ini harus segera digarap untuk menunjukkan kedaulatan Indonesia.

Terkait hal ini, Pertamina pernah mengatakan, bagi hasil sebesar 40% sebenarnya cukup ekonomis untuk pengembangan minyak di struktur AP. "Terkait dengan besaran split tersebut, menurut perhitungan Pertamina masih bisa ekonomis walaupun tantangannya cukup banyak," kata Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam, beberapa waktu lalu.

Meski split untuk gas belum jelas, Alam mengatakan, Pertamina mendukung pemerintah yang ingin segera ada aktivitas di Blok East Natuna. Pertimbangan untung rugi pun lebih dikesampingkan oleh Pertamina.

"Untuk Blok East Natuna, target utama pengembangan di sana adalah gas di struktur AL. Namun mengingat perlunya segera ada aktivitas di East Natuna, maka kita berusaha mengembangkan dulu struktur AP yang mempunyai kandungan minyak," kata Syamsu.

Selanjutnya Pertamina masih berdiskusi dengan ExxonMobil dan PTT, apakah mereka bersedia menandatangani PSC tersebut. Pemerintah berharap sudah ada jawaban di akhir bulan ini. Pihax Exxon dan PTT kabarnya memang belum setuju dengan tawaran bagi hasil pemerintah.

Pasalnya, biaya investasi untuk mengembangkan ladang gas ini bakal sangat besar. Pangkal soalnya ada pada kandungan karbondioksida (CO2) yang tinggi yaitu mencapai sebesar 72 persen. Padahal, volume gas di tempat atau Initial Gas in Place (IGIP) Blok East Natuna mencapai sebesar 222 triliun kaki kubik (tcf), dan cadangan terbuktinya 46 tcf.

Agar bisa komersial, maka perlu teknologi untuk memisahkan CO2. Investasi teknologi inilah yang cukup mahal, sehingga kontraktor ingin bagi hasil lebih besar agar return of investment bisa lebih cepat.

TAK LAYAK INVESTASI - Terkait masalah ini, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan, tingginya kandungan CO2 pada cadangan gas di Blok East Natuna membuat blok ini memang belum layak investasi. Pasalnya, untuk memisahkan CO2 itu perlu investasi tinggi, sementara, harga minyak dan gas saat ini relatif rendah di pasar dunia.

"Tentu secara hitungan keekonomiannya tidak layak investasi saat ini, mungkin angka IRR (Internal Rate of Return) nya sangat rendah," kata Yusri kepada gresnews.com, Selasa (6/12).

Pemerintah memang menghitung, rasio pengembalian investasi Blok Natuna memang hanya mencapai sebesar 12%, sehingga perlu insentif menarik bagi investor agar mau membenamkan modalnya. Yusri menilai, insentif memang penting mengingat investor akan terkena tambahan biaya tehnologi pemisahaan CO2 dalam gas.

Kondisi ini tentu tidak menarik bagi investor. "Apakah negara akan mau menanggu kerugiannya?" kata Yusri.

Tetapi jika melihat pemerintah lebih serius mendesak konsorsium ExxonMobil, Pertamina dan PTT EP Thailand untuk segera sepakat mulai ground breaking lebih dulu, mungkin bisa menjadi terobosan penting mengingat persoalan klaim perbatasan. "Karena dengan alasan ancaman China yang akan menguasai daerah Laut China Selatan," jelasnya.

Bahkan, kata dia, China secara tidak langsung sudah mengklaim bahwa wilayah East Natuna juga merupakan wilayah mereka. Menurutnya, dengan adanya desakan pemerintah, maka investor diharapkan tergerak karena ada alasan mengamankan wilayah teriotorialnya.

"Artinya dengan kehadiran ExxonMobil di East Natuna, setidak bisa membuat China berpikir dua kali untuk mengklaim itu bagian wilayah teritorial mereka," ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) IGN Wiratmaja Puja mengatakan, pemerintah punya beberapa skenario untuk menarik investor. Pertama, insentif keringanan pajak atau tax holiday selama lima tahun. Kedua adalah jangka waktu kontrak lebih lama, yakni hingga 50 tahun.

Ketiga, bagi hasil yang lebih besar untuk kontraktor. Dalam hal ini, skenario terburuknya adalah 100 persen bagi hasil minyak dan gas bumi dari blok tersebut menjadi milik kontraktor, sebelum dikurangi pajak. Skenario ini bisa terjadi mengingat investasi yang harus dikeluarkan investor untuk teknologi pemisahan CO2.

Jika, skenario ini masih tidak menarik, kata Puja, maka pemerintah akan menunggu harga minyak naik, setidaknya hingga ke level US$100 per barel untuk mencapai tingkat keekonomian. (dtc)

Rencana pemerintah mempercepat mengembangkan Blok East Natuna masih mengalami kendala. Pasalnya hingga saat ini, negosiasi terkait sistem kontrak menjadi hambatan pengembangan blok tersebut.

BACA JUGA: