JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara yang berada di Desa Tubanan Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara Jawa Tengah, telah mengusik kehidupan warga sekitarnya. Sejak beroperasi tahun 2006, pembangkit bernama resmi PLTU Tanjung Jati B itu membuat masyarakat terpapar polusi udara, suara bahkan air. Hal itu paling terekam dalam beberapa pengakuan masyarakat yang direkam oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Greenpeace Indonesia.

Ngatimah, warga Desa Tubanan mengatakan sejak ada PLTU kehidupannya menjadi tidak nyaman. Suara yang keluar dari PLTU sangat berisik. Deru pembangkit terus terdengar, terutama saat malam datang. "Seperti suara motor mabur (pesawat terbang)," ujarnya, seperti ada dalam video berjudul Ancaman Maut PLTU Batubara yang diunggah Greenpeace Indonesia di situs youtube.com pada Selasa (11/8).

Ngatimah mengatakan, selain suara, kini dia juga terganggu dengan debu yang dihasilkan PLTU. Setiap hari dia harus menyapu lantai rumahnya tiga sampai empat kali. "Tiap hari harus nyapu rumah. Wong, debunya dari PLTU. Kalau orang sini masuk (ke PLTU), ceritakan masalah debu-debunya, itu tanggapannya ya ntar, ntar. Gitu aja," katanya.

Keluhan terhadap PLTU yang terletak di pinggir pantai utara Jawa itu juga disampaikan oleh M. Bakri, warga Desa Tubanan. Dia mengatakan, warga sekitar PLTU banyak merasakan dampak buruk dari PLTU. Banyak yang sakit karena polusi udara. Menurutnya, debu-debu dari PLTU berterbangan ke pemukiman warga. Begitu juga saat ada kebocoran limbah dari PLTU, warga akan merasakan bau limbah yang menyengat dan mencemari air mereka. Warga akhirnya ada yang memilih keluar dari desanya, pindah.

"Kalau anak kecil banyak yang kena flek (di paru-paru), itu gara-gara batubara. Sampai ada orang di RT 6 RW 7 itu sampai pindah. Rumahnya ditinggal  karena anaknya sakit-sakitan," katanya.

Salah satu warga yang memilih pindah rumah adalah Karsalim, warga Desa Ngelo Kecamatan Kembangan yang lokasinya juga tak jauh dari PLTU. Karsalim menjelaskan, dia pindah karena tidak nyaman setelah PLTU ada. Bising dan banyak debu. Selain itu, anaknya menjadi sakit-sakitan, sering sakit panas, sakit kepala dan sesak napas. "Kata dokter, ya ini kalau lama-lama malah bahaya," katanya. Karena ingin anaknya tidak sakit-sakitan, Karsalim akhirnya memilih keluar dari rumah yang susah payah dia bangun.

Sementara itu, bidan Desa Tubanan Rina Anjarwati mengatakan di desa tersebut penyakit sesak napas dan batuk pilek tidak kenal musim. Hampir setiap hari ada warga yang yang datang berobat kepadanya dengan keluhan infeksi saluran pernapasan. Terutama, anak-anak usia dua bulan.

Rina juga mengatakan, di desa Tubanan selain banyak debu juga ada hujan abu. Abu tersebut banyak melekat di baju selain itu pemukiman warga juga dekat dengan tempat tumpukan batubara untuk PLTU. Hal itu, menurutnya mungkin berpengaruh juga ke saluran pernapasan. Apalagi anak-anak memang daya tahan tubuhnya rendah. Banyak anak-anak menjadi sakit-sakitan. Setelah sembuh, kadang seminggu atau dua minggu berikutnya sakit lagi.

"Untuk anak-anak di bawah 5 tahun, itu malah daerah Desa Ngelo yang paling banyak, yang memang berdekatan dengan PLTU. Tapi saya nggak berani kalau harus bilang ini gara-gara PLTU ya. Nggak berani karena memang belum ada bukti," katanya.

Data Greenpeace Indonesia menyebut, PLTU Batubara Tanjung Jati B mulai dioperasikan sejak 2006. Saat ini PLTU beroperasi dengan empat unit pembangkit berkapasitas total 2.648 megawatt (MW) menjadi salah satu penopang kebutuhan listrik untuk wilayah Jawa, Madura dan Bali. Setiap hari PLTU yang luasnya mencapai 16 hektare ini mampu memasok listrik sekitar sekitar 12 persen kebutuhan listrik untuk wilayah Jawa, Madura dan Bali.

JADI OBJEK PENELITIAN - Keluhan warga Desa Tubanan dan Ngelo di atas dijadikan sebagai salah satu penguat dari laporan yang berjudul "Ancaman Maut PLTU Batubara" yang dirilis oleh Greenpeace Indonesia dan Universitas Harvard di Jakarta Pusat, Rabu (12/8). Laporan yang disusun berdasarkan penelitian terbaru yang dilakukan oleh peneliti dari Universitas Harvard terkait dampak polusi udara yang diakibatkan oleh PLTU Batubara di Indonesia terhadap kesehatan.

Penelitian yang dipimpin oleh Profesor Shannon Koplitz itu mengestimasikan, selama ini, sebanyak 42 PLTU Batubara yang beroperasi di Indonesia menyebabkan sekitar 6.500 orang mengalami kematian dini setiap tahunnya. Penyebab utama datang dari penyakit stroke (2.700 orang), jantung iskemik (2.300), penyakit paru obstruktif kronik (400), kanker paru-paru (9300) dan penyakit kardiovaskular dan pernapasan lainnya (8000 orang).

"Kematian dini yaitu potensi bagaimana masyarakat itu mati sebelum expectation age atau umur rata-rata. Kalau umur rata-rata masyarakat Indonesia 60 tahun, kematian dini itu bisa terjadi 10 tahun atau maksimal 20 tahun (lebih cepat) dari umur rata-rata," kata Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia kepada wartawan di Jakarta, Rabu (12/8).

Dalam laporan disebutkan, batubara yang dibakar di PLTU menghasilkan sejumlah polutan seperti partikel halus. Partikel halus beracun terdiri Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen Oksida (NOx) dan debu. Partikel halus atau partikel mikroskopik yang dikenal dengan nama PM2.5 ini ukurannya sangat kecil. Tiga kali lebih kecil dari lebar ukuran lebar rambut manusia. Partikel ini dapat menembus ke dalam paru-paru dan aliran darah, yang akhirnya dapat menyebabkan kematian dan berbagai penyakit.

Selain partikel halus, PLTU juga menghasilkan ozon dan logam berat yang beracun dan mematikan. Logam beracun itu antara lain: merkuri, arsenik, timbal, kromium, nikel dan cadmium. "Emisi dari PLTU Batubara membentuk partikel dan ozon yang merugikan kesehatan manusia," ujar Shannon Koplitz, Rabu (12/8).

BERDAMPAK PADA KESEHATAN - Penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari Harvard dilakukan dengan prosedur sebagai berikut. Pertama, mengumpulkan dan menyusun data semua PLTU Batubara yang beroperasi di Indonesia. Termasuk data lokasi, kapasitas rincian teknis lain. Kedua, membuat estimasi emisi polutan udara yang dihasilkan PLTU. Estimasi dihitung dari standar emisi, alat kontrol emisi yang terpasang dan batubara yang dibakar. Ketiga, membuat estimasi level polusi saat ini atau transport polusi kimia. Estimasi ini didasarkan pada model GEOS Chem, yaitu model atmosfer transport-kimia canggih. Model ini punya data emisi dari semua sektor dan lokasi yang berbeda. Data ini digunakan sebagai baseline atau data dasar tingkat polusi, untuk kemudian dibandingkan.

Keempat, menggunakan estimasi model atmosfer untuk menghitung persentase para penyumbang total polusi di lapangan pada lokasi yang berbeda-beda yang disebabkan oleh PLTU. Di PLTU yang sudah beroperasi, model dijalankan dengan memakai data emisi PLTU. Di PLTU yang belum beroperasi, memakai proyeksi emisi. Kelima, bersamaan dengan hasil pemodelan, digunakan juga data kependudukan atau populasi resolusi tinggi. Hal ini untuk melihat paparan polusi PLTU terhadap populasi yang terkena. Keenam, memakai data dari Global Burden Disease Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lain terkait risiko penyakit akibat polusi udara. Serta hasil dari penelitian ilmiah yang memperlihatkan hubungan peningkatan risiko penyakit-penyakit itu tersebut dengan kenaikan tingkat polusi. Data itu menghasilkan angka dampak kesehatan total, yang kemudian dimasukkan dalam permodelan.

Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mengatakan, penelitian ini dilakukan selama sekitar setahun dari tahun 2014 dan 2015. Terkait dengan data kesehatan yang dijadikan sebagai salah satu data dasar, penelitian ini tidak mengambil dan mengumpulkan data langsung di lapangan. Tapi, memakai data Global Burden Disease Indonesia antara tahun 1990 sampai tahun 2010 yang terkait polusi udara, serta data-data penelitian ilmiah yang menunjukkan hubungan penyakit tersebut dengan tingkat polusi. "Jadi di sini ada dampak kesehatan total dari PLTU-PLTU yang ada. Data ini yang kemudian dimasukkan dalam permodelan," kata Hindun.

Hindun mengatakan, selain data kesehatan ini, data lain yang dijadikan sebagai data dasar. Namun ada juga data semua PLTU yang ada di Indonesia. Baik kapasitas, teknologi yang digunakan, sistem cerobongnya, estimasi emisinya dan lainnya. Dari situ kemudian dapat diestimasi berapa emisi yang dikeluarkan. Total emisi ini dipadukan dengan model atmosfer yang memasukkan data arah angin, data curah hujan, data populasi penduduk di di sekitar PLTU dan radius yang terkena polusi.

"Itu kita akan tahu total emisi sekian itu akan terbawa (oleh angin) ke mana ini. Oh ternyata terbawa ke arah utara, atau ke selatan, di mana di situ kepadatan penduduknya sekian. Pada saat semua titik-titik PLTU dikalkulasi, dibikin modelnya semua, lalu diperhitungkan berapa emisi yang dikeluarkan, terbawa siklus angin kemana, curah hujan berapa, total populasi yang terkena dampaknya berapa. Gambarannya seperti itu, sehingga keluar angka," katanya.

Lauri Myllyvirta, Ahli batubara dan polusi udara dari Greenpeace menambahkan, estimasi mengenai jumlah polusi yang dihasilkan oleh sebuah PLTU didapat dari data teknologi yang digunakan, data emisi serta data proyeksi emisi dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dibuat PLTU. "Ada PLTU yang data emisinya lumayan tetap, ada yang harus estimasi ulang," katanya kepada Gresnews, Rabu (12/8).

SELARAS PENELITIAN SEBELUMNYA - Menurut Juru Kampanye Greenpeace Indonesia Arif Fiyanto, hasil penelitian tim Universitas Harvard ini juga selaras dengan beberapa penelitian lapangan sebelumnya mengenai dampak PLTU. Pertama, penelitian Greenpeace Indonesia di PLTU Cilacap tahun 2009. Yaitu dua tahun setelah PLTU beroperasi. Mereka melakukan pemeriksaan kesehatan gratis di sekitar PLTU Cilacap, dengan melibatkan dokter independen. Dalam penelitian itu, mereka menemukan fakta bahwa 81 persen masyarakat ada di radius 5 kilometer dari PLTU menderita penyakit yang berhubungan dengan pernapasan. Mulai dari infeksi saluran pernapasan sampai dengan radang paru-paru hitam (black lung). Dari 821 masyarakat yang memeriksakan diri, 81 persen di antara menderita penyakit-penyakit terkait pernafasan.

Selain itu, pada 2012, Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang juga pernah mencoba mencari dan mendapatkan data-data kesehatan terkait dampak PLTU Jepara. Mereka saat itu sempat tidak diberi data, sebelum akhirnya mendapatkannya setelah melalui gugatan dan prosedur tentang kebebasan informasi publik. Mereka mendapatkan data kesehatan 4 tahun terakhir setelah PLTU beroperasi. Hasilnya, data yang mereka dapat menyebutkan, memang terjadi peningkatan penyakit cukup drastis.

Greepeace juga sudah melakukan kunjungan ke hampir seluruh PLTU yang ada di Pulau Jawa pada April dan Juni 2015 ini.  Mulai dari PLTU Paiton di Probolinggo, PTLU Labuan Banten, PLTU Jepara, PLTU Cilacap, PLTU Suralaya, PLTU Indramayu.  Dari kunjungan itu masyarakat di sekitar PLTU hampir semuanya mengeluh, mereka terkena masalah kesehatan setelah PLTU tersebut beroperasi. Namun, ketika Greenpeace meminta data kesehatan ke Dinas Kesehatan atau Puskesmas setempat data tidak diberikan. "Dari data testimoni seperti itu dan dari dua penelitian kita, paling tidak di dua PLTU, paling tidak itu mengkonfirmasi hasil penelitian ini," kata Arif, menanggapi pertanyaan gresnews.com, Rabu (12/8).

PLTU DAN TREN GLOBAL - Dalam laporannya, Greenpeace Indonesia juga menyebut, angka 6.500 orang di Indonesia yang mengalami kematian dini setiap tahun dan itu diperkirakan bisa membengkak sampai 15.700 orang per tahun. Hal itu akan terjadi jika pemerintah Indonesia melanjutkan rencananya  membangun sekitar 117 PLTU baru di Indonesia.

Proyeksi tambahan 117 PLTU dihitung berdasarkan rencana lama pemerintah Indonesia. Yaitu sebelum Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana program listrik 35 giga watt (GW). Padahal dari program 35 GW, sebanyak 22 GW listrik diperkirakan berasal dari PLTU Batubara.

"Indonesia adalah salah satu negara di dunia dengan rencana terbesar untuk memperluas industri batubara, namun sedikit yang telah dilakukan untuk mempelajari dampak kesehatan yang ditimbulkannya," kata Shannon Koplitz.

Seperti ditulis Greenpeace Indonesia, saat ini sekitar 40 persen listrik dunia dihasilkan dari PLTU Batubara. Namun, ke depan persentase itu kemungkinan akan berubah batubara mulai ditinggalkan karena dianggap gagal dan tidak efisien, adanya dampak pencemaran, makin terjangkaunya energi terbarukan serta adanya penolakan di beberapa negara. Amerika Serikat (AS) misalnya mulai 2010 lalu menjadwalkan untuk menutup 200 PLTU. Bersamaan dengan itu AS menambah 46 GW listrik dari energi terbarukan: dari tenaga angin, matahari dan panas bumi.

Greepeace Indonesia menulis, tren meninggalkan batubara ini juga sedang dijalankan oleh China. Hal ini didorong oleh kebijakan terkait polusi udara dari batubara. Data International Energy Agency menyebut PLTU China turun 3,7 persen di kuartal pertama 2015. Sedangkan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) naik 17 persen, pembangkit bertenaga angin dan matahari naik lebih dari 20 persen. Selain itu, penjualan batubara turun 4,7 persen dibanding tahun 2014. Sedangkan impor batubara  menurun drastis sampai 40 persen.  

Hindun Mulaika menyebut saat ini Pemerintah Indonesia di persimpangan jalan. Apakah tetap menjalankan pendekatan bisnis dalam menghasilkan listrik, yaitu dengan memilih batubara dan konsekuensinya kesehatan ribuan orang Indonesia dipertaruhkan. Atau memilih berubah dengan melakukan ekspansi yang cepat dalam mengembangkan energi batu terbarukan. Jika memilih batubara, maka pemerintah sama saja dengan melawan tren global.

"Saat di negara-negara lain meninggalkan coal jadi global trend, kenapa kita justru masih memfavoritkan batubara sebagai source energi kita," kata Hindun.

Hindun mengatakan kondisi industri batubara Indonesia saat ini sedang kritis. Penyebabnya, pemakai batubara terbesar di dunia, seperti AS dan China sudah meninggalkan batubara. Hindun melihat langkah pemerintah Indonesia karena malah akan besar-besaran memanfaatkan batubara. "Kalau kita boleh berestimasi atau berpikiran negatif, ini karena untuk menyelamatkan industri mining (batubara) yang ada di Indonesia. Karena dia (batubara) akan lari ke domestic market. Karena banyak sekali perusahaan tambang yang sudah tutup, perusahaan kecil tambang batubara," kata Hindun.

Industri batubara Indonesia memang tengah terpuruk. Hal itu antara lain disampaikan oleh Hendra Hendra Sinadia, Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI). Dia menjelaskan, penyumbang terbesar jebloknya harga batubara Indonesia adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi China. Sebab pasar terbesar ekspor batubara kita adalah China. Sebelum harga lesu, ekspor batubara Indonesia sekitar 300-350 juta ton per tahun, bahkan lebih. Dari jumlah itu sekitar 40 persen diekspor ke China. "Pertama China ya. Karena kita sangat bergantung pada China ekspornya. China melambat ekonominya, otomatis kita kena pengaruh," katanya kepada gresnews.com, Rabu (29/7).

JAWABAN PEMERINTAH - Terkait laporan Greenpeace ini, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Adi Wibowo mempertanyakan bagaimana Greenpeace bisa memastikan bahwa 6.500 orang yang mengalami kematian dini itu disebabkan oleh PLTU. Penelitian semacam ini menurutnya hampir sama dengan penelitian tentang rokok, Ada kontroversi. Ada penelitian yang membuktikan rokok menyebabkan berbagai penyakit, namun ada juga penelitian yang kesimpulannya berkebalikan.

"Kematian prematur itu, wong orang mati itu kan macam-macam penyebabnya, masak gara-gara debu, abu. Belum tentu juga, bagaimana dia membuktikannya," katanya kepada gresnews.com, Rabu (12/8).

Adi mengatakan, Indonesia saat ini masih butuh PLTU. Terkait program 35 GW yang sebagian besar dari PLTU, Adi membenarkan bahwa kebijakan itu diambil untuk mengejar kebutuhan listrik yang terus naik. Opsi menggunakan PLTU dianggap paling memungkinkan, karena cepat dan bisa dibangun dengan kapasitas besar. Sedangkan energi terbarukan, belum sesuai untuk dipakai mengejar kebutuhan karena kapasitasnya yang kecil.

"Sekarang begini, ada nggak (pembangkit) energi terbarukan di dunia yang bisa sampai 1.000 megawatt (MW)? Nggak ada. Energi terbarukan, misalnya solar panel, angin, itu kan paling cuma dibangun 5, 10 atau 50 MW," katanya. Nuklir menurutnya bisa diandalkan untuk mengejar kebutuhan listrik yang besar secara cepat namun nuklir masih ada pro kontra.

Negara-negara, lanjut Adi, yang saat ini maju dan kaya dulu juga sama seperti Indonesia. Amerika Serikat, Inggris dan lainnya pada awal-awal era industrialisasi juga membakar batubara. "Sekarang mereka sudah punya teknologi yang lain, jadi tidak pakai (batubara lagi). Kini semua teriak-teriak nggak boleh, kan nggak mungkin. Jadi kalau mereka teriak-teriak tutup PLTU batubara, itu namanya nggak fair. Dulu mereka juga pakai itu. Sekarang mereka nggak pakai lagi, karena mereka banyak nemu shale gas. Jadi mereka pakai gas sekarang. Kita kan belum sampai situ, arah memang ke sana," katanya.

Karena itu, menurut Adi, kemudian mengapa ada pengaturan terkait kewajiban pengurangan emisi bagi negara-negara maju itu. Antara lain diatur dalam Protokol Kyoto 1997. Mengutip situs Kementerian ESDM, protokol ini dihasilkan oleh negara-negara industri maju yang memprakarsai pembentukan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), sebuah Konvensi kerangka kerja PBB terkait perubahan iklim. Konvensi yang dibentuk 1992 ini bertujuan untuk menciptakan stabilitas kadar gas rumah kaca di atmosfer, agar tidak membahayakan dunia.

Di tahun 1997, UNFCC menghasilkan Protokol Kyoto yang berisi kewajiban bagi negara-negara yang masuk dalam daftar Annex I (negara industri maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia dan lainnya) untuk menurunkan jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan setidak-tidaknya 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Tujuannya mengatur emisi gas rumah kaca agar konsentrasinya stabil di atmosfer dan tidak membahayakan sistem iklim di bumi. Protokol Kyoto dapat dijalankan melalui tiga mekanisme oleh negara-negara Annex I, salah satunya melalui clean development mechanism (CDM) atau mekanisme pembangunan bersih.

CDM merupakan salah satu mekanisme yang dapat dijalankan dengan cara pemberian bantuan pendanaan pengembangan teknologi bersih (ramah lingkungan) dari negara-negara yang masuk daftar Annex-1 ke negara berkembang. "(Adanya aturan) itu karena kemudian (mereka) sadar, oh nggak bisa semata-mata melarang, nggak boleh," kata Adi.

Adi menyadari bahwa PLTU yang kita bangun di awal-awal masih menggunakan teknologi lama. Belum sebagus teknologi yang ada saat ini. Kalaupun ada teknologi tinggi, harganya pasti sangat mahal. Sedangkan kita merupakan negara berkembang, sehingga pilih yang murah. Hal itu saat ini sudah berubah. "Jadi pada waktu itu istilahnya masih oke lah pakai yang murah. Ya karena mampunya itu. Sekarang kan makin diperketat. Teknologinya juga semakin bagus," katanya.

Ia juga mengatakan, pemerintah sudah punya peta jalan untuk mengurangi emisi dari PLTU  batubara secara bertahap.Termasuk pengaturan PLTU agar menggunakan teknologi Ultrasuper Critical Boiler yang lebih baik dan ramah lingkungan dan sebagainya.

Pemerintah, menurut Adi, juga sudah punya pemikiran untuk meningkatkan teknologi PLTU, salah satunya, melengkapi PLTU dengan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS). Teknologi CCS dapat menangkap emisi karbon yang dihasilkan PLTU. Hal itu saat ini sedang dikaji oleh Kementerian ESDM, karena  teknologinya mahal. "Iya, memang ada pemikiran untuk diperbaiki, retrofit namanya. Apakah itu diretrofit dengan teknologi CCS. Ya walaupun di sini, di ESDM masih dilakukan studi. Dengan CCS, yang emisinya ditangkap segala macam itu, memang dalam tahap studi. (Namun) kalau itu digunakan, retrofit ditambahi dengan teknologi CCS, otomatis akan nambah biaya. Larinya ke listrik yang lebih mahal. Balik lagi, kalau listrik mahal masyarakat mampu beli nggak?," katanya.

JANGAN BERGANTUNG PADA BATUBARA - Sementara itu Kepala Unit Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Pius Ginting mengatakan mereka tidak pernah mendorong Indonesia untuk mengandalkan batubara. Mereka selama ini juga selalu kritis dalam menanggapi isu batubara, baik dalam hal penambangan maupun sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik. Di proses penambangan, banyak masyarakat terganggu oleh pencemaran air dan debu dari tambang Sedangkan PLTU menghasilkan emisi karbon.

"PLTU Jelas kotor. Dia menghasilkan partikel halus yang berbahaya buat kesehatan," katanya kepada gresnews.com, Selasa (18/8).

Pius juga mengatakan bahwa negara-negara besar seperti AS dan China sudah mulai meninggalkan batubara dan beralih ke energi terbarukan. Di AS misalnya ada 200 PLTU Batubara yang ditutup. Di China, PLTU juga sudah tidak lagi ada dibuat di kota-kota besarnya. "Harusnya Indonesia juga melakukan langkah yang sama. Yaitu dengan tidak membangun PLTU dan beralih ke energi terbarukan," katanya.

Saat ini, lanjut Pius, harga komoditas juga batubara sedang jatuh di pasar global. Permintaan batubara turun. Salah satu dampaknya, Indonesia harus mengurangi produksinya sebesar 20 persen. Menurutnya, anjloknya permintaan batubara ini bukan hanya disebabkan perlambatan ekonomi global, tapi memang ada alasan lingkungan hidup. Itulah yang membuat banyak negara meninggalkan PLTU batubara.

Pius prihatin dengan Indonesia, saat negara-negara lain meninggalkan batubara, kita malah membuka diri menjadi pasar bagi teknologi batubara yang mereka ciptakan. Pemerintah memberi ruang kepada swasta asing untuk menjual teknologi batubara di Indonesia di  program 35 GW. Baik itu dari Korea, Jepang, China, Prancis dan Jerman. Walhi tidak setuju komposisi besar batubara dalam program 35 GW, yaitu sekitar 60 persennya. Walhi berpendapat, sebaiknya angka 60 persen itu direvisi, dialihkan untuk mengembangkan energi terbarukan.

Terkait alasan pemerintah bahwa saat ini pemerintah pakai batubara karena perlu menyediakan listrik dalam jumlah, relatif cepat dan murah, Pius melihat itu sebagai jalan pintas dan sempit. Pasalnya, banyak sekali kerugian yang terjadi di sekitar pertambangan batubara dan juga di sekitar PLTU. Nelayan kehilangan tangkapannya, petani yang sawahnya dekat PLTU berhenti produksi karena hasil produksinya berkurang 30-40 persen. "Jadi yang terjadi bukan hanya perlambabatan ekonomi yang diakibatkan PLTU Batubara, tetapi penghilangan ekonomi masyarakat," katanya.

Terkait keberadaan sekitar 42 PLTU yang saat ini sedang beroperasi di Indonesia, Pius mengatakan, sebaiknya pemerintah tidak memperpanjang masa hidup atau life timenya. PLTU yang misalnya masa hidup sudah 20 atau 30 tahun dan selesai, tidak perlu lagi diperpanjang. "Kalau nggak mau dihentikan secara langsung, okelah ditunggu life timenya habis. Setelah dia berhenti beroperasi, kembangkan energi terbarukan dan tidak lagi bangun PLTU," katanya.

BACA JUGA: