JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah Indonesia sepertinya serius melakukan  kerjasama dalam proyek ambisius pengembangan kereta cepat atau High Speed Train (HST) rute Jakarta-Bandung dengan pemerintah China. Kerjasama itu sebagai tindaklanjut kesepakatan antar pemerintah pada saat KTT ASEAN beberapa bulan lalu.

Namun banyak pihak mengkhawatirkan kerjasama tersebut,  mengingat pengalaman Indonesia kerjasama proyek infrastruktur dengan China selama ini. Apalagi dalam bidang transportasi kerjasama dengan China memiliki catatan miring. Antara lain terkait keluhan kwalitas bus Transjakarta yang dibeli dari negara tirai bambu tersebut.

Namun seakan mengabaikan pengalaman dan pernyataan minor sejumlah pihak atas kerjasama tersebut. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno melenggang maju untuk merealisasikan kerjasama dengan pemerintah China.  Terlihat dari perkembangan pembicaraan kedua negara terkait realisasi proyek High Speed Train (HST) rute Jakarta-Bandung.

Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sahala Lumban Gaol mengatakan kerjasama tersebut sudah melangkah lebih jauh. Hal itu terbukti akan ditindaklanjutinya kerjasama antar BUMN Indonesia dengan BUMN China.

Menurutnya kerjasama tersebut sudah memasuki tahap persiapan pembangunan proyek. "Bahkan dalam waktu dekat Menteri BUMN China akan berkunjung ke Indonesia untuk melakukan pembicaraan lebih lanjut dengan Menteri BUMN Rini Soemarno," ujarnya.

Lumban mengatakan kerjasama tersebut telah direalisasikan dengan melakukan tinjauan proyek, perusahaan BUMN China juga sudah melakukan pembicaraan dengan BUMN Indonesia. Diakui Lumban, tidak hanya pemerintah China yang memperebutkan proyek tersebut. Pemerintah Jepang juga berminat menggarap proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tersebut.

"Kita ingin tahun ini ada hal-hal yang bisa dikerjakan dengan cepat. Makanya Menteri BUMN China ingin berkunjung ke Indonesia," kata Sahala di Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (4/8).

Sebagai informasi, konsorsium BUMN Indonesia dalam proyek pembangunan kereta cepat ini,  antaralain  PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR), PTPN VIII, PT INKA (Persero), dan PT LEN Industri (Persero). Sedangkan anggota konsorsium dari BUMN China, antara lain: China Railway International, China Railway Group Limited, Sinohydro Corporation Limited, The Third Railway Survey and Design Institute Group Corporation (TSDI), China Academy of Railway Sciences, CSR Corporation, China Railway Signal and Communication Corporation.

Konsorsium BUMN Indonesia akan dipimpin oleh PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) dan China Railway menjadi pemimpin dalam proyek pengembangan kereta cepat ini.

HARUS ADA JAMINAN - Menanggapi kerjasama ini, pengamat transportasi dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna mengatakan pemerintah Indonesia seharusnya lebih matang untuk menjalin kerjasama dengan negara-negara lain. Misalnya, dalam kerjasama tersebut apakah terdapat transfer teknologi, apakah ada pembinaan, apakah terdaat kontribusi terkait dengan komponen lokal asli dari Indonesia.

Menurutnya dalam kerjasama dengan China ini, pemerintah jangan hanya tergiur tawaran harga yang lebih murah dari negara lain, namun secara kualitas sangatlah buruk.  "Kita kan punya pengalaman bus Trans Jakarta, ya masih jauh dari harapan. Bukan berarti kredit murah, langsung diterima oleh pemerintah Indonesia," kata Yayat kepada gresnews.com.

Dia mengatakan pemerintah Indonesia seharusnya memiliki pembanding dengan negara-negara lain. Sebab belum tentu teknologi atau pengembangan infrastruktur tersebut memberikan jawaban terhadap kebutuhan masyarakat Indonesia. Menurutnya pemerintah juga harus meningkatkan kapasitasnya untuk mengembangkan teknologinya secara mandiri.

Maka dari itu, dalam kerjasama tersebut pemerintah Indonesia harus meminta garansi kepada pemerintah China terhadap produk-produk yang ditawarkannya. Kemudian pemerintah Indonesia harus bisa memperhitungkan soal kualitas teknologi. Untuk itu, pemerintah Indonesia harus meningkatkan supervisi dan peran kontrol dari proyek-proyek yang ditawarkan China. "Saya sarankan harus ada semacam jaminan pasca konstruksi, operasional beberapa tahun," kata Yayat.

DIMINTA BELAJAR DARI PENGALAMAN - Sementara itu Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Azman Natawijana mengingatkan kepada pemerintah untuk berhati-hati dalam bekerjasama dengan pemerintah China. Sebab, beberapa bentuk kerjasama dengan pemerintah China kerap membuat masalah, misalnya pembangunan pembangkit listrik 8500 MW. Menurutnya berdasarkan keterangan direksi PT PLN (Persero) dalam proyek tersebut tersebut terkesan dilakukan secara tidak hati-hati. Artinya, produk tersebut bukan produk pembangkit yang berkualitas baik.

"Sehingga menjadi masalah dan tujuan pembangunan tidak tercapai. Jadi intinya proyek tersebut dikerjakan secara asal-asalan," kata Azam kepada gresnews.com.

Mengingat pengalaman itu, Azam mengingatkan,  pemerintah Indonesia untuk belajar dari pengalaman. Pemerintah harus berhati-hati dalam menerima produk dari China, untuk itu perlu dilakukan assesment secara akurat. Pemerintah juga harus melakukan peninjauan untuk hasil pengerjaan proyek kereta cepat dari China, selain pemerintah juga harus melakukan tinjauan bagi negara-negara yang sudah melakukan kerjasama dengan China.

Selain itu, ia mengusulkan agar pemerintah meminta jaminan kepada pemerintah China dalam setiap kerjasama di segala sektor. Langkah itu dilakukan agar pemerintah tidak menelan kerugian terlalu banyak jika produk-produk asal China mengalami kerusakan.

"Jadi harus ditinjau negara-negara yang sudah menggunakan jasa negara China dalam menggarap proyek transportasi. Sebab ada juga produk China yang bagus," kata Azam.

CERITA KEGAGALAN KERJASAMA CHINA - Cerita kegagalan kerjasama dengan China bukanlah cerita baru. Indonesia telah berulangkali menuai kegagalan memujudkan proyek yang dikerjasamakan dengan China.  Seperti pengadaan bus Trans Jakarta. Untuk harga bus asal China seharga Rp650 juta per unit, harga itu dinilai lebih murah dibanding bus sejenis merk ternama. Namun belakangan hari diketahui kwalitas bus tersebut jauh lebih buruk. Sementara bus gandeng dari China seharga Rp3,7 miliar bahkan lebih mahal. Sedangkan bus gandeng dengan merk Mercedes Benz yang terjamin kwalitasnya hanya seharga Rp3,2 miliar.

Selain itu, kerjasama pemerintah Indonesia dengan pemerintah China dalam membangun proyek listrik sebesar 8500 Mega Watt. Kerjasama yang melibatkan perusahaan listrik BUMN asal China Huadian Hongkong Company Limited, Zhow Lung Jun, Geng ke Cheng, Local Partner China Hudian Janto Soetanto, dan Dening Yao juga diketahui gagal membangun pembangkit listrik di Indonesia.

Proyek pengadaan listrik Fast Track Program (FTP) 10 000 MW tahap 1 baik yang dibangun di wilayah Jawa maupun wilayah Sumatera. Seperti PLTU Teluk Sirih di Sumbar, PLTU Pangkalan Susu di Sumut, dan PLTU Nagan Raya di Aceh, juga menyimpan kisah gagal.

Pembangunan proyek PLTU yang 100 persen dikerjakan kontraktor asal China tersebut sempat mangkrak.  Lantaran adanya salah desain, pembangkit yang awalnya di desain  untuk bahan bakar batubara kalori 4000 Kcal/Kg. Namun setelah terbangun, spesifikasi batubara yang dibutuhkan berubah menjadi 5000 Kcal/Kg. Padahal   PLN sudah terlanjur membuka tender besar-besaran batubara kalori 4000 Kcal/Kg.

Jika dipaksakan menggunakan batubara 4000 kcal/Kg, maka harus dipasang alat tambahan penekan kadar sulfur batubara, yang harganya mencapai setengah harga satu unit PLTU itu sendiri. Tak hanya itu sejumlah pembangkit yang dibangun juga kerap mengalami kerusakan diduga karena kwalitas bahan yang digunakannya. Padahal dipilihnya kontraktor China, karena mereka menjanjikan harga lebih murah.

Menurut Manajer Senior Komunikasi Korporat PLN Bambang Dwiyanto saat itu, kerjasama dengan China adalah pertama kalinya. Sebelumnya dalam pembangunan pembangkit PLN  bekerjasama  sengan kontraktor dari Jepang, Jerman, atau Amerika.  Menurutnya,  selain salah desain, diketahui para kontraktor China juga gagal mendapatkan pendanaan dari perbankan, sehingga pembangunan tak kunjung dilaksanakan. Selain proyek pembangkit 10.000 megawatt yang tidak jalan, proyek 2x10 megawatt di Papua enam tahun juga mengalami nasib yang sama.

BACA JUGA: