JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penyaluran dana pinjaman luar negeri dari China Development Bank (CDB) oleh bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada PT Indosat Tbk (ISAT) dipersoalkan oleh kalangan anggota Komisi VI DPR. Selain tak sesuai tujuan peminjaman yang seharusnya untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur, penyaluran kredit ke Indosat itu juga dinilai tidak tepat, karena saat ini mayoritas saham Indosat telah dikuasai pihak asing, yakni Ooredooo Asia Pte. Ltd.

Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Darmadi Durianto mengatakan padahal sebelumnya Menteri BUMN Rini Soemarno menyampaikan bahwa pinjaman dana dari China tersebut akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.

"Sekarang kenapa harus disalurkan ke Indosat untuk membiayai asing? Bahkan pemerintah Indonesia hanya mendapatkan 14 persen. Jadi penyaluran kredit telah salah sasaran," kata Darmadi di Jakarta, Jumat (8/4).

Menurut politisi asal Mempawah, Kalimantan Barat itu, Kementerian BUMN semestinya melakukan kajian dari berbagai aspek terlebih dulu sebelum memberikan dana kepada Ooredoo. Terutama kajian terhadap aspek finansial.

"Perusahaan yang tidak jelas kinerjanya, Ooredoo perusahaan Qatar, sahamnya dimiliki Qatar," ujar anggota DPR yang juga pengajar program Magister Manajemen itu.

BUMN DALAM CENGKRAMAN CHINA - Pengamat politik dari Pusat Kajian Ekonomi dan Politik Universitas Bung Karno (UBK) Salamuddin Daeng juga menilai penyaluran dana pinjaman dari China yang diperuntukan bagi bank BUMN tetapi disalurkan ke Indosat adalah kurang tepat.

Salamuddin menduga pengalihan pinjaman dari China Development Bank (CDB) ke Indosat dan perusahaan lainnya disebabkan pihak China tidak tertarik berinvestasi pada pembiayaan pembangunan infrastruktur, sehingga dana tersebut dialihkan ke perusahaan swasta yang ada di Indonesia, salah satunya, Indosat.

Terkait motif pengalihan pinjaman Bank China kepada Indosat, menurut Salamuddin, karena pemerintah ingin mengambil alih saham Indosat. "Kalau saya melihat pinjaman dana tersebut sengaja dialihkan ke pihak Indosat agar BUMN bisa mengambil alih saham yang ada di perusahaan swasta tersebut apabila mengalami bangkrut," kata Salamuddin kepada gresnews.com, Jumat (8/4) malam.

Namun Direktur Eksekutif Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) itu mengingatkan bahwa pemberian pinjaman dari China ini akan membahayakan BUMN Indonesia. Sebab China Development Bank (CBD) bisa menguasai sepenuhnya BUMN Indonesia. Menurut Salamuddin, seharusnya pemerintah Indonesia tidak tergiur oleh pinjaman dana China Development Bank (CBD) tersebut.

"Jadi dengan pinjaman dari China untuk pengembangan dan pembangunan BUMN akan memberikan peluang bagi China untuk menguasai perusahaan BUMN kita," jelasnya.

Seperti diketahui, tiga bank BUMN diantaranya Bank Mandiri, BNI, dan BRI melakukan peminjaman dana ke China Development Bank (CBD) sebesar US$3 miliar atau sekitar Rp42 triliun. Penandatanganan utang itu dilakukan pada 16 September 2015 oleh tiga pimpinan bank BUMN itu disaksikan oleh Menteri BUMN Rini Soemarno.

PENYALURAN PINJAMAN CHINA - Dana pinjaman senilai US$3 miliar dari China Development Bank (CDB) kepada tiga bank BUMN, yakni Bank Mandiri, BNI, dan BRI ternyata telah ludes disalurkan kepada para nasabahnya. Pinjaman untuk masing-masing bank senilai US$1 miliar dengan tenor 10 tahun itu ternyata sebagian besar digunakan untuk pembiayaan restrukturisasi utang-utang korporasi.

Direktur Utama BNI Achmad Baiquni di hadapan anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (14/3), mengakui penyaluran dana pinjaman itu dilakukan dalam waktu relatif singkat. Hal itu, menurutnya, karena banyaknya nasabah potensial yang membutuhkan restrukturisasi utang. Restrukturisasi utang, menurutnya, dimungkinkan karena klausul peminjaman memperbolehkan hal itu.

"Kami sudah salurkan seluruhnya US$1 miliar, dan yang kami lakukan adalah refinancing. Jadi dalam waktu singkat penerapannya bisa maksimal," tutur Achmad.

Menurutnya, sebanyak US$442,3 juta atau 44,2 persen dari dana utang bank China itu disalurkan ke sektor manufaktur. Sedangkan 38,3 persen dana pinjaman disalurkan untuk sektor listrik, gas, dan air bersih.

Pinjaman-pinjaman itu disalurkan dalam denominasi rupiah karena BNI tidak memiliki dolar AS yang cukup ketika penyaluran berlangsung. Namun dijamin jika dikonversi nilai kredit yang disalurkan tetap senilai US$1 miliar.

Diakui Baiquni, dana pinjaman US$1 miliar disalurkan kepada 26 nasabah. Antara lain kepada PT Petrokimia Gresik yang memperoleh porsi paling banyak mencapai Rp3,16 triliun (US$237,42 juta) dan PT PLN (Persero) yang menerima pinjaman BNI senilai Rp2,55 triliun (US$187,1 juta).

Selain itu kredit juga disalurkan ke PT Semen Indonesia Tbk, PT PANN Pembiayaan Maritim (Persero), PT Sinar Tambang Arthalestari, Wintermare Offshore Marine, Citra City Pacific, PT Kartanegara Energi Perkasa, PT Rayon Utama Makmur, PT Lontar Papyrus Pulp and Paper, dan Total Prima Makmur.

Sementara itu BRI juga telah menyalurkan seluruh pinjaman sebesar US$1 miliar kepada sembilan nasabahnya diantaranya PT Poso Energy Satu Pamona, PT Bosowa Energi, PT Kertanegara Energi Perkasa, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, PT Pindo Deli, PT Indah Kiat, PT Semen Bosowa, PT Tangki Merak, dan PT Sugar Labinta. Pinjaman terbesar diterima PT Pindo Deli senilai US$221 juta, disusul Krakatau Steel sebesar US$110 juta.

Sedangkan Bank Mandiri telah menyalurkan dana pinjaman China itu kepada 12 nasabah. Sebagian besar ke sektor minyak dan gas, diantaranya disalurkan ke PT Saka Energy Indonesia (US$100 juta), PT Medco E&P Tomori Sulawesi (US$50 juta), dan PT Medco Energy International Tbk (US$345 juta).

BACA JUGA: