JAKARTA, GRESNEWS.COM - Jalinan pemerintah Indonesia dengan China dimasa Pemerintahan Joko Widodo semakin erat dan mesra saja. Setelah berbagai proyek infrastruktur seperti kelistrikan 35 Mega Watt (MW), kereta cepat Jakarta-Bandung dan gelontoran dana buat tiga Badan Usaha Milik Negera (BUMN) perbankan mengandalkan utangan dari China, pemerintah juga bakal menerbitkan global bond atau surat utang berbasis mata uang asing tahun depan. Salah satu yang dibidik adalah penerbitan surat utang berbasis mata uang China yaitu yuan.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, pemerintah akan mengkaji perkembangan kondisi pasar keuangan tahun depan sebelum merilis surat utang tersebut. "Kalau di China itu namanya adalah Dim Sum Bond. ‎Itu dipertimbangkan, tapi kita lihat juga perkembangan market," ungkap Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dalam konferensi pers di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa (3/11)

‎Bambang menjelaskan, kondisi pasar keuangan masih berkutat dengan persoalan yang sama, namun tingkat kewaspadaan berbeda. Misalnya terkait rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) dan perlambatan ekonomi China.

"Yang paling penting di pembiayaan adalah the right moment. Kami mencari moment yang paling tepat. Kadang right window-nya itu cuma tiga hari, ya itu kita masuk kalau memang kondisinya seperti itu," paparnya.

Pemerintah juga mendorong pendekatan ke lembaga multilateral dan bilateral‎. Ini akan berjalan secara bersamaan dengan mempertimbangkan kondisi yang ada.

"Kami jalan paralel, yang market tetap. Kami cari moment terbaik. Bahkan untuk rupiah dan dolar, pokoknya cari right moment untuk rupiah dan right moment untuk dolar," tegas Bambang.

MENAMBAL DEFISIT - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyiapkan tambahan pembiayan jelang akhir tahun sebanyak US$ 5 miliar atau sekitar Rp 65 triliun (kurs Rp 13.000). Seiring dengan kemungkinan pelebaran defisit anggaran dari proyeksi sementara sebesar 2,23% menjadi 2,6%.

Schneider Siahaan, Direktur Strategi dan Portfolio Utang, Ditjen Pengelolaan, Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) menyebutkan‎, penarikan akan meliputi multilateral dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dengan skema private placement.

"Total yang sedang dicarikan utang valas dari loan multilateral dan SBN kira-kira US$ 5 miliar," ungkapnya di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (29/10).

Proyeksi awal, defisit anggaran akan mencapai 2,23%, maka tambahan pembiayaan yang disiapkan adalah US$ 1,2 miliar. Namun dikarenakan akan pelebaran sampai dengan 2,6%, maka dinaikan menjadi US$ 5 miliar.

"‎Perkiraan teman-teman Ditjen Anggaran kelihatannya akan lebar lagi. Kami sudah siapkan segitu US$ 5 miliar, bisa sampai 2,5 - 2,6% (defisitnya)," ungkapnya.

Schneider menjelaskan, pencairan nantinya akan disesuaikan dengan realisasi defisit ‎anggaran dari APBN Perubahan 2015. Bila kemudian realisasinya di bawah proyeksi, maka pencairan akan ditunda menjadi tahun berikutnya.

"Pencairan disesuaikan defisit. Kalau melampaui defisit, kita tunda pencairan pinjaman ke tahun depan," terangnya.

Seperti diketahui realisasi Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah mencapai Rp 451,95 triliun atau 97,89% dari target Rp 461,7 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2015.

Hal tersebut berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan, Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) ‎yang dikutip gresnews.com, Selasa (3/11). Dari total tersebut, sebanyak 37,06% atau Rp 167,5 triliun merupakan kepemilikan asing di SBN yang diperdagangkan.‎ Realisasi ini sesuai dengan‎ defisit anggaran dalam asumsi makro yang diproyeksi pemerintah sebesar 2,23%. Sementara dalam APBN 2016, target penerbitan surat berharga negara (SBN) yang akan diterbitkan sebesar Rp 327,2 triliun.

UTANG TERUS MEMBENGKAK - Setiap tahunnya utang pemerintah pusat terus mengalami peningkatan. Hingga saat ini saja sudah mencapai Rp 3.091,06 triliun per September 2015 atau naik Rp 85,55 triliun dari bulan sebelumnya.

Namun pemerintah masih merasa tenang dan aman saja. Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Askolani menjelaskan, utang adalah hal lazim pengelolaan keuangan negara. Tidak hanya itu, utang juga sebenarnya ada dalam pengelolaan‎ keuangan rumah tangga, maupun perusahaan.

"Perusahaan dan rumah tangga pun melakukan manajemen utang untuk kegiatannya supaya bisa lebih cepat," ujarnya, Rabu (28/10).

Ukuran utang masih dalam kategori sehat atau wajar sebenarnya juga sama. Adalah ketika besaran utang yang ditarik disesuaikan dengan kemampuannya untuk pengembalian dalam rentang waktu tertentu.

Seperti Indonesia, sekarang posisi rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)‎ adalah sekitar 25-26%. Artinya ada ruang yang cukup luas bagi pemerintah untuk nantinya dapat membayar utang tersebut.‎

Menurutnya negara-negara maju saja seperti AS, Jepang dan Eropa melakukan utang sejak lama dan sampai sekarang dengan volume yang jauh lebih besar (bisa mencapai 100% dari PDB). "Indonesia levelnya jauh lebih prudent dan rendah dari negara-negara tersebut," ujarnya.

Untuk pemerintah, menghentikan penarikan utang bukanlah hal mustahil. Pemerintah cukup mengatur penerimaan dan belanja negara tidak dalam ‎posisi defisit. Cukup membayar sisa cicilan utang yang sudah ditarik.

TEPAT KELOLA - Schneider Siahaan menilai utang masih menjadi kebutuhan, seiring dengan keinginan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Khususnya melalui berbagai macam pembangunan.

‎"Kalau lihat utang, ini sebenarnya terjadi di mana-mana. Banyak negara, karena berkaitan dengan kebijakan fiskal. Saat ekonomi sedang lesu, berarti waktunya pemerintah perlu menggenjot dari sisi fiskal, agar terus ekspansif," terangnya.

"Kalau ekspansif, berarti dari sisi belanja harus diperbanyak. Dengan penerimaan yang tidak besar, maka dibutuhkan utang untuk sebagian belanjanya. Supaya ekonomi tetap bisa dijaga dan optimisme tetap terbangun," kata Schneider.

Namun ia menjelaskan utang masih tetap menyimpan risiko‎ yang harus diantisipasi dan dikelola dengan tepat. Risiko utang bukan hanya dilihat dari kepemilikan investor asing atau lokal.‎ Paling besar pengaruhnya adalah perilaku investor yang bersifat trader atau spekulatif. Di mana ketika memiliki surat utang, begitu ada sedikit gejolak langsung dijual. Risiko ini berlaku untuk utang dalam bentuk obligasi atau surat utang.

Perilaku lainnya adalah investor yang menjaga kepemilikan surat utang sampai dengan jatuh tempo. Schneider menyebutnya sebagai investor loyal, karena mempercayai fundamental ekonomi suatu negara, meski ada gejolak eksternal ataupun internal.

"Kalau ada yang buy hold yang berarti setelah dibeli kemudian ditahan sampai jatuh tempo. Sebenarnya kalau buy hold itu kalau banyak yang dari asing juga nggak apa-apa, Asalkan benar-benar di-hold. Tidak masalah buat kita," paparnya.

Bila melihat beberapa waktu terakhir, pemilik surat utang di Indonesia masuk dalam kategori loyal. Sebab ketika ada gejolak pasar keuangan, tidak banyak terjadi pergeseran kepemilikan surat utang.

"Kalau kita lihat waktu peak ada 40% (surat utang pemerintah yang dipegang investor asing), dan saat ada gejolak‎ sekarang menjadi 37%. Artinya kan turun cuma 3%. Berarti tipe sekarang itu buy hold, artinya cukup aman, karena kemungkinan mereka akan tetap stay," kata Schneider. (dtc)


BACA JUGA: