GRESNEWS.COM - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan dikabarkan menerima pengaduan dari suami istri Dudi Iskandar dan Jesi Isabela. Mereka mengadukan tindakan Rumah Sakit Estomihi Medan yang menelantarkan anak mereka yang bernama Rizky Ramadhan (6 bulan) hingga meninggal dunia, Rabu (6/3). LBH Medan mengatakan rumah sakit tersebut telah melanggar Pasal 6 UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Peristiwa terjadi Selasa (5/3) sekitar pukul 21.30 WIB. Dudi dan Jesi membawa Rizky ke Rumah Sakit Estomihi dengan maksud untuk berobat. Sesampainya mereka di rumah sakit tersebut, ternyata pihak rumah sakit tidak langsung memberikan perawatan intensif dan hanya dibiarkan saja di ruang UGD. Ini terjadi karena pihak Rumah Sakit tidak mau mengobati sebelum adanya uang biaya pengobatan, perawatan dan penginapan sebesar Rp2 juta. Setelah menyanggupi untuk membayar Rp1 juta, barulah perawat menelepon dokter, tetapi dokter tersebut tidak kunjung datang, sehingga bayi itupun dimasukkan ke ruang ICU dan itupun dengan catatan membuat surat pernyataan kekurangan biaya Rp1 juta lagi harus dibayar. Karena dokter tak kunjung datang, akhirnya hanya beberapa perawat saja yang melakukan pengecekan dan menyatakan Rizky sakit diare parah.

Akhirnya sekitar pukul 00.30 WIB, Rizky dinyatakan meninggal dunia. Saat pihak keluarga ingin membawa jenazah bayi tersebut pulang, pihak rumah sakit meminta uang pelunasan sesuai dengan surat pernyataan tersebut sebesar Rp800 ribu baru bisa dibawa pulang. Jika tidak dibayar, bayi tersebut tidak bisa dibawa pulang, atau jika mau dibawa pulang harus ada jaminan sepeda motor ditinggal di rumah sakit. Setelah biaya tersebut dibayar, pihak rumah sakit kembali meminta biaya Rp200 ribu untuk mobil ambulans.

Lalu bagaimana pandangan hukum terhadap kasus ini?

Pasal 6 UU Rumah Sakit berbicara mengenai tanggung jawab pemerintah yang menyatakan pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk:

  1. Menyediakan rumah sakit berdasarkan kebutuhan masyarakat;
  2. Menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan di rumah sakit bagi fakir miskin atau orang tidak mampu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. Membina dan mengawasi penyelenggaraan rumah sakit;
  4. Memberikan perlindungan kepada rumah sakit agar dapat memberikan pelayanan kesehatan secara profesional dan bertanggung jawab.

Perlu diketahui dulu apakah rumah sakit belum menangani bayi Rizky memang karena alasan biaya atau adanya keterbatasan fasilitas rumah sakit? Apabila rumah sakit terbukti melalaikan pasien karena masalah pembiayaan, rumah sakit dapat dikatakan melanggar Kode Etik Rumah Sakit (Kodersi) pasal ke-3 yang menyatakan rumah sakit harus mengutamakan pelayanan yang baik dan bermutu secara berkesinambungan serta tidak mendahulukan urusan biaya. Apabila rumah sakit mengalami gugatan yang berkaitan dengan etik maka permasalahan tersebut ditangani oleh Komite Etik Rumah Sakit (KERS) yang merupakan suatu perangkat organisasi nonstruktural yang dibentuk dalam rumah sakit untuk membantu pimpinan rumah sakit dalam melaksanakan Kodersi.

Adapun yang menjadi tugas, wewenang, dan tanggung jawab dari KERS menurut Pedoman Pengorganisasian Komite Etik Rumah Sakit dan Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit Indonesia Persi-Makersi, yakni:

  1. Melakukan pembinaan insan perumahsakitan secara komprehensif dan berkesinambungan, agar setiap orang menghayati dan mengamalkan Kodersi sesuai dengan peran dan tanggung jawab masing-masing di rumah sakit. Pembinaan ini merupakan upaya preventif, persuasif, edukatif, dan korektif terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan atau pelanggaran Kodersi. Pembinaan dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, diskusi kasus, dan seminar;
  2. Memberi nasihat, saran, dan pertimbangan terhadap setiap kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh pimpinan atau pemilik rumah sakit;
  3. Membuat pedoman pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang terkait dengan etika rumah sakit;
  4. Menangani masalah-masalah etik yang muncul di dalam rumah sakit;
  5. Memberi nasihat, saran, dan pertimbangan etik kepada pihak-pihak yang membutuhkan;
  6. Membantu menyelesaikan perselisihan/sengketa medis yang terjadi di lingkungan rumah sakit;
  7. Menyelenggarakan pelbagai kegiatan lain yang dipandang dapat membantu terwujudnya kode etik rumah sakit.

LBH Medan menyatakan pihak rumah sakit melakukan kelalaian (dereliction of duty) atau penyimpangan kewajiban. Dereliction of duty yang dinyatakan oleh LBH pada RS Estomihi Medan mengacu pada pendapat Guwandi (2009) mengenai unsur-unsur kelalaian yang diungkapkan  dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Medik dan Bio-Etika. Empat dasar tersebut dikenal sebagai 4-D, mencakup:

  1. Duty. Bahwa ada hubungan terapeutik antara pasien dan dokter selaku tenaga kesehatan yang sedang melakukan tugasnya di rumah sakit tersebut;
  2. Dereliction. Adanya penyimpangan dari duty tersebut, dimana terdapat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh pihak dokter yang tidak melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi/ standar prosedur operasional yang telah ditetapkan oleh rumah sakit;
  3. Damage. Munculnya kerugian; dan
  4. Direct relationship. Bahwa ada hubungan sebab akibat secara langsung dari tindakan tersebut dengan kerugian yang muncul.

Sudah seharusnya menjadi suatu standar prosedur bahwa di dalam UGD akan selalu ada dokter jaga. Pada umumnya dalam poli unit gawat darurat selalu akan ada dokter yang bertugas jaga sehingga pasien dapat ditangani terlebih dahulu oleh dokter jaga, barulah dirujuk pada dokter spesialis. Terlebih lagi, bayi Rizky masuk rumah sakit tercatat pada pukul 21:30 malam. Ada kemungkinan dokter-dokter lain sudah pulang, dan poli sudah tutup.  Hanya disebutkan bahwa bayi Rizky menderita diare berat. Tetapi tidak dijelaskan kondisi persisnya seperti apa, dan apakah dokter jaga atau perawat telah memasangkan infus untuk mencegah dehidrasi pada bayi Rizky.  

Pasien memang memiliki hak untuk  menuntut rumah sakit sesuai dengan Pasal 32 Butir q UU Rumah Sakit. Pasal 55 UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan sudah tidak berlaku karena UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan ini sudah dihapus dan diganti UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.  

Penggunaan gugatan atas dasar Pasal 1365 dan 1367 KUHPerdata dirasakan kurang tepat. Pasal 1365 KUHPerdata mengandung empat unsur utama yaitu:

  1. Ada perbuatan hukum;
  2. Ada kesalahan atau kelalaian;
  3. Ada  kerugian;
  4. Ada hubungan kausal antara kesalahan/kelalaian dan kerugian.

Sedangkan Pasal 1367 KUHPerdata menjelaskan mengenai tanggung jawab hukum majikan yang menyebutkan bahwa seseorang tidak hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dalam pengawasannya. Orang tua dan wali bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh anak-anak yang belum dewasa yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali. Majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu. Guru sekolah atau kepala tukang bertanggung jawab yang disebabkan oleh murid-muridnya atau tukang-tukangnya selama waktu orang itu berada dalam pengawasannya.

Tanggung jawab yang disebutkan di atas berakhir jika orang tua, guru sekolah, atau kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka masing-masing tidak dapat mencegah perbuatan itu atas mana mereka seharusnya bertanggung jawab. Yang dimaksud dengan orang-orang yang berada di bawahnya, adalah tanggung jawab hukum dari orang tua wali terhadap anak-anak yang belum dewasa, tanggung jawab hukum dari guru terhadap siswa-siswanya atau  tanggung jawab majikan terhadap buruhnya.

Penggunaan kedua pasal ini dirasakan kurang tepat karena dalam hal ini belum terlihat ada tindakan apapun dari pihak rumah sakit, sehingga kesalahan dan kelalaian tersebut sulit dibuktikan. Kalaupun memang terbukti ada tindakan pembiaran dari rumah sakit, pemidanaan berdasarkan Pasal 304 KUHP dapat diberlakukan apabila dengan terang-terangan pihak rumah sakit menolak dengan dugaan telah menempatkan seseorang dan membiarkannya dalam keadaan sengsara padahal menurut hukum yang berlaku baginya, dia wajib memberi kehidupan, perawatan dan pemeliharaan pada orang tersebut dan mengakibatkan kematian, maka orang tersebut dapat dikenakan sanksi pidana paling lama sembilan tahun. Dan apabila dalam kondisi darurat rumah sakit memang terbukti tidak melakukan upaya maksimum, barulah dapat digugat rumah sakit itu melalaikan kewajiban menurut Pasal 29 UU Rumah Sakit dengan diberlakukan sanksi administratif berupa teguran, teguran tertulis hingga pencabutan izin.

Velanti Anggunsuri
Analis Gresnews.com

BACA JUGA: