JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meneken Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2013 tentang Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) pada 8 Juli lalu. BPRS merupakan amanat Pasal 61 UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Pasal 3 PP ini menjelaskan, BPRS merupakan unit nonstruktural pada Kementerian Kesehatan yang melakukan pembinaan dan pengawasan rumah sakit secara eksternal yang bersifat nonteknis perumahsakitan, melibatkan unsur masyarakat, bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan, dan menjalankan tugasnya bersifat independen.

Tugas BPRS adalah membuat pedoman tentang pengawasan Rumah Sakit untuk digunakan oleh BPRS Provinsi; membentuk sistem pelaporan dan sistem informasi yang merupakan jejaring dari BPRS dan BPRS Provinsi; dan melakukan analisis hasil pengawasan serta memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk digunakan sebagai bahan pembinaan.

Adapun wewenang BPRS antara lain meliputi: a. Menyusun tata cara penanganan pengaduan dan mediasi oleh BPRS Provinsi; b. Menyusun pedoman, sistem pelaporan, dan sistem informasi jejaring dari BPRS dan BPRS Provinsi untuk ditetapkan oleh Menteri Kesehatan; c. Meminta laporan dari BPRS mengenai hasil pembinaan dan pengawasan dari BPRS Provinsi; d. Memberikan rekomendasi kepada Menteri Kesehatan dan Gubernur mengenai pola pembinaan dan pengawasan Rumah Sakit berdasarkan analisis hasil pembinaan dan pengawasan; dan e. Memberikan rekomendasi kepada Menteri dan Pemerintah Daerah untuk mengambil tindakan administratif terhadap rumah sakit yang melakukan pelanggaran.

"BPRS terdiri atas 1 (satu) orang ketua merangkap anggota dan paling banyak 4 (empat) orang anggota," bunyi Pasal 6 PP tersebut dikutip laman Sekretariat Kabinet.

Disebutkan dalam PP ini, keanggotaan BPRS berjumlah paling banyak 5 (lima) orang, yang terdiri dari unsur: a. Kementerian Kesehatan; b. Asosiasi Perumahsakitan; c. Organisasi profesi bidang kesehatan; d. Tokoh masyarakat.

Anggota BPRS harus memenuhi persyaratan: a. WNI; b. Sehat fisik dan mental; c. Tidak menjadi anggota salah satu partai politik; d. Cakap, jujur, memiliki moral, etika, integritas tinggi, memiliki reputasi yang baik, dan memahami masalah yang berkaitan dengan perumahsakitan; e. Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun; f. Melepaskan jabatan pemerintahan struktural dan/atau jabatan lainnya pada saat diangkat dan selama menjadi anggota BPRS. Khusus anggota BPRS dari tokoh masyarakat, ada syarat bukan tenaga kesehatan.

"Keanggotaan BPRS ditetapkan oleh Menteri Kesehatan," bunyi Pasal 7 Ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2013 itu.

Menurut PP tersebut, keanggotaan BPRS diangkat untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun, dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

PP ini juga menegaskan, BPRS melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada Menteri Kesehatan secara berkala setiap 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu diperlukan.

BPRS Provinsi
Dalam PP ini juga disebutkan, Gubernur dapat membentuk BPRS Provinsi untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan nonteknis perumahsakitan secara eksternal di tingkat provinsi. Dalam hal BPRS Provinsi belum dibentuk, tugas pembinaan dan pengawasan nonteknis perumahsakitan secara eksternal di tingkat provinsi dilaksnakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi.

"BPRS Provinsi dibentuk oleh gubernur apabila jumlah Rumah Sakit di provinsi  tersebut paling sedikit 10 (sepuluh) Rumah Sakit," bunyi Pasal 23 Ayat 2 PP tersebut.

BPRS Provinsi bertugas antara lain: a. Mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien di wilayahnya; b. Mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban Rumah Sakit di wilayahnya; c. Mengawasi penerapan etika Rumah Sakit, etika profesi, dan peraturan perundang-undangan; d. Melakukan analisis hasil pengawasan dan memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah untuk digunakan sebagai bahan pembinaan; dan e. Menerima pengaduan dan melakukan upaya penyelesaian sengketa dengan cara mediasi.

Dalam menjalankan tugasnya itu, BPRS Provinsi mempunyai wewenang antara lain: a. Melakukan inspeksi penegakan hak dan kewajiban pasien dan Rumah Sakit di wilayahnya; b. Menindaklanjuti pengaduan dalam rangka upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi; dan c. Memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah untuk mengambil tindakan administratif terhadap Rumah Sakit yang melakukan pelanggaran.

Keanggotaan BPRS Provinsi berjumlah paling banyak 5 (lima) orang, yang terdiri dari unsur: Pemerintah Daerah, asosiasi perumahsakitan, organisasi profesi bidang kesehatan dan tokoh masyarakat. "Keanggotaan BPRS ditetapkan oleh gubernur," bunyi Pasal 27 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2013 itu. (*/GN-01)

BACA JUGA: