JAKARTA - Proyek kerja sama antara perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Rekayasa Industri (Rekind) dan PT Panca Amara Utama (PAU) dalam pembangunan pabrik amoniak Banggai di Kabupaten Luwu, Sulawesi Tengah, senilai kontrak US$507.860.000 (Rp6,9 triliun kurs saat ini) diduga terjadi tindak pidana penggelapan pabrik dan uang retensi (Jaminan Pemeliharaan) sebesar US$50.786.000 (Rp693 miliar kurs saat ini) serta uang Jaminan Pelaksanaan (Performance Bond) sebesar US$56 juta (Rp764 miliar kurs saat ini). Rekind, yang merupakan anak perusahaan BUMN PT Pupuk Indonesia (Persero), melakukan pelaporan di Kepolisian Polda Metro Jaya atas dugaan tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh PAU. Laporan itu terdaftar dengan Tanda Bukti Lapor Nomor: TBL/2705/V/2019/PMJ/Dit.Reskrimum tanggal 2 Mei 2019. Terlapor adalah Presiden Direktur PAU Vinod Laroya dan Wakil Presiden Direktur Kanishk Laroya.

Tak hanya membuat Laporan di Polda Metro Jaya, Rekind juga mengirimkan Surat Permohonan Penanganan Kasus Proyek Banggai Ammonia Plant (BAP) itu kepada Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri melalui Surat Nomor: 192/10000-LT/06/2019 tanggal 11 Juni 2019

Patut diketahui, PAU adalah anak perusahaan PT Surya Esa Perkasa, Tbk. (ESSA). Merujuk Laporan Keuangan Triwulan III 2019, Direktur Utama emiten Bursa Efek Indonesia (BEI) itu adalah Garibaldi Thohir (Boy Thohir), yang adalah kakak kandung Menteri BUMN Erick Thohir. Saham PAU dimiliki secara langsung sebesar 0,585% oleh ESSA dan 59,415% secara tidak langsung melalui PT SEPCHEM, yang 99,999% sahamnya dimiliki langsung oleh ESSA. Gresnews.com telah mengecek akta terakhir PAU yang perubahan terakhirnya pada 19 Februari 2018 dengan notaris Devia Buniarto di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, dan menemukan fakta bahwa Boy Thohir menjabat sebagai Presiden Komisaris PAU.

Pengajar Hukum Acara Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta, Abdul Ficar Hadjar, mengatakan bila benar terjadi dugaan tindak pidana artinya kasus itu tidak bisa lagi dinegosiasikan. Tindak pidana, tegasnya, bukanlah sengketa melainkan ada pelanggaran terhadap kepentingan umum.

"Karena itu sifatnya memaksa dan tidak bisa dinegosiasikan, kecuali peristiwa itu bukan pidana atau meski ada peristiwanya tapi kurang bukti untuk membawanya ke pengadilan maka perkaranya bisa di-SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan)," kata Ficar kepada Gresnews.com, Jumat (17/1).

Sementara itu reporter Gresnews.com Muhammad Shiddiq menemui Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus di Mapolda Metro Jaya, Jumat (17/1), untuk menanyakan perkembangan kasus tersebut. Sejak dua hari lalu, Gresnews.com terus meminta jawaban dari Yusri, baik berkunjung langsung maupun melalui ponsel, berkaitan dengan posisi kasus itu. Belum ada pernyataan dari pihak Polda Metro Jaya bahwa kasus itu telah dihentikan proses hukumnya. Yusri justru kembali bertanya balik, "Kapan laporannya?" Dijawab oleh reporter Gresnews.com, "Bulan Mei 2019."

"Wah, saya di sini (menjabat) baru tiga bulan. Jadi belum mengetahui kasus yang sudah lama itu. Di sini ada 50 kasus per hari. Jadi untuk kasus Rekind tersebut, beri saya waktu. Nanti saya akan beritahu," kata Yusri.

Sebagai informasi, materi pidana yang dilaporkan oleh Rekind pada awalnya hanya berkaitan dengan dugaan penggelapan uang retensi (Jaminan Pemeliharaan) sebesar US$50.786.000 (Rp693 miliar), lalu berkembang saat penyelidikan ke arah kasus dugaan penggelapan pabrik dan uang Jaminan Pelaksanaan sebesar US$56 juta. (G-2)

BACA JUGA: