JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemberlakuan aturan menyangkut tarif angkutan berbasis online kembali memancing perdebatan. Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) menegaskan, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebaiknya tidak perlu menetapkan tarif batas bawah taksi online. Hipmi juga meminta agar Kemenhub tidak mempersulit keberadaan taksi berbasis online dengan berbagai regulasi baru.

Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan BPP HIPMI Anggawira mengatakan, pihaknya khawatir, revisi Peraturan Menteri Perhubungan (PM) Nomor 26 Tahun 2017 tentang Perubahan PM Nomor 32 Tahun 2016 akan menjadi pintu masuk pemberangusan industri kreatif nasional. "Kita khawatir, revisi ini hanya akan menjadi pintu masuk pihak-pihak tertentu yang bisnisnya konvensional untuk memberangus inovasi di industri kreatif," ujar Anggawira, dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Minggu (2/3).

Anggawira mengatakan, Kemenhub sebaiknya tidak perlu mengatur tarif batas bawah taksi online. Tarif tersebut sebaiknya diserahkan saja ke mekanisme pasar. Sebab dengan persaingan tersebut, justru konsumen yakni masyarakat luas juga yang diuntungkan. "Pandangan HIPMI jelas. Tarif transportasi, utamanya online itu, tidak perlu diatur-aturlah. Serahkan saja ke mekanisme pasar. Mereka yang tidak kompetitif dan tidak mau melakukan inovasi dan menolak model bisnis terbaru ya memang harus tersingkir. Ini kan sudah eranya persaingan terbuka," ujar Anggawira.

Anggawira mengatakan, meski tarifnya sangat terjangkau, pelayanan angkutan online sejauh ini sangat bagus dan nyaman. "Sebab itu, pengaturan ini akan menjadi disinsentif bagi taksi online," tegas Anggawira.

Dia mengatakan, inovasi yang menguntungkan dan meningkatkan daya saing perekonomian nasional semestinya didukung. "Kita tidak tolak pengaturan tapi jangan sampai dibikin sulit dan dihambat, lalu melemahkan daya saing angkutan nasional kita," pungkas Anggawira.

Anggawira mengingatkan, 11 poin penting aturan taksi online yang direvisi oleh pemerintah semangatnya untuk justru mempersulit dan meningkatkan biaya investasi serta biaya operasional taksi online. "Misalnya ada kewajiban memiliki pool, bengkel, STNK atas nama perusahaan dan sebagainya. Ini jelas-jelas semangatnya mempersulit dan mau menyamakan dengan taksi konvensional," ujarnya.

Anggawira khawatir, aturan baru Kemenhub ini dapat menjadi pembenaran bagi pelaku bisnis konvensional lainnya untuk memberangus inovasi di industri kreatif melalui lobi-lobi ke pemerintah untuk membuat regulasi penghambat sejenis. "Kita khawatir sektor lain juga diberangus juga dengan regulasi nanti oleh pelaku usaha konvensional misalnya finansial teknologi, kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Kreatifitas anak-anak muda jadi mati," kata dia.

Sebab itu, HIPMI meminta Kemenhub tidak perlu melakukan revisi aturan yang sifatnya memberangus industri kreatif. "Apalagi bisnis-bisnis online atau daring ini banyak melibatkan anak-anak muda. Tentu ini merisaukan anak-anak muda. Mereka takut berkreasi sebab regulasi ke depan bisa memberangus mereka. Kita minta Kemenhub kaji ulang, serahkan saja ke pasar," pungkas dia.

Sebagaimana diketahui, Kemenhub, pada Sabtu (1/4) telah menerapkan aturan mengenai taksi online. Aturan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan (PM) Nomor 26 Tahun 2017 tentang Perubahan PM Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Terdapat 11 Poin aturan taksi online yang mengalami revisi diantaranya penetapan tarif batas bawah dan tarif batas atas, uji KIR dan lain-lain.

Meski sudah efektif berlaku, pemerintah masih memberikan toleransi 3 bulan sejak pemberlakukan revisi Permenhub 32/2016. Masa transisi itu antara lain uji berkala kendaraan (kir), pemasangan stiker, sistem digital dashboard, penetapan tarif atas-bawah, kuota armada, pengenaan pajak, dan penggunaan nama perusahaan di STNK. Masa transisi uji kir dianggap perlu untuk meningkatkan kualitas dan pelayanan serta bekerja sama dengan pihak swasta/agen pemegang merek (APM) yang menyelenggarakan uji kir.

Terkait dengan digital dashboard, masa transisi diperlukan karena penyediaan aksesnya memerlukan proses sinkronisasi sistem teknologi informasi antara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Kemudian, soal stiker kendaraan, masa transisi akan dimanfaatkan untuk menyiapkan stiker yang berkualitas, dengan menggunakan teknologi RFID (radio-frequency identification).

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi juga mengatakan, waktu 3 bulan itu akan digunakan untuk membahas lebih lanjut poin-poin tersebut dengan pihak-pihak terkait. "Kita harapkan nanti aturan itu dapat dipenuhi dan dilaksanakan semua pihak," tegasnya.

Dalam waktu 3 bulan tersebut Menhub memastikan tidak akan ada penindakan hukum terhadap pelanggaran dari aturan ini baik oleh pihak Kepolisian maupun Dinas Perhubungan. Setelah 3 bulan masa transisi, Menhub menjelaskan, akan ada sanksi khususnya bagi pengemudi angkutan online maupun provider yang tidak memenuhi aturan. Seperti pembekuan atau suspend ID pengemudi atau pemblokiran aplikasi.

"Kalau nanti melanggar bisa ditangguhkan, kita lagi minta suatu cara tertentu untuk menangguhkan anggota-anggota apabila mereka tidak memenuhi syarat-syarat tersebut," ujar Menhub.

MASUKAN KPPU - Terkait pemberlakuan aturan baru soal taksi online ini, pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga memberikan masukan kepada pemerintah. KPPU mendorong pemerintah segera menggugurkan aturan penetapan kuota dalam revisi Permenhub 32 tahun 2016 yang mengatur taksi online. Ketua KPPU Syarkawi Rauf menilai, adanya aturan penetapan kuota ini akan menimbulkan praktik pungli di lapangan.

Dorongan menggugurkan aturan kuota ini pun termasuk dalam salah satu poin rekomendasi dari KPPU terkait revisi Permenhub 32 tahun 2016 yang diajukan ke pemerintah.
"Penjatahan ini berpotensi menjadi sarana pungli. Karena nanti Dishub yang akan mengeluarkan izin-izin ke masing-masing operator dan ini bisa saja terjadi kongkalikong," ujar Syarkawi di Bandung, Sabtu (1/4).

KPPU pun sudah melakukan koordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, KPK pun tidak sepakat dengan adanya aturan penjatahan tersebut. "Pimpinan KPK setuju dengan apa yang kami rekomendasikan. Kalau penerapan kuota ke masing-masing operator berpotensi menimbulkan pungli, bahkan sampai ke level Gubernur dan Wali Kota," katanya.

Selain itu, Syarkawi pun menilai penerapan aturan kuota ini tidak dapat berjalan efisien. Sebab, kata dia, tidak akan ada keseimbangan antara jumlah armada dan permintaan dari konsumen. "Permintaan taksi baik konvensional atau online memiliki variasi waktu yang berbeda. Misalkan siang hari kurang, tetapi pagi dan malam banyak. Kalau sewaktu-waktu ketersediaan kurang disaat itu juga permintaan tinggi, operator bisa melakukan eksploitasi kepada konsumen dengan menerapkan harga mahal," katanya.

Selain itu, KPPU juga merekomendasikan pemerintah untuk mengkaji kembali aturan tarif batas bawah. Menurutnya, perlu transisi sebelum pemerintah benar-benar menerapkan aturan tarif batas bawah tersebut.

"Tarif batas bawah perlu dibuat transisinya supaya masing-masing operator mempersiapkan diri untuk masuk ke dalam model bisnis baru. Transisi ini juga untuk melindungi dari praktik predatory pricing," katanya.

Rekomendasi lainnya terkait perubahan STNK pribadi menjadi STNK koperasi. Ia menilai, aturan ini akan menghambat para pelaku usaha bisnis transportasi khususnya taksi online. "Menurut kami ini tidak sejalan dengan prinsip gotong royong yang selama ini dibangun. Seharusnya semua tumbuh bersama, sehinga tidak perlu di switch menjadi korporasi atau koperasi," ujar Syarkawi.

BELAJAR DARI NEGARA TETANGGA - Sementara itu, Presidium Masyarakat Transportasi Indonesia Mulich Zainal Asikin meminta pemerintah untuk belajar dari negara tetangga terkait pengaturan taksi online. Dia menilai, peraturan yang dikeluarkan Kemenhub tidak memberi jaminan kepastian hukum tapi malah membelenggu bisnis yang sifatnya disruptive.

Misalnya menempatkan pengemudi transportasi online menjadi karyawan atau pekerja. "Padahal pada dasarnya bisnis ini berbasis sharing economy yang memberdayakan pengemudi sebagai pemilik-pengusaha," ujarnya.

Penggolongan bisnis jasa transportasi online dengan menyamakannya dengan bisnis taksi dan angkutan umum konvensional dianggap tidak tepat. Sebab pada dasarnya pelaku bisnis disruptive menggunakan platform sharing economy.

"Setidaknya, ada tiga poin yang tidak memihak pada transportasi online, yaitu, batasan tarif atas dan bawah, pengaturan kuota yang diserahkan ke masing-masing pemerintahan daerah dan balik nama STNK dari individu ke badan atau perusahaan. Langkah ini kontra produktif dengan era industri kreatif," papar Muslich.

Pemerintah pun diminta belajar dari Malaysia yang sebelum membuat aturan mengenai transportasi online, mereka terlebih dahulu melakukan studi yang hasilnya 80% masyarakat lebih memilih transportasi online dibanding armada konvensional. Penyebabnya adalah penumpang lebih mudah mengakses layanan online dibanding konvensional.

Sementara, Singapura melangkah lebih jauh. Mereka baru-baru ini mengizinkan perusahaan taksi konvensional menerapkan mekanisme harga dinamis (dynamic pricing) untuk armada mereka yang mendapat order lewat aplikasi.

Para pengambil kebijakan di Singapura melihat bahwa aplikasi transportasi online adalah contoh bagaimana industri dan pekerjaan dapat terkena dampak dari teknologi dan globalisasi. Ini tidak bisa dengan dilawan tetapi seluruh pelaku usaha harus dapat beradaptasi sehingga industri taksi konvensional juga tetap tumbuh.

"Saat ini, di Singapura, industri taksi konvensional juga dibolehkan menerapkan tarif dinamis untuk perjalanan menggunakan aplikasi mobile. Aturan ini bukan sekadar soal tarif karena pada dasarnya penumpang transportasi baik online ataupun konvensional memiliki kepentingan untuk dapat sampai tujuan dengan aman dan harga terjangkau," ungkap Muslich.

Karena itu, kata Muslich, sudah sepatutnya pemerintah Indonesia mengikuti jejak negara-negara tetangga dalam merespon perkembangan transportasi online. Kerangka aturan yang disiapkan pun haruslah merefleksikan aspirasi dari seluruh pemangku kepentingan. Bukan hanya pemain lama di bisnis transportasi, tapi pemain baru yang membawa inovasi teknologi dan juga tentunya konsumen yang menggunakan layanan transportasi umum sehari-hari. (dtc)

BACA JUGA: