JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan telah secara penuh dioperasionalkan sejak 1 Juli lalu.  Pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Pengelola Jaminan Sosial. Tanggal tersebut ditetapkan sebagai waktu pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan di seluruh Indonesia.

Namun, meski telah diresmikan pemberlakuannya, masih ada sejumlah persoalan. Diantaranya terkait aturan pendukung yang belum kelar disusun hingga BPJS dioperasionalkan. Aturan itu terkait penentuan besaran dana iuran pensiun yang hingga saat ini belum ditetapkan.

Pembentukan Aturan tentang Iuran Pensiun, kata anggota Komisi IX DPR RI, Irma S Chaniago, tidak boleh melebihi waktu yang disepakati antara Komisi IX dengan Kementerian tenaga Kerja dan Transmigrasi, yakni satu minggu setelah launching atau paling lambat 8 Juli 2015.

"Aturan BPJS Ketenagakerjaan ini harus beres satu minggu setelah di-launching. Jangan sampai setelah  di-launching belum ditetapkan PP-nya," kata Irma, kepada wartawan di Jakarta, Rabu (1/7).

Menurut Irma, tidak ada lagi waktu untuk memundurkan  penetapan peraturan BPJS Ketenagakerjaan terkait iuran pensiun. Kalau hal itu terjadi, sama saja lalai terhadap tugas serta tidak memiliki kecakapan dalam menyelesaikan persoalan yang menjadi tanggung jawabnya.

"Kalau aturan itu tidak ada sampai tanggal 8  akan terjadi wanprestasi (prestasi buruk), karena pengusaha dengan seenaknya memotong gaji pekerja tanpa dasar hukum yang jelas," tegasnya.

BESARAN IURAN MASIH JADI PERDEBATKAN - Terkait belum adanya aturan tentang besaran iuran itu, Direktur BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G. Masassya sebelumnya menyebut besaran dan iuran dana pensiun  yang akan diberlakukan adalah tiga persen. Diberlakukan dalam kurun tiga tahun. Angka itu akan dinaikan bertahap hingga dalam kurun tiga tahun. Hal ini, menurutnya, adalah angka yang sesuai dengan situasi ekonomi saat ini.
 
Elvyn menyampaikan sejauh ini nilai besaran iuran  masih menjadi perbedaan, apa yang menjadi kesepakatan rapat antara Komisi IX dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Sehingga belum bisa diterapkan secara pasti nilai iuran sebesar 8 persen.  

Namun Irma mengaku optimistis kementerian akan tetap berkomitmen untuk mendesak besaran iuran dana pensiun senilai  delapan persen. Dengan pembagian lima persen kewajiban pengusaha dan tiga persen kewajiban pekerja.

"Seperti yang kita usulkan besaran iurannya adalah delapan persen itu tidak boleh kurang," terangnya. Proporsinya lima persen minimal bagi pemberi kerja (pengusaha), sedangkan tiga persen merupakan angka maksimal bagi pekerja (buruh). Kalau pihak pengusaha mau menambah lebih dari angka lima persen, menurutnya sah-sah saja.

Besaran iuran tiga persen yang disebutkan Elvyn, memang masih lebih tinggi dari harapan kalangan pengusaha (Apindo). Apindo sebelumnya meminta besaran iuran 1,5 persen. Namun besaran ini masih di bawah angka maksimal bagi pekerja sebagaimana usulan Irma saat rapat Komisi IX dengan Kementerian Ketenagakerjaan sebelumnya.

Ia mengharapkan aturan yang nantinya ditetapkan terkait BPJS Ketenagakerjaan baik besaran serta skemanya, harus dijalankan serta dilaksanakan oleh seluruh pemegang kebijakan (stakeholder) terutama pengusaha. Menurutnya setelah di launching serta ditetapkannya BPJS ini, maka harus ada komitmen dari semua pengusaha di seluruh Indonesia untuk menjalankan kebijakan tersebut. "Bagi perusahaan yang tidak melaksanakan kebijakan (PP) tersebut dapat ditindak tegas oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi," katanya.

SANKSI TEGAS - Anggota Fraksi Nasional Demokrat (Nasdem) yang juga pernah memimpin serikat pekerja ini,  meminta Kemenakertrans dan kementerian terkait untuk tidak hanya memberi sanksi administratif bagi pengusaha atau perusahaan yang tidak menjalankan aturan yang ada.

Menurutnya, dipastikan akan banyak perusahan yang masih melanggar. Karena itu perlu ada sanksi yang jelas dan tegas sebagai efek jera. Misalnya, pencabutan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) bagi perusahaan yang melanggar. "Jika tidak ada pengetatan terhadap sanksi yang melanggar penerapan BPJS Ketenagakerjan ini, maka tidak akan berjalan karena sanksinya yang tidak tegas dan jelas," ujarnya.

Sementara itu Kepala Urusan (Kaur) Komunikasi Eksternal BPJS Ketenagakerjaan, Irvansyah Utoh Banja, mengatakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Pengelola Jaminan Sosial itu baru sebatas aturan tentang Jaminan Hari Tua (JHT). Namun aturan tentang besaran dana iuran sampai saat ini belum ditetapkan alias belum ada aturannya.   

Peraturan Pemerintah tentang JHT itu, kata dia, sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 29 Juni 2015. "Nomornya saya belum tahu yang pasti sudah ada regulasi penentuan iuran itu, nanti secara resmi akan kami sampaikan," ujarnya tanpa merinci lebih detail aturan tersebut.

JHT MENGECEWAKAN - Selain soal aturan tentang Iuran Pensiun, Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS) mengaku kecewa dengan sejumlah poin dalam BPJS Ketenagakerjaan. Diantaranya terkait pengelolaan dana Jaminan Hari Tua (JHT) karena menurutnya terjadi pemaksaan oleh pengelola terhadap proses pencairan JHT yang tadinya bisa dengan masa kerja lima tahun, sekarang berubah menjadi 10 tahun.

Sebab, menurutnya, poin itu memberatkan bagi pekerja yang kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). "Bagaimana dengan pekerja yang statusnya sementara atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)?" kata Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa, Agus Humaedi Abdilah, kepada gresnews.com, Rabu (1/7).

Kata dia, pada prinsipnya FSPS menolak keberadaan BPJS karena keberadaan BPJS merupakan monopoli dagang sehingga akan bertindak dan membuat aturan semaunya. Meski demikian, lanjut Agus, FSPS akan mempelajari semua hal yang berkaitan dengan BPJS maupun aturan turunannya. Ketika kemudian hasil kesimpulannya ditemukan pelanggaran atau bertentangan dengan UUD 1945, maka FSPS akan melakukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.

Seperti diketahui, penyelenggaraan jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan resmi beroperasi sejak 1 Juli 2015 setelah diresmikan Presiden Joko Widodo, Selasa (30/6). Dengan peresmian ini, BPJS Ketenagakerjaan secara resmi mengelola program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JK) serta program Jaminan Pensiun (JP) yang diperuntukan kepada pekerja penerima upah (formal) maupun pekerja bukan penerima upah (informal).

BACA JUGA: