JAKARTA, GRESNEWS.COM - Geger asap yang terjadi pertengahan tahun lalu ternyata masih berlanjut. Belakangan ini provinsi Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan sekitarnya kembali dihantui kabut asap yang diduga sebagai akibat operasi perkebunan sawit skala besar yang berada di lahan gambut. Berdasarkan pengamatan dan hasil riset Sawit Watch dan beberapa aktivis di Riau bulan April 2014 lalu, titik api banyak berada di lahan gambut.

Sebagian besar dari lahan gambut tersebut adalah konsesi milik empat perusahaan sawit yaitu PT Bukit Nusa Reksa, PT Jatim Jaya Perkasa milik (Ganda Group) di Kabupaten Bengkalis, PT Adei (Kuala Lumpur Kepong Group) di Kabupaten Bengkalis, dan PT Langgam Inti Hibrida (Ganda Group) di Kabupaten Palalawan. Menurut Koordinator Sawit Watch, Jefri Gideon Saragih, gambut adalah kumpulan unsur hara yang terkumpul sejak ratusan bahkan ribuan tahun lamanya.

Lahan yang gambut dikelola secara besar-besaran, dan mengalami proses pengeringan akan menyebabkan lahan tersebut mudah terbakar. "Hasil dari temuan lapangan kami di Riau menunjukanbahwa akar permasalahan adalah kebakaran hasil dari pembukaan dan pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan skala besar. Pemerintah daerah seakan mengobral izin-izin perluasan perkebunan sawit skala besar di Riau, celakanya izin-izin tersebut diberikan ditas lahan gambut," kata Jefri dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Rabu (20/8).

Video Hasil Pengamatan Sawit Watch Terkait Kebakaran Hutan

 

Peristiwa terbakarnya lahan gambut yang mengakibatkan kabut asap masif di Riau, menurut dia, seharusnya mampu menjadi peringatan besar bagi pemerintah. Terutama jika dikaitkan dengan Instruksi Presiden tentang Moratorium Pemberian ijin di Kawasan Hutan Primer dan Lahan Gambut. "Memang sudah saatnya pemerintah berhenti memberikan ijin pembukaan lahan di dua area tersebut," ujar Jefri.

Namun Inpres yang mendapatkan dukungan dari berbagai pihak ini justru berlawanan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPP Gambut) yang akan ditandatangani oleh Presiden dalam waktu dekat. Selain itu terdapat juga Peraturan Menteri Pertanian No. 14 tahun 2009 Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit.

Selain berhasil menemukan beberapa titik api, Sawit Watch bersama aktivis lingkungan di Riau juga menemukan pola baru yang digunakan oleh pemodal. Sering kali para pemodal ini membakar lahan baik lahan baru maupun hutan yang sudah ada tanam tumbuh milik masyarakat setempat. Dengan terjadinya kebakaran di lahan masyarakat, maka perusahaan akan mememinta ke masyarakat supaya di jual saja dengan harga sesuai dengan yang di inginkan oleh pihak perusahaan.

Serta ada dugaan membayar oknum militer. Setelah lahan selesai dibakar oleh oknum-oknum tersebut, maka lahan yang sudah tidak dikelola lagi akan dijual ke perkebunan sawit. Ini menjadi bukti bahwa Inpres Moratorium tidak berhasil bahkan fungsi kontrol dan pengawasannya tidak berjalan dengan baik. Sawit Watch juga menemukan banyak titik api di area moratorium.

Saat ini selama periode 1-5 Agustus 2014 (hasil pemantauan sawit watch) ada 15 titik api di provinsi Riau dan total 213 di Indonesia. Titik-titik api di Riau berada di kawasan perkebunan sawit milik PT Kilau Kemuning, PT Langgam Inti Hibrindo, PT Bumi Reksa Nusasejati, PT Jatim Jaya Perkasa, Puskopolda Riau, dan PT Gunung Mas Raya. "Semua titik api ini berada di sekitar wilayah perkebunan kelapa sawit," kata Jefri.

Selain Riau, semua provinsi di Kalimantan juga memiliki titik api. Kalimantan Barat dengan jumlah titik api tertinggi di Kalimantan sebanyak 162. Kalimantan Tengah menyusul dengan angka 21 titik api, Kalimantan Timur 4 titik api, dan Kalimantan Selatan dengan 3 titik api. Bahkan di Papua sudah ada 4 titik api.

Lokasi titik-titik api ini berada wilayah konsesi perkebunan sawit yang mayoritas dikuasai oleh Bakrie Group, Astra Group, Wilmar Group, Sinarmas Group, Cargill, PT. Malindo Jaya Makmur. Jefri mengatakan, informasi lebih lanjut terkait peta dan lokasi titik api dapat dilihat di Peta Titik Api di Riau dan Kalimantan.

Pada periode berikutnya 4–11 Agustus 2014, ada 157 hotspot dengan sebaran sebagai berikut: 25 Titik di Provinsi Kalimantan Tengah, 3 Titik di Provinsi Kalimantan Timur, 2 Titik di Provinsi Lampung, 3 Titik di Provinsi Papua, 19 Titik di Provinsi Riau. Selain itu ditemukan pula 1 Titik di Provinsi Kalimantan Selatan, 98 Titik di Provinsi Kalimantan Barat, 3 Titik di Provinsi Sumatera Barat.

Titik-titik api itu ditemukan berada dalam konsesi milik 10 group perusahaan besar perkebunan sawit, diantaranya Genting Group, Astra, Duta Palma, Kaestindo group, Malindo Jaya Group, Surya Dumai Group, Wilmar Group, Yamaker Group, KLAU RIVER group. Peta titik api ini juga bisa dilihat pada link berikut: Peta Titik Api Kalimantan

Peristiwa kebakaran ini sepatutnya menjadi peringatan bagi pemerintah untuk menghentikan pemberian izin pembukaan lahan di lahan gambut, sekaligus meninjau kembali izin perkebunan kelapa sawit yang telah dikeluarkan. Kebakaran ini, menurut Jefri, merupakan bukti bahwa pemberi izin telah menyalahi prosedur pemberian ijin dan pelepasan kawasan gambut. 

"Selain itu, peristiwa ini juga menjadi bahan pertimbangan untuk mengesahkan RPP Gambut. Disahkannya RPP Gambut akan memperbesar peluangan kebakaran hutan akibat pembukaan lahan gambut. Pemerintah masih perlu meninjau ulang draft RPP Gambut dalam rangka mencegah kejadian yang sama terulang kembali," ujarnya.

Terkait dengan tindak kejahatan pembakaran lahan yang sudah dan tengah berlangsung, kepala departemen kampanye Sawit Watch Bondan Andriyanu menjelaskan, perlu segera dilakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan hingga menuntut perusahaan-perusahaan nakal yang terbukti melakukan pembakaran lahan.

"Kami mendesak Kementerian Lingkungan Hidup untuk segera melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap perusahaan-perusahaan yang didalam konsesinya terdapat titik api sebagai penyebab terjadi asap yang merusak lingkungan," kata Bondan.

Selain itu, dia menyatakan, mendesak KLH segera melakukan audit lingkungan terhadap perusahaan-perusahaan yang terdapat titik api didalam konsesi-nya. "Selanjutnya memberikan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku, seperti pencabutan izin dan pembayaran denda serta ganti kerugian," pungkas Bondan.

Sebelumnya, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan sudah mewaspadai dan mengambil tindakan untuk mengantisipasi El Nino demi mencegah kebakaran hutan. "Jadi jika dilihat polanya, kita sudah menghadapi masa badai El Nino pada Agustus ini, yang nantinya akan berakhir pada bulan September," ucap Antung Deddy, Asdep Kehati dan Pengendalian Kerusakan Lahan KLH kepada Gresnews.com, Sabtu, (9/8) lalu.

Kejadian ini diperkirakan mengakibatkan kebakaran lahan dan hutan semakin luas. "Fenomena alam El Nino akan berdampak kerugian bencana ekologi, antara lain hilangnya nilai ekonomois tegakan kayu, menurunnya produktifitas ekosistem hutan, rusaknya lahan pertanian dan perkebunan," ujar Antung.

Untuk itu, KLH akan bekerjasama dengan kementerian dan pemerintah daerah guna mengantispasi datangnya El Nino. Kementerian telah membentuk forum masyarakat peduli api di desa-desa rawan kebakaran hutan. Selain itu dilakukan pula upaya Penyiapan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) juga dijalankan untuk pengendalian. "PLTB difokuskan pada peningkatan keterampilan masyarakat dalam penanggulangan dini kebakaran," kata Antung.

Berdasarkan peninjauan lapangan oleh KLH tanggal 5 Agustus 2014 lalu, hal tersebut sudah terbukti saat terjadinya puncak kebakaran di Kecamatan Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya yang dapat menurunkan 75% kejadian kebakaran dengan melakukan pemadaman bersama-sama dan dapat memadamkan 20 ha kebun dalam dua hari.

"Karena KLH tidak mempunyai tupoksi dalam pemadaman, maka dalam kasus karhutla, kami hanya bertugas untuk pencegahan dan penindakan. Mengidentifikasi dan menyidik siapa yang membuat kebakaran dan menimbulkan kerusakan serta pencemaran lingkungan," ucap Antung.

Jika ditemukan kejadian karhutla, menurutnya, pihak yang bertanggung jawab merupakan stakeholder dan instansi terkait pemadaman.

BACA JUGA: