JAKARTA, GRESNEWS.COM - Bola panas aturan baru Jaminan Hari Tua (JHT) yang baru bisa dicairkan setelah 10 tahun masa kerja sebesar 10 persen, membuat para buruh meradang. Organisasi-organisasi buruh pun akan mengajukan judicial review atas Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi dasar aturan baru JHT.

Pimpinan Kolektif Komite Persiapan-Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KP-KPBI) Ilhamsyah menilai aturan baru itu sangat merugikan buruh. "Karena buruh kontrak dan ter-PHK harus menunggu puluhan tahun untuk dapat mengambil haknya," kata Ilhamsyah, Jumat (3/7).

Ilhamsyah menyayangkan pembahasan PP JHT tak melibatkan unsur buruh. Oleh karenanya, organisasi buruh akan mengajukan judicial review PP tersebut ke Mahkamah Agung.

"Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia dan Gerakan Buruh Indonesia serta seluruh buruh Indonesia menyatakan sikap, antara lain akan mengajukan judicial review PP Jaminan Pensiun dan JHT ke Mahkamah Agung," ujar Ilhamsyah.

Selain itu, organisasi buruh juga mempermasalahkan soal PP Jaminan Pensiun. PP ini juga dinilai bermasalah karena menurunkan manfaat Jaminan Pensiun.

"Manfaat yang didapat hanya 40% dari upah rata-rata dan besaran iuran yang ditetapkan hanya 3% sangat tidak layak saat buruh telah memasuki usia pensiun," ujar Presiden KSPI Said Iqbal dalam rilis yang sama.

Aturan baru soal JHT menjadi kontroversi. Banyak pekerja yang menolak aturan baru tersebut. Dalam aturan itu, JHT hanya bisa diambil 10 persen setelah 10 tahun bekerja dan baru bisa diambil secara penuh setelah 56 tahun.

PP MENGACU UU SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL - Dalam kesempatan terpisah, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mengatakan, perubahan aturan JHT terjadi karena PP Nomor 46/2015 tentang Penyelenggaraan JHT dibentuk dengan mengacu kepada UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Pasal 37 Ayat (3) UU tersebut diatur bahwa pembayaran manfaat JHT dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 tahun. Pengaturan lebih lanjut tertuang dalam PP JHT yang baru hanya menjabarkan kata ´sebagian´ yaitu dana bisa diambil 30 persen untuk uang perumahan dan 10 persen untuk lainnya.

"Selebihnya bisa diambil pada saat peserta tidak lagi produktif sebagaimana penjelasan di atas. PP JHT tentu saja tidak mungkin menabrak UU SJSN itu," ujar Hanif kepada wartawan, Jumat (3/7).

UU No 40/2004 ditandantangani pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 19 Oktober 2004. Pada undang-undang itu juga terdapat pasal mengenai jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.

Tidak ditulis mengenai batasan usia pensiun dalam aturan itu. Sementara itu pada bab penjelasan tertulis bahwa JHT dapat diberikan sebelum usia pensiun apabila mengalami cacat total tetap yang membuatnya tak bisa bekerja dan iurannya berhenti.

Undang-undang itu juga mengatur bahwa pengelola dana jaminan sosial itu adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sedangkan pada saat itu dana jaminan sosial dikelola oleh Jamsostek. Maka itu ada aturan peralihan dari Jamsostek menjadi BPJS. Disebutkan bahwa pelaksanaan undang-undang itu paling lambat dilakukan pada 5 tahun sejak diundangkan.

TUJUAN PROGRAM JHT - Hanid menjelaskan, program Jaminan Hari Tua ditujukan sebagai pengganti terputusnya penghasilan tenaga kerja karena meninggal, cacat, atau hari tua dan diselenggarakan dengan sistem tabungan hari tua.

Hanif Dakhiri meluruskan polemik terkait pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) dengan menegaskan, program tersebut fungsi dasarnya adalah perlindungan bagi para pekerja yang tidak lagi produktif, baik karena cacat tetap, meninggal dunia, atau karena memasuki usia tua. "Itu fungsi dasar dari JHT, tujuannya di situ," kata Hanif.

Jadi kalau misalnya ada orang kena pemutusan hubungan kerja (PHK), kata Hanif, dia tidak masuk skema di JHT, skemanya pasti di pesangon. "Jadi beda-beda namanya jaminan sosial, ada program yang memang ditujukan untuk perlindungan sosial, ada juga program yang bertujuan untuk meng-cover pada saat mereka tidak produktif," terang Hanif.

Menurut Menaker, sebenarnya itu yang harus disosialisasikan. Ia tidak mengetahui masalah yang menyebabkan masalah JHT itu jadi polemik masyarakat. Namun kalau memang faktornya sosialisasi, Menaker berjanji akan coba lapor ke Presiden dulu, misalnya kemungkinan diberikan semacam masa transisi untuk sosialisasi.

"Semua keputusan harus terus-menerus disosialisasikan. Kalau jumlah penduduk kita ya pastilah semakin banyak sosialisasi akan semakin baik," tutur Hanif.

BISA CAIR LIMA TAHUN KARENA KRISIS - Terkait aturan lama pencairan JHT bisa dilakukan 5 tahun setelah masa kerja, menurut Hanif, titik tolaknya karena krisis ekonomi.

Menaker Hanif Dakhiri menjelaskan, JHT bisa dicairkan penuh kalau seseorang yang mengikuti program tersebut sudah memasuki usia pensiun itu (56 tahun). "Itukan peraturan Menaker. Kalau dalam UU Tahun 92 yang mengatur soal itu sebelumnya, malah tidak ada skema untuk bisa mengambil pada masa iuran tertentu," jelas Hanif.

Tapi dengan lahirnya UU dan PP yang baru, menurut Menaker, ketentuan itu sudah tidak berlaku lagi. Dahulu, kata Hanif, pencairan malah langsung ketika tenaga kerja masuk usia pensiun di usia 56 tahun.

"Jadi sebenarnya dari segi mekanisme ini lebih mudah, dari segi manfaat ini jauh lebih baik dan besar daripada regulasi sebelumnya," ujarnya.

Menaker meyakini, program JHT BPJS Ketenagakerjaan itu lebih baik dari Jamsostek karena manfaatnya jauh lebih besar. Ia mengambil contoh, kalau bicara soal kecelakaan kerja, kalau dulu ada batas tertentu secara nominal. Tapi sekarang sampai sembuh. Setelah sembuh kemudian dibuatkan lagi manfaat tambahan namanya return to work.

"Jadi kalau ada orang sakit disembuhkan sampai sembuh kemudian dikembalikan lagi untuk bekerja. Jadi ini komitmen konkret dari pemerintahan Jokowi-JK," terang Hanif.

Dalam skema yang sekarang, kalau seorang pekerja sudah memenuhi masa iuran 10 tahun, maka si pekerja bisa mengambil 10% untuk keperluan apa saja. "Dia bisa mengambil 30% untuk keperluan perumahan, karena ini merupakan bagian dari upaya mendorong agar kesejahteraan pekerja, terutama soal perumahan, teratasi," kata Hanif.

Hanya saja untuk mengambil full tetap harus menunggu hingga usia 56 tahun.

TETAP BISA JADI BOLA PANAS - Pengamat Jaminan Sosial, Hotbonar Sinaga mengatakan, masyarakat kaget karena perubahan aturan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.46 Tahun 2015 seketika saja berlaku.

"Harusnya ada sosialisasi. Karena PP itu berlaku seketika 1 Juli 2015. Seharusnya ada transisi juga," jelas Hotbonar, Jumat (3/7).

Sosialisasi ini penting, dan perlu waktu minimal setahun. Sehingga masyarakat bisa mengerti soal aturan baru tersebut. Belum lagi, internal orang-orang di kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan juga belum siap mengerti soal aturan ini.

Kemudian, soal dana JHT yang baru bisa cair penuh setelah pekerja berusia 56 tahun ke atas, Hotbonar mengatakan, itu memang pengertian dasar JHT. Usia pensiun 56 tahun ini berdasarkan peraturan menteri tenaga kerja, soal batasan usia pensiun.

"JHT itu tujuannya agar masyarakat atau peserta itu sejahtera menjelang pensiun. Jadi ada positifnya. Namun, untuk perubahan ini harus ada sosialisasinya. Sekarang BPJS Ketenagakerjaan terjepit. Pemerintah harus pro aktif memberlakukan masa transisi. Peserta yang sudah dalam proses pencairan harusnya dibiarkan dulu uangnya cair dalam setahun ke depan," kata Hotbonar.

"Bila transisi ini dilakukan, masyarakat tidak akan terkaget-kaget, apalagi yang sudah punya rencana buka usaha dan sebagainya. Jadi ini namanya win-win solution. Harus segera diambil tindakan transisi dan sosialisasi. Bila tidak, bisa jadi bola salju, bahkan bola api," tutur Hotbonar. Bola api yang dimaksud adalah, penolakan besar-besaran dari para pekerja yang kaget tersebut.

SKEMA PENGHITUNGAN JHT - Dana JHT memang bisa diambil setelah 10 tahun masa kepesertaan pekerja sesuai dengan aturan yang baru. Dananya dipakai macam-macam, untuk buka modal usaha atau tambahan uang Lebaran.

Besaran yang bisa diambil untuk masa setelah 10 tahun itu hanya 10 persen dari yang ditanamkan. Nah bagaimana hitungannya jika peserta baru mengambil dana itu ketika pensiun di usia 56 tahun?

Penghitungan ini dilakukan memakai fasilitas simulasi saldo JHT di web resmi BPJS Ketenegakerjaan. Dengan asumsi gaji bulanan seorang pekerja sebesar Rp3 juta, BPJS Ketenegakerjaan menetapkan iuran sebesar 5,2% per bulan dari gaji, maka dana iuran pekerja setiap bulannya ditetapkan sebesar Rp171.000 atau sebesar Rp2.052.000 dalam setahun.

Misalkan peserta sudah bekerja dan terdaftar sebagai anggota BPJS Ketenegakerjaan dari umur 25 tahun dan pensiun pada usia 55 tahun. Berarti ia jadi anggota BPJS Ketenegakerjaan selama 30 tahun. Dengan asumsi gaji Rp3 juta per bulan, maka iuran JHT-nya per bulan Rp171.000 (5,2% dari gaji). Dalam setahun ada setoran sebesar Rp2.052.000.

Jika dana tersebut dikelola selama 30 tahun dengan asumsi bunga 7% tiap tahun maka hasil simulasi menunjukkan dana yang diterima peserta saat pensiun bisa sebanyak Rp135.432.000.

Namun demikian, simulasi tersebut menggunakan asumsi bunga pengembangan yang ditetapkan 7% per tahun. Persentase bunga hasil pengembangan yang naik turun tersebut membuat hasil simulasi tersebut bisa saja berbeda dengan nilai sesungguhnya.

Kepala Divisi Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan Abdul Cholik mengatakan, besaran hasil pengembangan sangat tergantung dengan keuntungan dari penempatan investasi oleh BPJS Ketenagakerjaan.

"Jadi tak perlu khawatir dananya tetap dan berkurang karena inflasi. Tahun 2014 saja, BPJS Ketenagakerjaan mencatatkan pengembangan dana mencapai 10,5%," ujar Cholik.

TERBUKA DIREVISI - Menaker Hanif Dhakiri mengakui banyak masyarakat yang kaget dengan beleid baru terkait JHT ini. Tak heran sampai ada wacana melakukan judicial review atas PP 46/2015 ke Mahkamah Agung.

Terkait hal ini, kata Hanif, pemerintah terbuka untuk menerima segala masukan dari masyarakat. "Pemerintah kan terbuka terhadap masukan, tapi yang perlu diketahui publik bahwa jaminan sosial ini manfaatnya lebih baik," katanya.

Menurutnya, pemerintah akan melakukan sosialisai bersama BPJS Ketenagakerjaan terkait perubahan aturan ini. Selama sosialisasi, pemerintah meminta saran dan kritik dan masyarakat. "Nanti bisa dibicarakan dengan BPJS dan instansi-instansi terkait," ujarnya.

Namun pada intinya, kata Hanif, pemerintah ingin ada masyarakat punya jaminan sosial yang baik di masa kerja dan hari tua nanti. Sehingga, saat ini dinilai sebagai masa yang tepat untuk memulai. "Bahwa yang sekarang itu program JHT dikembalikan ke semangat perlindungan hari tua. Jadi jangan mikirin hari ini saja, tapi mikirin besok juga," katanya.

Perubahan ini, diakui Hanif membutuhkan sosialisasi yang panjang. Banyak masyarakat Indonesia yang awam soal jaminan sosial. "Butuh edukasi dan sosialisasi yang terus menerus kepada publik. Karena banyak orang Indonesia yang tidak percaya kepada produk-produk keuangan, butuh waktu," ujarnya.

Terkait dana JHT sendiri, dalam data terakhir BPJS Ketenagakerjaan yang dikutip, Jumat (3/7), hingga Februari 2015, dana pekerja mencapai Rp200 triliun lebih. Jumlah ini naik dari posisi di akhir 2014 yang mencapai Rp187 triliun.

Sepanjang 2014 lalu, dana pekerja yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan naik 25,33% dibandingkan 2013. Bagaimana pengelolaan uang tersebut?

Belum ada data terkini soal alokasi investasi dana pekerja di BPJS Ketenagakerjaan. Namun ada data terakhir di 2014 yang bisa kita lihat. Berikut daftar instrumen investasi yang digunakan BPJS Ketenagakerjaan untuk mengelola dana pekerja senilai Rp187,02 triliun hingga 2014 lalu.

- Deposito Rp53,837 triliun (naik dari 2014 Rp40,190 triliun)
- Surat utang Rp79,52 triliun (naik dari 2014 Rp64,809 triliun)
- Saham Rp37,767 triliun (naik dari 2014 Rp31,811 triliun)
- Reksa dana Rp14,737 triliun (naik dari 2014 Rp12,011 triliun)
- Properti Rp1,118 triliun (naik dari 2014 Rp358 miliar)
- Penyertaan modal Rp42 miliar (turun dari 2014 Rp45 miliar) 

Tahun lalu, BPJS Ketenagakerjaan melaporkan, hasil investasi yang diperolehnya adalah Rp18,1 triliun, naik 21,75% dibandingkan 2013. Berikut daftar hasil investasi yang diterima BPJS Ketenagakerjaan:

- Deposito Rp4,751 triliun (naik dari 2014 Rp2,714 triliun)
- Surat utang Rp6,988 triliun (naik dari 2014 Rp6,011 triliun)
- Saham Rp4,881 (naik dari 2014 Rp4,868 triliun)
- Reksa dana Rp1,362 triliun (naik dari 2014 Rp1,159 triliun)
- Properti Rp128 miliar (naik dari 2014 Rp123 miliar)
- Penyertaan modal Rp 3 miliar (naik dari 2014 Rp1 miliar)

Hingga 2014 lalu, total jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan adalah 11.792.981 orang. Jumlah ini naik dari realisasi di Desember 2013 sebesar 11.059.786 orang. (dtc)

BACA JUGA: