JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wacana mengikutsertakan aparat TNI dan Polri dalam pemilu serentak kembali mengemuka dalam rapat panitia khusus yang digelar Dewan Perwakilan Rakyat bersama Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, perwakilan dari Polri dan Kejaksaan Agung, di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (13/12).

Dalam kesempatan itu, Panglima TNI mengemukakan wacana agar evaluasi terkait pengembalian hak pilih TNI dilakukan pasca Pemilu 2024. Asumsinya, tahun itu Indonesia sudah benar-benar mantap menjalankan pemilu serentak.

Meski begitu, Gatot mengatakan, TNI belum bisa memastikan waktu yang tepat untuk mengembalikan atau memberikan hak memilih maupun dipilih dalam pemilu serentak bagi TNI Polri. Namun tahun 2024 penerapan pengikutsertaan TNI dan Polri dalam pemilu dapat dilakukan setelah evaluasi Pemilu serentak tahun 2024, dengan alasan pemberian hak tersebut baru bisa dilakukan setelah pemilhan presiden, kepala daerah, DPR dan DPD selesai dilakuakan secara serentak.

"Perlu atau tidaknya TNI ikut pemilu baru bisa dievaluasi setelah tahun 2024, sekarang belum ketahuan," ujar Gatot Noermantyo di gedung DPR, Jakarta.

Menurut Gatot, 2024 adalah tahun yang sangat krusial karena ada Pemilu Serentak. Di tahun 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menjadwalkan akan diadakan Pemilu Serentak. Pemilu tersebut tidak hanya Pilpres, tapi juga Pilkada dan Pileg. Karena krusialnya pesta demokrasi tersebut, setelah Pemilu Serentak baru diadakan evaluasi mengenai pemberian hak pilih pada TNI.

"Setelah (Pemilu Serentak) 2024 saja. Kan itu pemilihan presiden, legislatif dan seluruh kepala daerah. Setelah itu baru dievaluasi, kapannya (pemberian hak pilih) tidak tahu juga kan harus dievaluasi," kata Gatot

Lebih lanjut ia menyatakan setelah evaluasi pemilu serentak 2024, TNI hanya akan membahas terkait kesiapan TNI dalam Pemilu dan bukan pemberian kembali hak memilih maupun dipilih bagi TNI saat pemilu. Untuk penerapannya sendiri, Gatot mengaku tidak mengetahui kapan penerapan pemberian hak tersebut dapat dilakukan.

"TNI akan mempertimbangkan seluruh aspek, termasuk kedewasaan berdemokrasi dari anggotanya," ungkapnya.

Dalam pemilu serentak 2019, ia menyatakan keterlibatan TNI hanya terkait pengamanan Pemilu, prajutit- prajurit TNI siap membantu kepolisian untuk melakukan pengamanan dalam pemilu serentak 2019. Keterlibatan pengamanan tersebut akan dilakukan sesuai dengan UU yang berlaku yaitu ketika TNI dibutuhkan oleh kepolisian.

Jika berkaca pada pemilu sebelumnya saat pemilu presiden dan pemilu legeslatif dipisah, tingkat kerawanan saat pemilu cukup tinggi diakibatkan tingginya animo masyarakat untuk mengikuti pesta demokrasi tersebut. Oleh sebab itu, ia meminta agar masa tahapan pemilu serentak 2019 diperpanjang.

Hal ini dimaksudkan agar mengurangi potensi kerawanan pada saat pemilu 2019. Saat pemilu presiden dan legislatif terpisah, dibutuhkan masa tahapan selama 20 bulan sehingga idealnya masa tahapan pemilu serentak adalah 24 bulan. "Kalau Pemilunya bersamaan akan lebih tinggi lagi eksistensinya," ujar Gatot.

Saat disinggung negara lain yang sudah memberikan hak pilih pada personel TNI, mantan KASAD tersebut mengatakan itu tergantung pada budaya dan konstitusi tiap negara. "Kan beda budayanya, beda undang-undangnya dan beda konstitusinya," tutur Gatot.

Untuk diketahui, dalam UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Polri, pada Pasal 39 disebutkan, prajurit TNI dilarang terlibat dalam kegiatan menjadi anggota partai politik ataupun terlibat kegiatan politik praktis. Dalam Pasal 41 Ayat (2) juga dijelaskan, pelaksanaan kampanye dalam kegiatan kampanye dilarang untuk melibatkan TNI dan Polri didalamnya.

Hal ini dimaksudkan untuk menjaga netralitas TNI dan Polri dalam menjaga keamanan dan kedaulatan negara. Sehingga menurut undang-undang tersebut, netralitas dari aparatur militer ataupun kepolisian dalam sebuah negara demokrasi adalah sebuah keniscayaan.
PANSUS DUKUNG - Sementara itu, pihak Pansus RUU Pemilu justru mendukung agar evaluasi keikutsertaan kembali TNI-Polri dalam pemilu dipercepat. Menurut Ketua pansus RUU Pemilu Lukman Edy, wacana ini mengemuka berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa tidak diperbolehkan untuk menghilangkan hak memilih dan dipilih. "Dalam hal ini apakah TNI dan Polri termasuk," ujar Lukman Edy di gedung DPR, Selasa, (13/12).

Menurut komisinya, khususnya sejumlah anggota pansus pemilu, setiap warga negara dalam negara demokrasi memiliki hak dasar memilih dan dipilih. Tentunya wacana ini kemudian ditanggapi panglima TNI dengan baik. Menurut Edy, Gatot selaku Panglima TNI mendorong pengevaluasian hak memilih ini pada 2024 mendatang.

Tapi baginya, jarak hingga 2024 dinilai terlalu lama, sehingga lebih baik evaluasi dilakukan pada tahun 2019 mendatang. "Sekarang untuk masa transisi, wajar kalau kita kembangkan evaluasi hak pilih TNI-Polri di 2019," kata Edy.

"Kalau evaluasi di 2019 dinyatakan masyarakat siap, TNI Polri siap, maka 2024 sudah bisa kita implementasikan dan kita praktikkan TNI Polri ikut memilih. Karena dari 2019 sampai 2024 tidak ada Pemilu dan Pilkada. Pilkada terakhir di tahun 2022," kata Lukman.

Menurut Lukman, bila TNI kembali mendapatkan hak pilihnya kembali berarti itu adalah sebuah kemajuan untuk demokrasi bangsa Indonesia. Namun, Lukman juga memberi catatan bahwa TNI dan Polri harus tetap menjaga netralitas mereka.

"Iya ini kemajuan. Makanya dievaluasi di 2019, apakah masyarakat sudah siap, TNI Polri siap untuk netral. TNI harus membuktikan diri sebagai lembaga bahwa tiap keadaan posisinya tetap netral," ucap politisi PKB tersebut.

"Masa kita dianggap negara terbelakang terus, dianggap negara yang rawan konflik, negara yang tidak siap atas keberpihakan TNI Polri akibat sejarah masa lalu. kita harus memberikan pengalaman dan pembelajaran kepada dunia luar bahwa kita negara demokrasi terbaik," tuturnya.

Lukman mengungkapkan, pemberian hak pilih bagi TNI tak bertujuan untuk melanggengkan salah satu kekuasaan. Ia menganggap TNI masih bisa netral dalam memilih, contohnya saja pada pengamanan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok, dimana dalam aksi bela Islam, TNI lebih mengedepankan dialog dan tak terlibat hujat menghujat.

"Jika ternyata evaluasi jangka dekat ini menyatakan TNI-Polri siap memilih, maka di 2024 sudah bisa diaplikasikan," katanya. (dtc)

BACA JUGA: