Puncak perhelatan politik nasional lima tahunan, termasuk pemilihan presiden, akan dilakukan tahun depan. Namun aromanya sudah dirasakan saat ini dengan bertebarannya spanduk-spanduk bergambar wajah para calon di jalanan. Potret yang sama juga bisa dilihat di layar kaca, atau halaman surat kabar. Dengan kedok memberi ucapan selamat atas sebuah peristiwa, atau aktivitas lainnya, tujuan ‘iklan politik’ itu jelas untuk membangun citra sebagai calon yang menjanjikan, kompeten, dan kredibel.
 
Apa yang terlihat di jalanan mengindikasikan bahwa pertarungan untuk menuju Istana Negara pada tahun 2014 sudah dimulai meski bunyi peluit dari Komisi Pemilihan Umum secara resmi belum berbunyi. Praktik semacam ini sudah jamak terjadi pada tahun-tahun menjelang pemilihan umum, meski dengan ada variasi pada calon yang akan maju dan aneka cara untuk meraih simpati dan dukungan publik.
 
Meski tak terlihat jelas di mata publik, pertarungan politik itu akan segera merambah ke ruang redaksi (newsroom) media-media di Indonesia. Sebab, sebagian politisi yang akan berlaga dalam pemilihan presiden itu juga memiliki media dan dipastikan akan memanfaatkan sumber daya tersebut untuk ikut memenangkan partainya, termasuk calonnya yang akan maju dalam kancah pemilihan.
 
Pemanfaatan media untuk kepentingan partai politik bukanlah cerita baru. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta memprediksi bahwa praktik sepert ini bakal lebih massif dalam pemilu tahun 2014 karena cukup banyak politisi yang juga merupakan pemilik media, atau sebaliknya. Soal inilah yang bakal banyak mewarnai diskusi soal kebebasan pers di tahun mendatang, selain ancaman kekerasan terhadap jurnalis dan media serta proses hukum terhadap jurnalis saat menjalankan profesinya. 
 
Menggugat Independensi Media
Reformasi tahun 1998, yang mengakhiri era otoritarianisme Orde Baru membawa sejumlah perubahan signifikan dalam politik dan hukum Indonesia. Sistem politik yang lebih demokratis juga berdampak nyata terhadap kehidupan pers, yang antara lain ditunjukkan dengan dicabutnya sejumlah campur tangan langsung pemerintah terhadap pers. Di bidang media cetak, ini ditunjukkan dengan dihapusnya ketentuan tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) pada tahun 1999, yang di masa Orde Baru menjadi alat kontrol penting pemerintah terhadap pers.
 
Selain itu, lahir Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, sebagai koreksi atas undang-undang sebelumnya yang memberi banyak celah bagi campur tangan pemerintah. Regulasi baru itu pula yang menjadi dasar dari lahirnya Dewan Pers independen. Di masa Orde Baru, badan ini dipimpin oleh Menteri Penerangan dan pejabat di Kementerian Penerangan sehingga sulit diharapkan bakal bersikap beda, apalagi melindungi, dari pemerintah terkait soal pers.
 
Perkembangan penting lainnya bagi pers pascareformasi adalah kian meraksasanya industri media. Ini ditandai dengan terus tumbuhnya perusahaan yang bergerak dalam bidang ini, dan belakangan kepemilikannya sudah mulai terkonsentrasi pada sekitar selusin lembaga saja. Sampai akhir 2012, setidaknya ada 12 pemain besar di industri media1 yang terdiri dari 1329 media cetak, 2258 radio dan televisi.
 
Sejumlah orang melihat ini sebagai perkembangan yang positif dari aspek pertumbuhan media sebagai institusi bisnis, selain sebagai institusi sosial dengan fungsi menghibur, mendidik, dan melakukan kontrol sosial. Namun menguatnya aspek bisnis media juga mengundang kekhawatiran tersendiri karena sangat rentan bagi media untuk hanya mengutamakan fungsinya sebagai insitusi bisnis dari institusi sosialnya.
 
Perkembangan lain setelah reformasi adalah mulai berkurangnya ancaman dari negara, namun di sisi lain juga makin menguatnya ancaman dari masyarakat serta dari dalam dirinya sendiri –tepatnya kepentingan pemilik media. Kekhawatiran soal ancaman dari dalam seperti menemukan momentumnya belakangan ini saat pemilik media juga juga menjadi politisi.
 
Hingga awal 2013, ada sejumlah politisi yang juga menjadi pemilik atau pemegang saham utama di media. Antara lain: Ketua Golkar Aburizal Bakrie, pemilih saham Visi Media Asia, yang memiliki televisi berita TVOne, ANTV, dan portal media online Vivanews.com. Surya Paloh, kini Ketua Umum Partai Nasional Demokrat, adalah pemilik Media Group –memiliki televisi berita Metro TV, dan harian Media Indonesia.
 
Pemain baru media yang juga terjun ke gelanggang politik adalah pemilik Group MNC Harry Tanoesoedibyo. MNC memiliki tiga stasiun TV (RCTI, Global TV dan MNC TV), satu portal online (Okezone), dan media cetak. Ia sempat bergabung ke organisasi massa Nasional Demokrat sebelum akhirnya bergabung ke Hanura, partai yang dipimpin oleh Wiranto, mantan Panglima ABRI (kini TNI) di masa Orde Baru.
 
Soal pemanfaatan media untuk kepentingan pemilik ini menjadi perguncingan ramai saat temuan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) muncul ke publik. Menurut data KPI, sepanjang Oktober hingga November 2012 RCTI menayangkan 127 iklan Partai Nasional Demokrat. Saat itu Hary Tanosoedibjo masih berkongsi dengan Nasional Demokrat. Ketika Hary Tanosoedibjo pindah ke Hanura, KPI menemukan, pada 2-15 April 2013 setidaknya ada 11 pemberitaan tentang Hanura di RCTI, MNC TV dan Global TV. KPI juga menemukan 143 tayangan iklan politik Aburizal Bakrie di stasiun TV miliknya, TV One.

AJI Jakarta menilai fenomena pemanfaatan media untuk kepentingan politik pemiliknya ini sangat mengkawatirkan. Menurut Umar Idris4, Ketua AJI Jakarta, distorsi semacam ini mengancam independensi dan kredibilitas media dan merugikan masyarakat. Sebab, ada unsur sensor dalam praktik semacam ini meski secara samar. Ada kecurigaan bahwa informasi yangdibuat oleh media-media yang dimanfaatkan pemiliknya itu akan menyaring informasi agar sesuai kepenting pemiliknya, atau cenderung menayangkan informasi yang sesuai selera pemilik media. "Akibatnya, masyarakat tak akan mendapatkan informasi yang obyektif," kata Umar Idris.
 
Sejumlah lembaga pemeringkat indeks kebebasan pers memasukkan pengaruh kepentingan politik pemilik dalam newsroom media sebagai salah satu faktor penting dalam penilaian kebebasan pers sebuah negara. Jika pengaruhnya sangat kuat dalam ruang pemberitaan, itu juga bisa menjadi salah satu bentuk intervensi dan sensor. Jika yang terjadi adalah dua hal ini, maka pengaruh kepentingan politik pemilik itu bisa dikategorikan sebagai kekerasan terhadap pers.

Indonesia dalam Indeks Lembaga Internasional
Secara internasional, setidaknya ada dua lembaga yang selalu menyoroti potret kebebasan pers seluruh negara. Pertama, Reporters Sans Frontiers (RSF), lembaga yang berbasis di Paris, Prancis. Kedua, Freedom House, organisasi non-pemerintah yang berkantor pusat di Washington DC, Amerika Serikat. Keduanya memiliki pendekatan yang sangat mirip dalam menilai indeks kebebasan pers sebuah negara, yaitu dengan melihat dari tiga aspek penting: hukum, politik, dan ekonomi.
 
Selain RSF dan Freedom House, satu lembaga lain yang juga menyoroti aspek kebebasan pers adalah Committee to Protect Journalists (CPJ). Bedanya dengan dua organisasi yang disebut lebih dulu, CPJ mengkhususkan pada kasus kekerasan terhadap jurnalis. Indonesia pernah masuk dalam lima besar CPJ pada tahun 2010 karena adanya tiga jurnalis yang tewas dalam menjalankan profesinya. Tahun 2009, Indonesia juga dicatat CPJ dalam daftar 17 negara berbahaya bagi jurnalis karena ada satu kasus wartawan terbunuh.
 
Kebebasan pers Indonesia di mata RSF juga tak beranjak baik, dan malah cenderung memburuk. Dibanding tahun 2009, indeks Indonesia dalam RSF tahun 2010 mengalami penurunan yang tak sedikit, dari peringkat 101 menjadi 117. Dengan posisi seperti itu, maka Indonesia kalah dari Timor-Leste, dengan skor 25 dan berada di peringkat 94. Namun, posisi Indonesia masih lebih baik dari Singapura yang di peringkat 137 (score 47,50), Malaysia 141 ( 50,75), Brunei 142 (51,00), Thailand 153 (56,83), Filipina 156 (60,00), Vietnam 165 ( 75,75), Laos 168 (80,50), dan Burma 174 (94,50).
 
Pada tahun 2011 dan 2012, posisi Indonesia anjlok menjadi 146. Dengan peringkat ini, Indonesia lebih buruk dari Malaysia yang berada di peringkat 122 (dengan skor 56,00), Brunei (125, skor 56,20), Singapura (135, skor 61,00), Thailand (137, skor 61,50), Filipina (140, skor 64,50). Dengan peringkat ini, posisi ini malah lebih jelek dari Rusia (142, skor 66,00) atau Colombia (143, skor 66,50).

Di tahun 2013, peringkat Indonesia membaik menjadi 139. Dengan posisi ini, Indonesia juga memiliki peringkat yang lebih bagus dibanding kolega Asia-nya, seperti Malaysia (145, skor 42,73), Filipina (147, skor 43,11), Singapura (149, skor 43,43), dan Myanmar (151, skor 44,71). Tapi, dengan perbaikan peringkat ini, Indonesia masih kalah dari bekas provinsi ke-27 negara ini: Timor Timur (peringkat 90, skor 28,72).

""

Dalam peringkat yang dibuat Freedom House, posisi ini Indonesia bervariasi dalam soal skor tapi tidak dalam kategori. Jika di tahun 2002 skornya 53, secara perlahan kemudian naik menjadi 56 tahun 2013. Tahun berikutnya turun menjadi 55 dan naik menjadi 58 dalam dua tahun berturut-turut: 2005 dan 2006. Setelah itu, skor Indonesia mengalami penurunan dari 54 dalam tiga tahun berturut-turut selama 2007 sampai 2009, sebelum akhirnya turun 52 di tahun 2010, 53 di tahun 2011, dan 49 di tahun 2012. Untuk kategorinya, Indonesia belum pernah berpindah dari “bebas sebagian” (partly free).

""

 

Abdul Manan. Saat ini jurnalis Tempo (2001-sekarang) yang aktif dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

Tulisan ini bagian dari buku online berjudul Potret Pers Jakarta.

BACA JUGA: