JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo bakal resmi dilantik dalam beberapa hari ke depan. Banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan, di antaranya memilih sosok yang tepat untuk menjabat sebagai Menteri Kelautan agar visi poros maritim dunia mampu diejawantahkan.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengedepankan empat kriteria utama kepada Presiden Jokowi sebagai panduan dalam memilih Menteri Kelautan. Keempat kriteria itu adalah: pertama, memahami dan sanggup menjalani mandat UUD 1945 sesuai tupoksinya; kedua, memiliki rekam jejak yang baik; ketiga, memahami persoalan nelayan, perempuan nelayan dan petambak, serta memiliki kesanggupan untuk mengatasinya dalam bentuk program dan alokasi anggarannya; dan keempat, tidak pernah terlibat dalam perumusan kebijakan kelautan dan perikanan nasional yang terindikasi kuat memihak kepentingan asing.

Sebagaimana diketahui, dalam 10 tahun terakhir pemerintahan Presiden Yudhoyono, arah kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan banyak memihak kepentingan asing. "Misalnya pembolehan alih muatan di tengah laut (transhipment) dan pengecualian tuna untuk langsung diekspor, pemberian izin lokasi dan izin pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada asing seperti yang terjadi di Gili Sunut, Lombok, Nusa Tenggara Barat," kata Sekjen KIARA Abdul Halim kepada Gresnews.com, Sabtu (19/10).

Persoalan lain yang juga belum teratasi, kata Halim, adalah nihilnya sarana mobilisasi warga antarpulau, khususnya di Indonesia bagian timur, pencurian ikan, penggusuran masyarakat pesisir untuk didirikan permukiman mewah dan berbayar. "Belum lagi masalah pencemaran laut dan kapasitas pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan yang lemah dan tumpah-tindih," kata Halim menambahkan.

Karena itu, Halim menegaskan, kempat kriteria utama di atas harus dipenuhi oleh menteri kelautan periode Presiden Jokowi selama 2014-2019. Pasca dilantik, langkah pertama yang dapat dilakukan adalah melakukan harmonisasi dan mengoreksi kebijakan kelautan dan perikanan yang tidak memihak nelayan dan kepentingan bangsa lebih luas.

"Kemudian diikuti dengan perumusan program yang mampu menyejahterakan pelaku perikanan skala kecil/tradisional dan menempatkan nelayan, perempuan nelayan dan petambak sebagai prioritas kebijakan dan politik anggarannya," tutup Halim.

Sebelumnya beredar kabar bahwa Jokowi akan menempatkan kembali Rokhmin Dahuri sebagai menteri kelautan. Hanya saja Rokhmin mendapat penentengan luas dari berbagai lembaga. Menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)  Ade Irawan,  jika pasangan presiden terpilih Jokowi-JK memberikan peluang Rokhmin sebagai calon Menteri Kelautan dan Perikanan, hal itu dinilai sebuah kemunduran yang sangat luar biasa khususnya dilingkungan kementerian tersebut.

Pasalnya, Rokhmin pernah divonis 7 tahun kurungan dan denda 200 juta subsider 6 bulan kurungan karena ulahnya yang terbukti korupsi dana non-budgeter sebesar 31,7 miliiar selama menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan pada Kabinet Gotong Royong tahun 2002 – 2004.

ICW berharap Jokowi dalam menyusun kabinet nantinya haruslah melihat rekam jejaknya, karena salah satu jargon Jokowi adalah pemberantasan korupsi di pemerintahan. Tentu, masuknya oknum-oknum yang pernah terkait korupsi akan menjadi pertanyaan besar terkait komitmen mereka. "Jika memilih kabinet tolong benar-benar dilihat, apakah bersih dan mampu membantu menuju Indonesia yang lebih baik seperti yang selama ini digembor-gemborkan," ujar Ade kepada Gresnews.com, beberapa waktu lalu.

Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) juga mencatat sepak terjang  Rokhmin. Konflik  antar warga yang terjadi di Pulau Bangka Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara  diduga karena ulahnya. Dua kelompok warga yakni Warga Penolak Tambang dan Warga Pendukung Tambang terus berkonflik gara-gara ia memuluskan kehadiran PT. Mikgro Metal Perdana yang menguasai lahan konsesi tambang bijih besi diatas Pulau Bangka seluas 2000 hektar.

Padahal pulau tersebut sangat kecil dan masyarakat juga sangat tergantung dengan lahan pertanian yang mereka miliki. "Bisa dikatakan, dia tangan kanan Mr. Yang (Presdir. PT.MMP) asal China untuk meyakinkan Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara bahwa investasi tersebut sangat bermanfaat dan bisa memberikan keuntungan dan kesejahteraan masyarakat Pulau Bangka," ujar Edo Rakhman, Manager Kampanye Departemen Advokasi Eksekutif Nasional WALHI.

BACA JUGA: