JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kisruh antara pengemudi taksi dan ojek online di Tangerang dan Bogor beberapa waktu lalu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Pemerintah berupaya menyelesaikan lewat peraturan yang akomodatif dalam hal ini dengan memberlakukan aturan terbaru Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 tahun 2016 per 1 April 2017 untuk mengatur transportasi publik.

Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Perhubungan, J.A. Barata menyampaikan, pemerintah telah merespon keluhan soal gejolak transportasi yang terjadi belakangan ini dengan merevisi Permen tersebut. Permen No 32/2016 sendiri diakunya telah mengakomodir keinginan berbagai pihak agar tertib transportasi bisa direalisasikan dengan memperhatikan setiap masalah transportasi.

"Makanya ketika dilakukan revisi-revisi itu untuk menampung keinginan-keinginan berbagai pihak," kata J.A. Barata saat menjadi pembicara dalam diskusi polemik Sindotrijaya, di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (25/3).

Sebelum diberlakukan awal bulan depan, pihaknya juga telah melakukan uji publik di Jabodetabek dan Makassar terkait Permen 32/2016. Selama uji publik itu, Barata mengkaim tidak ada penolakan lantaran Permen telah mengakomodir kepentingan-kepentingan pelaku usaha transportasi.

"Dalam perumusan revisi sendiri kita juga memperhatikan kesetaraan berusaha dalam tranaportasi," ungkap Barata.

Pemerintah sendiri, pada sisi lain mengaku kerepotan mengatur soal keberadaan transportasi online. Dia mengakui tidak memiliki data soal berapa jumlah armada yang terintegrasi dengan aplikasi online. Padahal pemerintah telah meminta kepada pihak perusahaan untuk mendaftarkan perusahaan transportasinya dan jumlah armadanya. "Sampai saat ini belum dilakukan," katanya.

Hal yang sama juga didorong oleh pihak penegak hukum. Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Pol Martinus Sitompul mengatakan, kehadiran transportasi online memang sangat rentan terjadinya gesekan dengan transportasi yang konvensional jika tidak diatur dengan regulasi yang baik. Olah karena itu, pemerintah semestinya mengatur hak dan kewajibannya agar tidak terjadi gesekan.

"Pengaturan ini kewajiban pemerintah agar mengelola melakukan hak dan kewajibannya. Nanti ini kan bisa diatur CC-nya berapa. Diatur dimana saja jalurnya, trayeknya," ujar Martinus ditempat yang sama.

Polri sendiri, kata Martinus, tidak bisa menyelesaikannya sendiri tapi akan bekerjasama dengan pihak lain untuk menyelesaikannya. Untuk mencegah terjadinya gesekan itu, aparat penegak hukum juga akana melakukan deteksi dini agar kejadian bentrokan antara pengemudi taksi dan ojek online dapat diminimalisasi.


ATURAN MINUS - Safhruhan Sinungan DPP Organda Koordinator Wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten menepis kalau Organda menolak keberadaan transportasi berbasis online. Menurut Sinungan, pihaknya menentang lantaran belum ada aturannya belum dibuat terutama untuk kendaraan roda dua.

"Yang Organda tentang itu kan aturannya," kata Safhruhan Sinungan.

Ia menuturkan, keberadaan Permen Perhubungan Nomor 32 tahun 2016 itu belum spesifik mengatur soal transportasi roda dua. Sedangkan potensi gesekan itu ada pada kendaraan roda dua sehingga perlu diatur agar tidak memberi ekses pada masyarakat bawah (pengemudi).

"Revisi Permenhub 32/2016 hanya mengatur kendaraan roda empat. Sementara yang sangat sensitif itu adalah roda dua karena belum diatur," keluh Sinungan.

Pemerintah, imbuh Sinungan, perlu mempertegaskan terkait apakah boleh  kenderaan roda dijadikan transportasi umum atau tidak. Kalau pemerintah tidak menentukan sikapnya, dia khawatir gejolak yang sama akan kembali lagi.

Potensi gesekan horizontal di tingkat bawah semakin besar kalau pemerintah tidak tegas untuk mengatur kendaraan roda dua. "Harus jelas. Kalau boleh keluarkan aturan dan kalau tidak juga harus jelas," ujar Sinungan.


MENCARI SOLUSI - Dalam kasus bentrokan di Bogor maupun daerah lainnya Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Pudji Hartanto Iskandar, menyerahkan pengaturan operasional ojek online ke pemerintah daerah. Sebab, ojek online tidak termasuk yang diatur dalam Undang-undang Lalu Lintas Nomor 22 tahun 2009 maupun revisi Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek, yang resmi diberlakukan mulai 1 April 2017 mendatang.

"Dengan dasar undang-undang otonomi daerah itu, pemerintah bisa menentukan tarif itu, bisa itu. Sekarang aturannya itu sedang dibuat. Kemudian kedua itu masalah quota. Karena apa, karena taksi resmi (termasuk angkot) saja diatur. Nah, kenapa quota diatur, karena itu jumlahnya tidak membuat nambah macet. Lalu siapa yang mengatur, bukan pemerintah pusat melainkan pemerintah daerah," kata Pudji usai Rembuk Bersama Pengemudi Angkutan Online dan Angkot di Balaikota Bogor, Jum´at (24/3).

Sementara itu, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto mengatakan draft aturan operasional ojek online di Kota Bogor sudah mulai disusun. Aturan tersebut nantinya tertuang dalam Peraturan Wali Kota (Perwali) yang akan dikeluarkan pada minggu pertama April 2017. Beberapa point yang sudah masuk dalam pembahasan antara lain tentang kuota armada ojek online yang akan beroperasi di Kota Bogor, pangkalan, layanan jangkauan, akses data, titik penjemputan dan kualitas armada.

"Aturan ini akan mulai disosialisasikan awal April. Minggu pertama April kita akan resmikan perwali soal ojek online ini," kata Bima Arya di lokasi yang sama.

"Jadi semuanya nanti diatur, termasuk kualitas armadanya. Di perwali ada aturannya, ada standar pelayanan untuk angkot. Makanya untuk online juga harus ada standar minimal pelayanannya bagaimana, kendaraannya, sopirnya," imbuh Bima.

Di tempat yang sama, Bupati Bogor Nurhayanti menyebutkan, selama ini hal yang menyulitkan dalam pengaturan operasional dan kuota ojek online adalah keterbatasan untuk mengakses data jumlah ojek online yang beroperasi di Bogor.

"Untuk membatasi kuota, kita juga kan harus tahu berapa armada yang beroperasi saat ini. Nah untuk mengatahui itu kan harus bisa mengakses dashboard aplikasi ojek online itu. Ini yang sulit selama ini, karena pemilik aplikasi belum mau mengijinkan kita untuk mengakses dashboard-nya," kata Nurhayanti.

"Tapi revisi Permenhub 32 tahun 2016 dan Undang-undang otonomi daerah, jadi dasarnya. Mengakses dashboard aplikasi itu jadi pintu untuk atur quota ojek online di Bogor. Secepatnya akan kita buat aturannya," imbuhnya. (dtc)

BACA JUGA: