JAKARTA,GRESNEWS.COM - Pendidikan adalah hak bagi semua warga negara termsuk juga bagi anak jalanan. Hingga kini belum nampak upaya sungguh-sungguh dari pemerintah dalam membantu pendidikan bagi anak jalanan dan masyarakat miskin. Padahal hak mereka yang juga tercantum dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 dan 2 yang menyatakan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Peneliti dan Konsultan Pendidikan Doni Koesuma mengatakan pemerintah memang belum banyak memperhatikan pendidikan bagi anak-anak jalanan dan siswa yang berasal dari orang miskin. Kebanyakan anak jalanan merupakan anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu yang menjadi salah satu alasan mereka untuk mencari nafkah. Pendidikan formal mungkin tidak menjadi pilihan, namun pendidikan dapat dilakukan melalui jalur informal yang dilaksanakan melalui jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri di luar sekolah.

Salah satunya lewat program Indonesia pintar. Ia menilai program Indonesia pintar memang sudah membantu banyak siswa dari keluarga miskin. Tapi belum semuanya tersentuh, terutama kaum miskin kota dan anak jalanan yang tidak memiliki domisili dan surat-surat legal. "Mereka tak memiliki akta kelahiran dan KTP. Anak-anak dari keluarga seperti ini hak-hak pendidikannya terabaikan," kata Doni kepada gresnews.com, beberapa waktu lalu.

Di Indonesia terutama di kota-kota besar anak jalanan sering kali dapat kita temui sedang mengamen, mengemis, berjualan maupun berkumpul dengan teman-temannya. Pada tahun 2006 terdapat 78,96 juta anak di bawah usia 18 tahun, 35,5% dari total seluruh penduduk Indonesia. Sebanyak 40% atau 33,16 juta diantaranya tinggal di perkotaan dan 45,8 juta sisanya tinggal di pedesaan. Menurut laporan Kementerian Sosial (Kemensos) pada 2004, sebanyak 3.308.642 anak termasuk ke dalam kategori anak terlantar.

Menurutnya harus ada lembaga khusus seperti Kemensos yang membantu kemudahan akses pendidikan bagi anak jalanan. Pemerintah juga perlu menyediakan anggaran pendidikan khusus untuk menunjang pendidikan anak jalanan. Namun faktanya pemerintah masih menutup mata keberadaan anak-anak jalanan yang masih di usia sekolah.

"Ya pemerintah harus memberi prioritas pemberdayaan untuk orangtua miskin kota. Anak-anak sekolah Paud dari orangtua miskin kota ini harusnya jadi prioritas pemerintah. Karena kunci meretas kemiskinan ada pada warga miskin kota ini," ujarnya.

Dia menambahkan selain peran pemerintah, peran orang tua serta masyarakat lingkungan sekitar anak jalanan penting membantu terwujudnya pendidikan yang layak bagi mereka. Pemerintah harus lebih giat lagi melakukan penyelenggaran pendidikan bagi anak jalanan.

KURANG PENDEKATAN - Sementara itu, Dewan Pembina Sekolah TK Altenatif Anak Jalanan (SAAJA) Agus Supriyanto mengatakan anak jalanan bisa memperoleh pendidikan yang layak jika pemerintah benar-benar memperhatikan warga miskin.

Agus menjelaskan pemerintah dapat merangkul sekolah pinggiran atau sekolah yang menangani anak jalanan dengan dimulai sekolah Paud untuk anak usia dini. Dia mengaku, pendidikan usia dini jangan dikomersilkan agar kalangan masyarakat miskin bisa menikmatinya.

"Banyak saat ini sekolah -sekolah Paud, yang dijadikan kormersil yang hanya bisa dinikmati oleh golongan yang mampu saja, maka banyak pendidikan tidak bisa dinikmati warga miskin," kata Agus kepada gresnews.com, Selasa (5/7).

Selain itu, guru Play grup dan TK harus diberikan apresiasi dan mendapat kemudahan dalam mengurus surat izin mendirikan sekolah-sekolah Paud. "Harusnya anggaran 20 persen pendidikan diperuntukkan ke pendidikan usia dini karena pembentukan karakter anak dimulai dari usia dini. Diharapkan sikap sopan santun serta rasa nasionalisme menjadi kuat," ujarnya.

Dia menilai negara telah gagal dalam membangun pendidikan secara utuh. Yakni pendidikan yang dijalankan bukan sebatas didalam sekolah saja tetapi juga diterapkan diluar lingkungan sekolah.

Selain itu, hadirnya sekolah-sekolah elit membuat warga miskin tidak bisa mendapatkan haknya untuk menikmati pendidikan sebenarnya. "Saya melihat anak-anak kalangan dan warga miskin memiliki potensi yang baik dalam dunia pendidikan, jika bisa mendapatkan sekolah yang layak," ujarnya.

MENGENAL SAAJA - Menurut Agus, SAAJA merupakan alternatif pendidikan bagi anak-anak dari keluarga pra-sejahtera yang dibangun oleh Yayasan Pemberdayaan Rakyat Miskin (PaRaM) pada 2002 di Taman Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) DKI Jakarta, di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.

SAAJA mempunyai tiga kelas. Kelas TK A1 setara dengan pendidikan anak usia dini (PAUD), TK A2 untuk anak-anak usia 5-6 tahun, dan TK B untuk anak-anak usia 6-7 tahun yang akan memasuki sekolah dasar (SD). Setiap Senin sampai Jumat, pembelajaran berlangsung pada pukul 11.00-17.00. Mereka belajar bergantian di ruang kelas yang sama. Anak-anak belajar membaca dan berhitung. Mereka juga diajarkan Pancasila, lagu-lagu nasional, serta pendidikan dasar agama Islam.

Setiap Sabtu, mereka memiliki kegiatan ekstrakurikuler atau lingkungan. Agus berharap dengan mengenalkan kegiatan menanam dan merawat lingkungan, dapat membekali anak-anak untuk mencintai lingkungan.

Siswa-siswi SAAJA belajar di ruangan berukuran sekitar 6 meter x 10 meter yang dibangun dari bambu, kayu, dan dinding tripleks. Alas sekolah hanya diplester dan diberi karpet plastik yang mulai robek. Ruangan itu beratap terpal yang dilapisi daun rumbia.

SAAJA pernah ditawari untuk dibuatkan kelas permanen. Namun, pengelolanya menolak tawaran itu. Selain karena sekolah dibangun di Taman Badiklat, bangunan itu juga merupakan bentuk kritik sosial sebagai pengingat bahwa tempat belajar tidak harus megah dan permanen dimanapun bisa dilakukan.

Seluruh kegiatan belajar mengajar di SAAJA ditunjang oleh donatur. Mereka memberi sumbangan berupa dana, perlengkapan belajar untuk siswa, program belajar, makanan, seragam sekolah, dan lainnya. Tidak menentunya dana yang diperoleh membuat biaya operasional sekolah terhambat. Honor untuk guru sering terlambat dibayar. Meski begitu, guru-guru tetap ikhlas mengajar.

Kelas yang berdiri di Taman Badiklat DKI itu membuat pengelola SAAJA khawatir karena sewaktu-waktu sekolah itu bisa digusur. Terakhir kali Pemprov DKI melayangkan surat peringatan pada Juli 2014.

Yayasan PaRam berharap pembelajaran di SAAJA dapat terus dilaksanakan meskipun banyak kendala. Agus berharap SAAJA dapat berkembang menjadi sekolah alternatif bagi warga, terutama di Jakarta, ataupun di kota-kota lain, untuk memberikan pendampingan terkait pendidikan bagi generasi bangsa, pendidikan yang adil tanpa diskriminasi.

 

BACA JUGA: