JAKARTA - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) memberikan beberapa catatan berkaitan dengan pendidikan Indonesia sepanjang 2019 mulai dari persoalan zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), penghapusan Ujian Nasional (UN), persoalan guru honor, hingga revisi kurikulum.

FSGI berharap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim tidak menghentikan kebijakan zonasi siswa pada 2020. Zonasi siswa merupakan pintu masuk perbaikan kualitas pendidikan di tanah air. Apa pun model sistem zonasi PPDB nantinya, yang terpenting tidak merugikan siswa dan guru. Silakan saja mengubah persentase: jarak, misalnya, menjadi 70-75%.

"Tetapi yang terpenting hak anak yang akademiknya di bawah, tak mampu secara ekonomi, dan berumah dekat sekolah untuk bersekolah di sekolah yang dekat jaraknya dari rumahnya," kata Ketua Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Rabu (11/12).

Ia menegaskan sudah menjadi keharusan pemerintah (daerah) melengkapi sarana-prasarana sekolah, ruang kelas jika di zona tersebut kelebihan peserta didik pendaftar. Termasuk sebaran gurunya (di satu zona) karena tak berimbang dengan jumlah siswa. Kemudian pendataan siswa harus dimulai dari sekarang. Dibutuhkan komunikasi dan koordinasi yang baik antara kepala daerah (dinas) agar PPDB dengan skema baru ini justru tidak memproduksi masalah baru yang merugikan hak calon peserta didik.

FSGI juga menyambut positif rencana Nadiem menghapus UN. Tetapi bagi FSGI evaluasi terhadap pembelajaran harus tetap ada, karena demikian perintah UU Sisdiknas. Bagi FSGI, UN harus direposisi: Kedudukan, Pola, Tujuan, dan Fungsinya. Kedudukan UN selama ini apalagi dengan adanya zonasi siswa adalah sangat tidak relevan. Sebab siswa masuk alih jenjang (SD ke SMP, SMP ke SMA, SMA ke PT) bukan berdasarkan hasil UN.

Tujuan UN harusnya untuk pemetaan capaian belajar berdasarkan karakteristik daerah, bukan alat untuk menilai siswa. Pola UN seperti sekarang sudah sangat tertinggal dibandingkan dengan negara maju. Evaluasi pembelajaran sebagai perintah UU Sisdiknas, haruslah tetap ada tetapi polanya bisa di Kelas 4 SD, Kelas 8 SMP, dan Kelas 11 SMA. Kemudian UN jangan lagi disamakan pelaksanaannya antardaerah tiap tahun. Pemetaan tak mesti tiap tahun dan di akhir tahun sekolah. Hapus pelaksanaan UN seperti sekarang, jika Nadiem hanya sekadar mengganti nama, itu akan percuma saja.

Terkait pesoalan kurikulum, Heru menambahkan bahwa SMK adalah pemasok angka pengangguran tertinggi di Indonesia. Jumlah SMK swasta di Indonesia sekitar 10.500 sekolah, sedangkan SMK negeri sekitar 3.500 sekolah. Tetapi lulusan SMK negeri lebih banyak dibandingkan lulusan SMK swasta. Mengapa SMK menyumbang pengangguran terbesar? Jawabannya: SMK kekurangan guru mata pelajaran produktif; minimnya laboratorium/bengkel/sarana SMK; kurikulum SMK tidak relevan (tidak link and match) dengan kebutuhan dunia industri; pendirian SMK swasta bermunculan bak cendawan musik hujan dengan minim pengawasan; dan minimnya ketersediaan calon guru mata pelajaran produktif di LPTK.

Menurutnya, persoalan Kurikulum 2013 di SD-SMA adalah pada implementasi dan beban guru yang tinggi dalam menyiapkan dokumen pembelajaran, termasuk penilaian. Maka solusi yang tepat adalah perbaikan Kurikulum 2013 bukan merevisi atau mengubah total kurikulum. Persoalan Kurikulum 2013 di atas solusinya adalah memerdekakan guru dari administrasi pembelajaran yang membebani serta perbaikan format dan konten pelatihan guru.

Laporan para Guru Pegawai Pemerintah degan Perjanjian Kerja (P3K) dari Garut, Bogor, Purbalingga, Tangerang, dan NTB ke FSGI yaitu: mereka sudah ikut tes seleksi P3K dan dinyatakan lolos 2019. Tapi hingga kini Desember 2019 belum kunjung dapat penempatan tugas bahkan NIP. Termasuk soal guru honorer: FSGI mendorong Pemda (termasuk Yayasan) memberikan upah guru honorer di daerah setara dengan UMP.

Sekarang waktunya menghargai jasa guru jika negara ingin menyiapkan SDM unggul untuk Indonesia maju. Laporan ke FSGI dari Serikat Guru Bima, Bengkulu, Indramayu, Garut, dan Tasikmalaya menyebutkan para guru honorer masih bergaji sekitar Rp200 ribu per bulan. Ini sungguh tidak manusiawi. Kepala daerah wajib mengeluarkan SK (Surat Keputusan) penetapan sebagai guru honor daerah. (G-2)

BACA JUGA: