JAKARTA - Masyarakat sipil menolak masuknya sejumlah undang-undang di bidang pendidikan ke dalam RUU Cipta Kerja karena dianggap menjerumuskan pendidikan nasional ke dalam pasar bebas industrialisasi dan liberalisasi.

Ketua Bidang Pendidikan NU Circle Ahmad Rizali meminta pemerintah dan DPR segera mengeluarkan bidang pendidikan dan kebudayaan yang dibahas di halaman 482-506 yang merevisi UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, UU Pendidikan Tinggi, termasuk UU Pendidikan Kedokteran, UU Kebidanan dan UU Perfilman.

Menurutnya semua perubahan yang dilakukan di dalam RUU Cipta Kerja, pasal per pasal, memiliki filosofi korporasi dan industrialisasi sehingga kebijakan pendidikan nasional disamakan dengan dunia bisnis.

"Pendekatan pembangunan manusia Indonesia tidak ada bedanya dengan mendirikan perusahaan dengan menjadikan murid dan mahasiswa sebagai komoditas yang diproduksi di pabrik dan diperdagangkan di pasar bebas," tegas Ahmad Rizali, yang biasa disapa Nanang, dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Kamis (10/9/2020).

Amanat Pembukaan UUD 1945 sangat tegas bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan memasukkan UU di bidang pendidikan ke dalam RUU Cipta Kerja, pemerintah ingin melepas tanggung jawabnya dalam mencerdaskan bangsa.

"Jika UU dibidang pendidikan ini tetap dimasukkan ke dalam pasal-pasal RUU Cipta Kerja, sejatinya pemerintah dan DPR telah mengkhianati para pendiri bangsa dan Konstitusi Dasar NKRI," jelasnya.

Sementara itu pengamat pendidikan Dharmaningtyas mengatakan dengan masuknya UU di bidang pendidikan ke dalam RUU Cipta Kerja menjadikan pendidikan nasional sebagai ladang komersialisasi, privatisasi dan liberalisasi.

Sebab, kata Dharmaningtyas, ruh atau ideologi RUU Cipta Kerja itu adalah komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan. Ideologi itu diusung oleh World Trade Organization (WTO) yang menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan, bukan sebagai hak setiap warga.

"WTO menempatkan pendidikan sebagai industri tersier yang sah untuk diperdagangkan, sehingga negara-negara anggota WTO dapat memiliki kebebasan untuk menyelenggarakan pendidikan di negara-negara lain sebagai mekanisme untuk memperoleh keuntungan finansial," ujarnya.

Menurutnya komersialisasi pendidikan artinya menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan guna mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Di sini pendidikan tidak dilihat sebagai proses kebudayaan yang berperan untuk membentuk karakter bangsa, melainkan sebagai komoditas yang dapat mendatangkan keuntungan.

Privatisasi pendidikan adalah pengelolaan pendidikan yang didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi yang dikembangkan oleh korporasi. Sehingga terminologi-terminologi seperti efisiensi, efektivitas, produktivitas, dan sejenisnya menjadi dominan dan menjadi orientasi pengembangan pendidikan itu sendiri.

Padahal, dalam pendidikan, prinsip-prinsip efisiensi, efektivitas, dan produktivitas itu tidak sepenuhnya berlaku.

Sebagai contoh proses pembelajaran di Institut Seni Indonesia (ISI) program studi Pedalangan. Mahasiswa di bawah sepuluh orang, tapi dosennya bisa lebih dari 20 orang. Ini jelas proses pembelajaran yang sangat tidak efisien.

"Tapi apakah pembelajaran yang tidak efisien ini harus dibubarkan? Tentu saja tidak, karena pendidikan pedalangan itu bagian integral dari upaya untuk membertahankan dan mengembangkan kebudayaan nasional dan sekaligus pembentuk karakter bangsa," tuturnya.

Sedangkan, kata Dharmaningtyas, maksud liberalisasi pendidikan di sini adalah negara secara sistematis melepaskan tanggung jawab penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan, yang bebannya kemudian ditimpakan kepada masyarakat, terutama terkait dengan masalah pendanaan.

Pendidikan di sini tidak dilihat sebagai human capital investment tapi sebagai barang konsumsi. Jika pendidikan dilihat sebagai barang konsumsi maka ketika konsumsi tinggi, itu dianggap sebagai beban negara, sehingga perlu dipotong. Bila negara memandang pendidikan itu sebagai human capital investment maka negara akan rela menginvestasikan modal besarnya untuk pendidikan.

"Ideologi neo liberal inilah yang mendominasi seluruh pasal di dalam RUU Cipta Kerja untuk Sektor Pendidikan dan Kebudayaan tersebut, sehingga mengabaikan aspek kebudayaan sebagai ruh pendidikan nasional," terangnya.

Ia menjelaskan rumusan pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja menjadikan penyelenggaraan serta pengelolaan pendidikan sebagai kegiatan usaha semata, bukan sebagai upaya pencerdasan bangsa. Karena pendidikan ditempatkan sebagai kegiatan usaha, badan penyelenggara dan pengelolaan pun disebut sebagai Badan Usaha, sedangkan izin pendiriannya disebut sebagai Izin Usaha.

"Ini jelas terminologi yang menyesatkan bangsa. Prinsip pendidikan itu nirlaba," pungkasnya. (G-2)

BACA JUGA: