JAKARTA - Pandemi COVID-19 tidak cuma menggoyang perekonomian tapi juga sistem pendidikan nasional. Terjadi kisruh Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang memantik protes para orang tua murid.

Peneliti Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Abdullah Ubaid Matraji menilai polemik PPDB sudah terjadi sejak lama. Pada tahun ini polemik semakin panas terutama di DKI Jakarta yang menggunakan sistem seleksi berdasarkan usia bukan zonasi (jarak).

"Sementara di daerah-daerah lain juga memiliki problem daya tampung," kata Abdullah dalam webinar bertema Terbatasnya Daya Tampung Sekolah Hingga Kisruh PPDB DKI Jakarta yang diikuti Gresnews.com, Jumat (3/7/2020).

Dia berpendapat masalah lain yang juga terjadi setiap tahun adalah tentang sekolah favorit. Kalau di Jakarta persoalannya adalah seleksi berdasarkan usia, PPDB di daerah menghadapi masalah penumpukan pendaftaran di sekolah favorit.

Ada sekolah-sekolah negeri yang kekurangan pendaftar sementara di sisi lain ada sekolah-sekolah negeri yang kelebihan pendaftar. Menurutnya, hal itu bukan kesalahan masyarakat melainkan kebijakan yang salah berkaitan dengan sistem zonasi yang harus dikoreksi.

"Pemerintah pusat menginginkan zonasi dengan alasan pemerataan mutu. Ternyata kebijakan ini tidak sejalan dengan di daerah. Pemerintah daerah itu bikin sekolah unggulan, mulai dari madrasah-madrasah, sekolah percontohan, sekolah piloting, dan segala macam," ungkapnya.

Lalu mana yang benar?

"Jadi kita tahu kebijakan ini main-main, nggak serius, dan pemerintah pusat tidak ada will (kehendak) untuk menyinkronkan kebijakan pusat dan daerah," katanya.

Sistem zonasi sudah diberlakukan selama lima tahun terakhir. Tapi masih saja diributkan. Abdullah menilai masalah muncul karena kebijakan zonasi hanya berkaitan dengan pemerataan input. "Siapa pun bisa sekolah di sekolahan yang dekat rumahnya. Artinya ini masih pemerataan input. Anak yang masuk ke sekolah menjadi beragam. Tidak hanya anak-anak yang berprestasi saja tapi siapapun bisa masuk sekolah," ujarnya.

Bagaimana dengan konten proses pembelajarannya? Apakah guru-guru yang mengajar di sekolah itu kompetensinya sama lalu mereka bisa menggunakan metode dengan baik sehingga proses pembelajarannya itu merata? "Ternyata nggak," katanya.

Lalu soal sarana prasarana, apakah sudah ada pemerataan mutu? Banyak sekolah yang sarananya melimpah, banyak juga sekolah yang masih kekurangan sarana dan prasarana.

"Artinya pemerataan mutu yang digaung-gaungkan oleh pemerintah pusat itu masih sebatas pada step awal. Padahal ada step-step, tangga-tangga pemerataan lain yang belum dilalui. Sementara cara yang paling mudah, yang nggak pakai mikir, dan nggak pakai usaha, ya pemerataan input saat PPDB ini," ujarnya.

Akibatnya, tegas dia, yang menjadi korban adalah siswa dan orang tua murid.

Sementara itu Kusman Sulaeman dari Koalisi Orang Tua Murid Jakarta menyatakan PPDB di DKI Jakarta bertentangan dengan sejumlah peraturan salah satunya Pemendikbud 44/2019 tentang PPDB 2020. 

Beberapa bagian yang penting dari Permendikbud ini, yaitu:

  • PPDB 2020 dibagi menjadi 4 jalur penerimaan. Zonasi. Afirmasi. Perpindahan orang tua. Prestasi;
  • Jalur Zonasi kuotanya turun menjadi minimum 50%. Sebelumnya 90% (2019);
  • Jalur prestasi bisa mengisi hingga maksimal 30% daya tampung (sebelumnya hanya 15%);
  • Jalur afirmasi kurang lebih sama dengan jalur siswa kurang mampu dan inklusi;
  • Nilai UN bisa dijadikan salah satu kriteria dalam penerimaan lewat jalur prestasi (sebelumnya tidak bisa);
  • Pemerintah daerah dapat melakukan penyesuaian terhadap persentase masing-masing jalur.

Beberapa waktu lalu ratusan wali murid yang tergabung dalam Forum Relawan PPDB DKI Jakarta 2020 menggelar aksi unjuk rasa untuk mendesak Pemprov DKI Jakarta membatalkan atau menggelar ulang PPDB sistem zonasi dan usia untuk tingkat SMP dan SMA.

Dalam aksi yang digelar di depan Istana Kepresidenan, Jakarta, itu mereka menilai PPDB Zonasi dan batas usia di PPDB DKI Jakarta telah cacat hukum karena menyalahi Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 tentang PPDB. (G-2)

BACA JUGA: