JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah terus bergerilya menggolkan RUU Pengampunan Nasional untuk masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2015-2019. Bahkan kabar yang santer terdengar beleid ini diutamakan untuk dibahas agar dapat diterapkan sesegera mungkin mengingat kas negara yang sedang compang-camping. Kuat diduga ada bohir dan dana besar yang bermain dibelakang untuk menggolkan beleid yang mengampuni para pengemplang pajak ini.

Seolah hendak membantah kabar tersebut, pimpinan DPR RI merasa tak perlu ambil pusing dalam pembahasan RUU Pengampunan Nasional yang sempat alot pada Rapat Badan Legislatif (Baleg) pada Selasa (6/10) lalu. Toh RUU ini baru merupakan draft saja, sehingga pembahasannya pun dirasa masih panjang dan sangat mungkin gagal.

Wakil Ketua DPR RI, Agus Hermanto menyatakan RUU Pengampunan Nasional masih berupa draft usulan pribadi dan belum dikeluarkan secara menyeluruh ke tiap-tiap fraksi yang ada di DPR RI. Diketahui, untuk melakukan pembahasan, Baleg perlu mendengarkan pandangan kelompok fraksi (poksi) yang merupakan kepanjangan dari tangan fraksi.

Untuk itu, tiap-tiap fraksi harus memperdalam terlebih dahulu draft yang diusulkan. Setelahnya, baru disampaikan pandangan fraksi kepada ketua kelompok fraksi (kapoksi) di Baleg.

"Ini usulan baru saja dikeluarkan, belum sampai situ (pembahasan fraksi), kita harus melihat perkembangannya," katanya di Gedung DPR RI, Senayan, Kamis (8/10).

Nantinya draft usulan ini masih akan menjalani masa sinkronisasi draft rancangan, lalu bila dimasukkan dalam prolegnas maka akan ada pembicaraan dengan pemerintah. Ketika pemerintah tak setuju, maka draft ini tak akan jadi undang-undang sehingga jelas perjalanannya masih panjang.

Agus yang merupakan kader Partai Demokrat pun menyatakan akan ada proses politik yang dibahas terus menerus, secara konstruktif maka akan diambil suara terbanyak. Dan apabila menjadi RUU usulan DPR, maka Demokrat pun akan ikut dalam pembahasan.

"Tapi tetap, Demokrat akan mengamankan amanah dari rakyat. Kita lihat dulu keberpihakannya, sejauh ini belum masuk ke pimpinan," ujarnya.

ISI BELEID RUU PENGAMPUNAN - Gresnews.com sempat mengintip beleid ini yang ternyata sudah ada naskah akademisnya, dan draft rancangan undang-undangnya ini. Isi beleid ini tak banyak yakni hanya ada 11 Bab dan 21 Pasal saja.

Dalam Pasal 1 dijelaskan yang dimaksud dengan Pengampunan Nasional adalah penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, penghapusan sanksi pidana di bidang perpajakan, serta sanksi pidana tertentu dengan membayar uang tebusan, sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang ini. Sementara definisi dari uang tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan untuk mendapatkan Pengampunan Nasional.

Dalam pasal 2 dijelaskan subjek dan objek yang mendapatkan Pengampunan Nasional. Yakni setiap orang pribadi atau badan berhak mengajukan permohonan pengampunan nasional. Namun ada pengecualian yakni mereka yang sedang dalam proses penuntutan atau sedang menjalani hukuman pidana atas tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.

Pasal 7 beleid ini menuraikan persyaratan untuk dapat pengampunan nasional. Yakni memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), menyampaikan surat permohonan, membayar uang tebusan, melunasi seluruh tunggakan pajak, dan memberi surat kuasa kepada Dirjen Pajak untuk membuka akses atas seluruh rekening orang pribadi atau badan yang berada di dalam negeri maupun luar negeri.

Maksudnya tunggakan pajak adalah jumlah pajak yang belum dilunasi termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan berdasarkan surat tagihan pajak, surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, dan surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, putusan banding, putusan PK MA, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.

Beleid RUU Pengampunan Nasional juga menentukan besarnya uang tebusan yang dimasukkan dalam Bab III tentang Tarif dan Cara Menghitung Uang Tebusan Pasal 4 dan 5. Secara garis besar sebagai berikut :
- Untuk permohonan periode Oktober 2015-Desember 2015 adalah sebesar 3 persen dari harta yang dilaporkan. Bila harta yang dilaporkan (nilai pasar wajar sesuai kurs 31 Desember 2014) adalah Rp300 juta, tebusannya berarti Rp9 juta.
- Untuk permohonan periode Januari-Juni 2016, besarnya 5 persen.
- Untuk permohonan periode Juli-Desember 2016, besarnya 8 persen.

Setidaknya ada tiga fasilitas yang diperoleh seseorang atau badan yang telah mengantongi surat keputusan pengampunan nasional. Pertama, penghapusan pajak terutang berikut sanksi administrasi dan pidana perpajakan. Kedua, tidak dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa, pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan dan penuntutan. Dan ketiga, bila orang atau badan sedang dilakukan pemeriksaan sebelum undang-undang ini, maka pemeriksaannya dihentikan.

Enaknya lagi, selain dapat tiga fasilitas itu, orang atau badan juga memperoleh pengampunan tindak pidana terkait perolehan kekayaan, kecuali tindak pidana terorisme, narkoba, dan perdagangan orang. Artinya orang atau badan yang melakukan korupsi dan pencucian uang juga bisa saja diampuni.

BERMASALAH - Pengamat politik Rahmat Bagja menyatakan, dalam undang-undang manapun tak ada istilah pengampunan, atau pemutihan bagi tindak kejahatan apapun, termasuk pada wajib pajak nakal. Dengan diusulkannya RUU ini, dianggap sebagai bukti adanya pelanggaran bahwa ada asas persamaan hukum.

"Lalu ketika sudah dilakukan pengampunan, maka apa beda kita sebagai wajib pajak taat dengan mereka (wajib pajak nakal)? Ini kan bermasalah," ujarnya kepada gresnews.com, Kamis (8/10).

Hal ini menurutnya diawali dari ketidakmampuan institusi terkait baik perpajakan maupun aparat penegak hukum untuk mendeteksi dan menjerat para wajib pajak nakal. Kemudian, disusul dengan saling membuka aib antara satu institusi dengan institusi lain, sehingga terbongkarlah statistik wajib pajak.

Dimana wajib pajak nakal akhirnya bertambah lantaran mengetahui hukum dan sistem Indonesia tidaklah kuat. Padahal jelas RUU ini bertabrakan dengan azas keadilan masyarakat.

"Agak lucu ketika masih didorong untuk diloloskan, RUU ini jelas membuat mereka yang bermain berlomba mengampuni dirinya laku kembali memperkaya diri, dan lalai," katanya.

Ia mengusulkan apabila memang harus diloloskan, maka sebaiknya digunakan pembatasan pengampunan menggunakan masa kadaluarsa. Misal, tetap ditangani yang masanya 5-10 tahun ke bawah.

BACA JUGA: