Oleh A’an Efendi *)

"Thousands have lived without love, not one without water." (W.H. Auden)

"No water, no life. No blue, no green." (Sylvia Earle)

Tahukah kita berapa jumlah air yang kita butuhkan untuk tiap harinya? Professor Iain Stewart yang seorang ahli geologi dan sekaligus penyiar radio membantu memberikan jawabannya. Artikelnya "How can our blue planet be running out of fresh water?" yang tayang di www.bbc.uk menginformasikan bahwa orang Inggris Raya rata-rata membutuhkan 3400 liter air tiap harinya.

Rinciannya 14 liter untuk keperluan minum dan memasak sehari-hari, 45 liter untuk mengiris roti, 48 liter untuk kebutuhan di kamar mandi tiap harinya, 167 liter untuk mencuci pakaian dan perabot rumah tangga, 840 liter untuk cerek kopi, dan 2800 liter untuk burger dan kue pastel. Di Indonesia, kebutuhan air termasuk untuk mengepel lantai rumah, memberi minum dan memandikan hewan peliharaan, memberi minum hewan ternak, menyiram tanaman di depan rumah, dan mencuci kendaraan pribadi.

Tidak semua air dapat kita nikmati, tetapi hanya air bersih. Tidak air kotor, bau, apalagi tercemar dan tidak juga air asin. Tahukah pula kita bahwa jumlah air bersih di seluruh dunia ini sangat terbatas meskipun bumi disebut blue planet atau planet yang penuh dengan air? Di planet bumi memang terdapat triliunan liter air, tetapi sangat sedikit jumlahnya yang aman untuk diminum. Lebih dari 97 persen air di Bumi adalah air laut dan sisanya baru air tawar, lebih dari dua pertiganya terkunci jauh di bawah permukaan es dan gletser.

Sisanya terdapat dalam tanah dan bawah tanah yang mengandung bahan-bahan tidak terkonsolidasikan seperti kerikil, pasir, atau lumpur (underground aquifers). Sisanya yang jumlahnya sangat sedikit sekali yang tersedia untuk kita nikmati. Hanya 1 persen jumlah air tawar yang mudah kita peroleh (www.nationalgeographic.com). Keterbatasan jumlah air bersih berbanding terbalik dengan kebutuhan manusia akan air bersih.

Kebutuhan akan air bersih adalah kebutuhan pokok yang tidak tersubstitusikan atau tak tergantikan. Air menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda pemenuhannya. Oleh karenanya, air bersih yang jumlahnya sangat terbatas itu harus digunakan dengan bijak jika tidak ingin air bersih itu menjadi "bersih" (baca: habis).

Krisis Air Bersih itu Akan Datang

Gejala datangnya krisis air bersih telah mulai nampak di beberapa bagian belahan dunia. Di Brazil, tepatnya di Sao Paulo yang dikenal sebagai Kota Hujan (the City of Drizzle), kini 20 juta warganya mengalami kekeringan yang sangat buruk yang memaksa mereka mengebor lantai ruangan bawah tanah (basement floors) dan tempat parkir mobil mereka untuk mencoba mendapatkan air dari bawah tanah. Saat ini warga Sao Paulo hanya mendapatkan akses air bersih dua kali dalam seminggu (www.theguardian.com, 12/3/15). Masih dari sumber yang sama disebutkan bahwa bagi penduduk negara-negara Timur Tengah "For us, water is [now] more important than oil." Pada saat ini air lebih penting daripada minyak.

Di Haiti, gadis-gadis remaja harus jalan dua jam perharinya untuk memperoleh air bersih bagi keluarganya dengan masih menggunakan seragam sekolahnya (www.cnn.com, 12/4/14). Di Ohio, Amerika Serikat, setengah juta orang telah kehilangan sumber air minum (www.nytimes.com, 4/8/14). Maladewa telah mengumumkan keadaan krisis setelah kebakaran merusak satu-satunya pabrik pengolahan air limbah yang berlokasi di ibukota, menyebabkan sedikitnya 100 ribu orang tanpa akses air bersih (www.thediplomat.com).

Penduduk Afrika Selatan menggunakan 235 liter air perhari dibandingkan dengan penggunaan air secara internasional yang rata-rata 173 liter, telah mendorong negara ini ke dalam krisis air dalam sepuluh tahun terakhir ini, bersaing dengan bencana listrik (www.iol.co.za, 5/1/15). Penderita diare yang meninggal dunia yang disebabkan kekurangan air minum, sanitasi, dan tangan tidak higienis diperkirakan 842.000 orang pertahun atau kira-kira 2.300 orang perhari (Annette et.al, Tropical Medicine and International Health, Vol.19 No.8, August 2014).

Di Indonesia, ribuan warga di seluruh desa menghadapi krisis air bersih saat musim kemarau sampai datangnya musim hujan. Nusa Tenggara Timur mengalami kekurangan air bersih paling parah yang menyebabkan penduduk di 170 desa di 17 kabupaten terpaksa berjalan 12 kilometer untuk mendapatkan air bersih untuk keperluan memasak dan mencuci (www.thejakartaglobe.com, 22/9/14). Di Jakarta, banjir telah mengancam ketersediaan air bersih selain disebabkan karena air tanah terhalang oleh trotoar dan pondasi bangunan. Tanpa upaya khusus, dikhawatirkan warga Jakarta akan menderita karena banjir dan kekurangan air bersih pada 2025 (www.tempo.co.id, 27/1/14).

Air Bersih itu Jangan Sampai "Bersih"

Krisis air bersih dapat terjadi secara alamiah atau disebabkan karena perilaku manusia. Populasi dunia yang terus bertambah otomatis menyebabkan makin tingginya kebutuhan akan air bersih yang pada sisi lain jumlahnya semakin berkurang. Pengendalian pertumbuhan populasi dunia mutlak diperlukan dan Indonesia punya pengalaman bagus untuk itu. Program Keluarga Berencana yang telah mengantar Presiden Soeharto memperoleh "Global Statement Award" dari Population Institute, Amerika Serikat pada tahun 1988 dan "United Nations Population Award" dari PBB tahun 1989 itu harus digalakkan lagi pada era sekarang ini.

Perbuatan manusia yang destruktif terhadap lingkungan telah memicu dan memacu ancaman krisis air bersih untuk semakin cepat menjadi kenyataan. Pembalakan hutan mengakibatkan air hujan yang harusnya meresap ke dalam tanah yang kemudian menjadi air untuk kehidupan manusia berubah menjadi air bah yang justru dapat menghentikan kehidupan manusia. Di wilayah perkotaan, tempat-tempat habitat air telah dirampas oleh gedung-gedung menjulang yang akibatnya air hujan yang sejatinya nikmat berubah menjadi laknat.

Sungai-sungai yang seharusnya menjadi "cawan raksasa" untuk menampung air bersih kini telah menjalankan peran yang tidak semestinya. Sungai kini telah menjadi "tempat sampah raksasa" gratisan. Lebih memprihatinkan sungai pun saat ini tidak lebih dari sekedar "kakus raksasa" untuk membuang kotoran manusia. Sungai yang diciptakan Tuhan dengan tujuan yang sangat mulia itu telah direndahkan oleh perilaku manusia sendiri. Maka jangan salahkan bila sungai-sungai itu tiap musim hujan “meluapkan amarahnya” dengan memuntahkan isinya yang kemudian merenggut harta benda dan nyawa manusia.

Menghadang laju krisis air bersih harus dimulai dari cara kita memperlakukan air. Tindakan boros terhadap air harus kita akhiri sekarang juga. Boros menggunakan air bersih di waktu sekarang tidak hanya akan merugikan kita sendiri tetapi juga telah merampas hak anak cucu kita untuk menikmati hak nya atas air bersih di masanya nanti yang akan datang. Perilaku kita yang boros menggunakan air bersih telah mempercepat bersihnya air bersih dan itu sama artinya kita sedang menggali kuburan kita sendiri. ´Water is lifeblood" dan tanpa air kita tidak akan bisa hidup.

*) Penulis adalah mahasiswa program doktoral Universitas Airlangga.

BACA JUGA: