Firda Yanis Hardianti
Peneliti Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan Universitas Negeri Surabaya (PKHP Unesa)

Pelecehan seksual merupakan perbuatan yang tidak menyenangkan dan menimbulkan efek negatif seperti malu, depresi, marah, benci pada diri korban. Pelaku pelecehan seksual sudah masuk dalam strata mana saja. salah satu tipenya adalah “Quid Pro Quo” atau “Pemain-Kekuasaan” dimana pelaku melakukan pelecehan dengan menggunakan kekuasaan jabatan. Biasanya pelaku memberikan imbalan kenaikan jabatan atau kemajuan karir.

Pelecehan seksual memang tidak memandang gender, namun faktanya perempuan yang lebih sering mengalami perlakuan pelecehan seksual. Hal ini karena tidak adanya kesetaraan gender, tuntutan mengenai pemenuhan hak perempuan untuk disetarakan dengan laki-laki sebenarnya adalah advokasi yang sudah didengungkan dari sejak lama oleh kaum perempuan namun hingga saat ini masih banyak sekali perempuan-perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Stigma bahwa perempuan memiliki derajat yang berbeda dengan laki-laki, perepuan tidak mungkin bisa melakukan pekerjaan laki-laki sehingga munculnya suatu diskriminasi terhadap perempuan. Apalagi dalam dunia pendidikan, misalnya kampus. Pelecehan seksual sering dilakukan oleh dosen mereka sendiri karena dilihat dari hierarki sosial yang mana mahasiswa lebih rendah tingkatannya dari pada dosen. Dosen yang merupakan orang yang terdidik, berpengetahuan banyak justru melakukan tindakan yang immoral.

Pembuktian Pelecehan Seksual di Dalam Kampus

Pada umumnya reaksi pertama yang didapati pada para korban pelecehan seksual adalah tidak berani mengadukan apa yang dialaminya, dan cenderung berusaha menutupi apa yang telah terjadi, sampai terdapat indikasi bahwa yang dialaminya itu juga terjadi pada orang lain. Budaya victim blaming juga menjadi salah satu faktor yang membuat korban pelecehan seksual tidak berani berbicara, hal ini lah yang membuat para korban pelecehan seksual cenderung takut ingin mengadukan tindakan pelaku sehingga tidak sedikit akibat dari budaya ini berakibat pada psikologi korban dan mengakibatkan depresi hingga kematian.

Kebanyakan kasus dugaan pelecehan seksual dilaporkan terjadi karena faktor relasi kuasa, dimana dosen diduga memanfaatkan posisi mahasiswa yang lebih lemah. Beberapa kasus bermodus akademik, seperti bimbingan skripsi dan perbaikan nilai. Keenggangan untuk melaporkan kasus itu membuat para terduga pelaku merasa aman melancarakan tindakannya.

Dilingkup kampus, pengusutan kasus pelecehan seksual seringkali terbentur birokrasi maupun keinginan kampus mempertahankan citra institusinya agar tidak tercoreng. Jadi memperlakukan korban pelecahn seksual tidak bisa sama dengan memperlakukan korban kehilangan handphone. Penegak hukum harus belajar tentang bagaimana cara melihat kasus pelecehan seksual. Di setiap kampus harus ada tim khusus pencari fakta penanganan kasus kekerasan seksual guna menyelidiki kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh warga kampus. Pembuktian adanya tindakan pelecehan seksual dikampus harus dilakukan dengan laporan adanya tidakan tersebut kepada pihak berwajib atau kepada pihak kampus terlebih dahulu.

Tim pencari fakta di kampus dibentuk dari sesama dosen, besar kemungkinan manipulasi data yang dilakukan karena adanya kedekatan secara emosional di antara pelaku dan tim investigasi yang dibentuk oleh kampus. Belum lagi kampus yang memandang dirinya sebagai otonomi memiliki aturan mainnya sendiri untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kalaupun pelaku mendapatkan ganjaran atas perbuatannya, ganjaran tersebut hanya berupa sanksi administrasi atau yang paling berat diberhentikan sebagai tenaga pengajar. Ketiadaan sanksi hukum menyebabkan pelaku tidak memiliki catatan kriminal sehingga bebas menjalani kehidupan seperti biasanya. Sedangkan korban harus menderita atas trauma dan tekanan psikologis yang didapatkan.

Mekanisme Penyelesaian Pelecehan Seksual di Dalam Kampus

Penyelesaian yang timbul akibat pelecehan seksual dapat diatasi dengan salah satu pendekatan mekanisme yang harus ditekankan pada setiap penyelenggara kampus yaitu adanya sistem pengaduan terbuka bagi pihak korban yang dilecehkan dengan cara menutupi privasi seseorang, kemudian diproses dengan mempertimbangkan jiwa mental korban yang terganggu terhadap pemulihan kembali untuk sehat mental psikis.

Dalam hal pengaduan perlulah korban memiliki sifat asertif. Lewis & Fremouw menyebutkan bahwa kekurangan keterampilan bersikap asertif menyebabkan kecenderungan terjadinya masalah antar pribadi dalam menetapkan batas-batas dan menyelesaikan konflik. Yang dimaksud memiliki sifat asertif pada korban adalah korban mampu menghilangkan rasa kecemasan, meningkatkan rasa hormat, dan mendapatkan hak-haknya secara sempurna. Karena dengan adanya sikap asertif korban dapat mengekspresikan dirinya tentang hal apa yang terjadi, sehingga dengan mudah melakukan tindakan yang cepat daam hal permasalahan pelecehan seksual.

Para penyintas pelecehan seksual harus berani membuka kasusnya agar dugaan parktik pelecehan seksual di lembaga pendidikan dapat diusut tuntas dan pelakunya dikenakan sanksi. Komitmen dari institusi sangat dibutuhkan untuk memberikan dukungan pada korban dan memberikan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaku. Pelecehan seksual di dalam lingkungan kampus harus mendapatkan perhatian khusus baik dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan kampus yang mempunyai dua kedudukan, sebagai pembuat kebijakan dalam lingkungan kampus dan sekaligus pengelola dari sebuah institusi pendidikan. Setiap korban harus diberikan perlindungan dan pendampingan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Begitu pula dengan tim investigasi yang dibuat oleh kampus harus memperhatikan keadaan psikologis dari korban, bersikap adil, dan tidak memojokkan korban.

BACA JUGA: