Dicky Eko, Fradhana Putra, Nadia Husna
Tim Peneliti PKM-PSH FISH Universitas Negeri Surabaya

Masyarakat adat Sendi yang berada di Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto merupakan masyarakat yang unik. Keunikan masyarakat adat Sendi bukan hanya terletak pada budaya dan kebiasaan masyarakatnya, tetapi juga pada praktik peradilan adat yang masih diberlakukan oleh masyarakat adat Sendi. Dalam menjalankan praktik peradilan adat, masyarakat adat Sendi menggunakan aparatur adat yang khas masyarakat Sendi. Sebut saja nama-nama seperti Kasepuhan, Pamengku, Cakra Buana, hingga Jaksa Adat.

Nama-nama tersebut mungkin menjadi nama-nama yang asing bagi bagi masyarakat umum, akan tetapi bagi masyarakat adat Sendi, nama-nama tersebut merupakan nama aparatur khas masyarakat adat Sendi yang dalam menangani suatu perkara adat lebih mengedepankan pendekatan serta cara-cara yang membumi, humanis, serta sesuai dengan kepribadian masyarakat adat Sendi. Tulisan ini berfokus pada bagaimana praktik peradilan adat Sendi serta bagaimana relasi antara peradilan Adat Sendi dengan peradilan dan hukum negara.

Filosofi, Living Law, dan Struktur Peradilan Adat Sendi

Dari berbagai sumber disebutkan bahwa leluhur masyarakat adat Sendi merupakan keturunan dari Kerajaan Majapahit. Hal ini berpengaruh terhadap filosofi dan sistem peradilan adat Sendi yang juga merupakan ‘transplantasi’ dari Kerajaan Majapahit. Filosofi peradilan adat Sendi didasarkan pada nilai-nilai luhur masyarakat adat Sendi yang berorientasi pada penegakan hukum dengan pendekatan kekeluargaan serta dengan adanya sanksi sosial. Penegakan hukum dengan pendekatan kekeluargaan memfokuskan pada peran tetua adat masyarakat Sendi (Kasepuhan) sebagai penjaga moralitas serta nilai-nilai keadaban masyarakat. Oleh karena itu, peran tetua adat Sendi (Kasepuhan) memiliki peran vital dalam praktik peradilan Adat Sendi. Selain itu, berbagai aparatur penegak hukum peradilan adat Sendi seperti Kasepuhan, Pamengku, Cakra Buana, hingga Jaksa Adat juga berupaya untuk menggali sedalam-dalamnya nilai-nilai hukum yang berlaku di masyarakat adat Sendi (living law).

Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Friedrich Carl von Savigny bahwa hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, sehingga tugas penegak hukum bukan hanya sekadar menjalankan peraturan dan prosedur, tetapi juga meniti nilai-nilai yang berlaku serta berkembang di masyarakat dengan penuh kearifan. Selain melihat pada aspek living law termasuk pada nilai-nilai yang berkembang di masyarakat adat Sendi, aparatur penegak hukum pada masyarakat adat Sendi juga memfokuskan diri pada kitab undang-undang pada zaman Majapahit yang bernama Kitab Kutaramanawa. Kitab Kutaramanawa yang lengkapnya bernama Kutaramanawa Dharmasastra merupakan kitab undang-undang pada zaman Majapahit yang masih digunakan oleh masyarakat adat Sendi dalam memutuskan suatu sengketa di masyarakat. Masih diberlakukannya kitab undang-undang zaman Majapahit yang berupa Kitab Kutaramanawa sejatinya merupakan upaya masyarakat adat Sendi untuk ‘nguri-uri’ nilai-nilai leluhur yang mulai dilupakan oleh generasi muda apalagi di era globalisasi saat ini.

Selain itu, masih digunakannya Kitab Kutaramanawa sebagai salah satu rujukan dalam praktik peradilan adat Sendi juga merupakan upaya masyarakat Sendi untuk berhukum sesuai dengan kearifan lokal. Masyarakat Sendi melihat bahwa relevansi dan semangat Kitab Kutaramanawa sangat cocok dengan kerpibadian masyarakat adat Sendi yang memang tidak memisahkan antara urusan privat dan urusan publik sebagaimana kita jumpai dalam hukum negara, baik itu berupa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Lagipula, jika ditelaah secara historis, keberlakukan hukum negara (baik KUHP, KUHPer, maupun instrumen hukum negara lainnya) merupakan produk ‘cangkokan’ dari penjajah Belanda melalui asas Konkordansi. Oleh karena itu, wajar bila masyarakat adat Sendi lebih memilih untuk memberlakukan hukum adat serta aparaturnya dibandingkan dengan menggunakan hukum negara serta aparaturnya karena dianggap tidak sesuai dengan nilai serta kepribadian masyarakat adat Sendi.

Dalam praktik peradilan adat Sendi, sejatinya terdapat empat aparatur adat utama yang melaksanakan serta menjaga nilai dan prosedur peradilan adat Sendi. Empat aparatur utama tersebut, yaitu: Kasepuhan, Pamengku, Cakra Buana, dan Jaksa Adat yang memiliki tugas masing-masing.

Pertama, yaitu Kasepuhan yang secara umum memiliki tugas sebagai pemberi putusan (hakim) sekaligus sebagai pemberi nasihat kepada masyarakat adat Sendi. Kasepuhan terdiri dari para tetua masyarakat adat Sendi yang dianggap memiliki kewibawaan, keluruhan, serta pemahaman yang mendalam akan nilai-nilai luhur masyarakat Sendi. Kedua, yaitu Pamengku yang berisi tokoh-tokoh masyarakat adat Sendi yang mengurusi aspek ritual dan tradisi. Selain itu, Pamengku juga terkadang memberikan pertimbangan kepada Kasepuhan terkait pelanggaran adat yang berkaitan dengan ritual dan tradisi masyarakat adat Sendi. Ketiga, yaitu Cakra Buana yang bertugas sebagai polisi adat. Cakra Buana memiliki fungsi untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat adat Sendi termasuk juga melakukan penyidikan dan penyelidikan terkait potensi adanya pelanggaran adat di masyarakat. Keempat, yaitu Jaksa Adat yang berfungsi untuk melakukan penuntutan serta mengajukan suatu pelanggaran adat untuk disidangkan di Paseban yang merupakan tempat masyarakat adat Sendi berkumpul. Dalam hal ini, Jaksa Adat meneruskan pencarian dan penggalian fakta akan pelanggaran adat yang sebelumnya dilakukan oleh Cakra Buana untuk kemudian disidangkan di Paseban.

Beberapa pelanggaran adat Sendi yang berhasil diputus diantaranya adalah: permasalahan pencurian satu tandan pisang yang dihukum dengan pengembalian ganti kerugian sebanyak dua tandan pisang, pelanggaran adat Sendi berupa penebangan pohon secara sembarangan dengan hukuman berupa penanaman pohon dengan jumlah dua kali lipat pohon yang ditebang, serta hukuman mengarak keliling kampung serta pengusiran terhadap masyarakat yang melakukan tindakan perselingkuhan maupun perzinahan. Meski masih dilaksanakan dan dijunjung tinggi oleh masyarakat adat Sendi, namun praktik peradilan adat Sendi masih belum memiliki legitimasi yang kuat ketika berhadapan dengan hukum serta aparatur negara.

Determinasi Hukum Negara 

Determinasi hukum negara menjadi salah satu ciri dari adanya globalisasi dan modernisasi. Berdirinya suatu negara terkadang membuat institusi-institusi adat menjadi semakin termarginalkan, tak terkecuali pula pada hukum adat. Hukum adat yang merupakan hukum yang berkembang serta tumbuh dari masyarakat nyatanya memiliki posisi yang lebih inferior dibandingkan dengan hukum negara. Hal ini persis sebagaimana yang digambarkan oleh Sir Henry Maine yang menyatakan bahwa gejala modernisasi hukum identik dengan adanya perubahan paradigma yang diistilahkan sebagai ‘From Status to Contract’. Dalam paradigma lama yang menekankan pada aspek ‘From Status’ dengan identifikasi pada ‘an ascribed position’ di mana hukum yang berkembang di masyarakat dijalankan secara alami sesuai dengan kehendak, cita-cita, serta nilai moral di masyarakat, termasuk pada penggunaan mekanisme adat sebagai sarana penyelesaian sengketa di masyarakat dengan orientasi penegakan keadilan dan kemanusiaan bukan soal perihal siapa yang menang dan siapa yang kalah.  

Hal ini tentu berbeda dengan konsekuensi modernisasi hukum yang menekankan pada aspek ‘to Contract’ yang berorientasi pada ‘a voluntary stipulation’ sehingga hukum hanya dilihat dari segi formal-prosedural dan dianggap resmi ketika yang melaksanakannya adalah para aparatur negara. Dengan demikian, modernisasi hukum telah mereduksi makna hukum sebatas pada hukum ‘resmi’ buatan negara, sedangkan hukum yang dilaksanakan di luar hukum negara dianggap sebagai bukan hukum dan diragukan keabsahannya. Dengan demikian, ‘atas nama kepastian hukum’ di era modernisasi, hukum adat dan hukum di masyarakat ‘ditelantarkan’ serta diberi jarak dengan hukum negara. Oleh karena itu, hukum adat (termasuk juga hukum adat Sendi) seolah-olah berjalan di balik tirai hukum negara.

Berjalan ‘Di Balik Tirai’

Praktik peradilan adat Sendi yang masih dijalankan hingga saat ini sejatinya masih menyisakan peroblematika tersendiri. Problematika tersebut yaitu meski saat ini masyarakat adat Sendi masih menjalankan praktik peradilan adat, namun ke depan potensi hilangnya praktik peradilan adat pada masyarakat adat Sendi kian terbuka seiring dengan berkembangnya teknologi informasi serta globalisasi yang membuat terjadinya suatu fenomena modernisasi hukum. Dalam hal ini, hukum serta peradilan adat Sendi seolah-olah masih berjalan ‘di balik tirai’ hukum negara.  

Jika fenomena ini dibiarkan, maka sebagaimana yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo bahwa ‘lonceng kematian hukum adat’ sudah semakin dekat. Hukum adat yang lebih inferior dibandingkan dengan hukum nasional dapat diibaratkan sebagai Ayam yang setiap saat bisa diterkam oleh Musang bernama hukum negara. Oleh karena itu, pemberian status desa adat kepada masyarakat adat Sendi menjadi suatu hal yang wajib diperjuangkan. Jika tidak segera direalisasikan maka apakah kita tega melihat ‘lonceng kematian hukum adat Sendi’ terjadi dalam waktu dekat ini?

BACA JUGA: