Fradhana Putra Disantara dan Dicky Eko Prasetio, Peneliti Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan Universitas Negeri Surabaya

Pancasila yang berisi kristalisasi nilai-nilai kebangsaan pertama kali diucapkan Soekarno dalam Pidato 1 Juni 1945 untuk menjawab pertanyaan Ketua BPUPK Radjiman Wedyodiningrat tentang apakah Weltanschauung bagi negara (Indonesia) yang akan merdeka.

Jika dilihat secara saksama, Soekarno kemudian mempertegas pertanyaan Radjiman Wedyodiningrat lebih tepatnya adalah menanyakan tentang filosofische groundslag. Berdasarkan perspektif Soekarno, filosofische groundslag merupakan dasar, landasan, serta fundamen bagi kemerdekaan Indonesia.

Hal itulah yang secara lebih lanjut menjadi embrio didudukkannya Pancasila sebagai dasar negara.

Meskipun istilah Pancasila secara resmi diperkenalkan pertama kali oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945, namun upaya untuk menggali filosofische groundslag bagi bangsa Indonesia yang hendak merdeka telah dilakukan oleh beberapa founding leaders sebelumnya. Sebut saja misalnya Moh. Yamin dan Soepomo, tak ketinggalan juga beberapa tokoh lain yang meski secara ‘singkat’ mencoba menyampaikan mengenai apa sejatinya filosofische groundslag bagi Indonesia merdeka.

Berdasarkan uraian historis tersebut dapat dipastikan bahwa meski istilah Pancasila secara resmi diperkenalkan pertama kali oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945, namun upaya penggalian akan nilai-nilai Pancasila dilakukan oleh segenap founding leaders bangsa Indonesia. Dalam hal ini, tidaklah tepat jika Pancasila hanya dilegitimasi sebagai ciptaan dan buatan Soekarno belaka, meski begitu, Soekarno tetap layak untuk didudukkan sebagai pencetus istilah Pancasila semenjak Pidato 1 Juni 1945.

Pancasila dalam berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara dapat ditempatkan sebagai guiding principle yang menjadi dasar, pedoman, serta pemandu bagi seluruh masyarakat Indonesia. Meski begitu, terdapat beberapa miskonsepsi terkait upaya untuk mendudukkan Pancasila.

Seperti yang diketahui bersama, Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan Pasal 5 UU Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3) memiliki tugas untuk  memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika yang oleh MPR RI disebut sebagai Empat Pilar MPR RI.

Meski istilah Empat Pilar MPR RI tidak tercantum secara expressive verbis dalam UU MD3, namun penggunaan istilah ini cukup masif dalam upaya diseminasi Empat Pilar MPR RI tersebut.

Oleh karena itu, tulisan ini akan mencoba melihat dikotomi dalam mendudukkan Pancasila antara dasar versus pilar yang dielaborasi dalam perspektif hukum tata negara.

Pancasila dan Kedudukannya dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara 

Meminjam istilah dari Max Scheler, Pancasila dapat dikatakan merupakan jawaban bangsa Indonesia atas pertanyaan Was ist der mensch, und was ist seine Stellung im Sein?

Dalam hal ini, Pancasila bagi masyarakat Indonesia dapat ditempatkan sebagai peculiar form of social life di mana nilai-nilai Pancasila itu bersumber, diperoleh, serta diretas dari kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila dalam fungsi dan kedudukannya menempati posisi tertentu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  

Menurut hemat penulis, setidaknya terdapat lima kedudukan Pancasila dilihat dari berbagai aspek kehidupan baik kehidupan masyarakat, berbangsa, maupun bernegara.

Pertama, dalam kehidupan bermasyarakat, Pancasila ditempatkan sebagai way of life. Dalam hal ini, Pancasila menjadi pemandu perilaku bagi masyarakat Indonesia di dalam ranah kehidupan bermasyarakat.

Kedua, dalam aspek kehidupan berbangsa Pancasila ditempatkan sebagai ideologi negara. Dalam hal ini Pancasila merupakan cita-cita serta idea pokok untuk mewujudkan tujuan negara.

Ketiga, dalam kehidupan bernegara, Pancasila ditempatkan sebagai dasar negara. Penempatan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Meski dalam Pembukaan UUD NRI 1945 tidak tercantum secara eksplisit istilah Pancasila, namun dilihat secara implisit sila-sila Pancasila sejatinya telah tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI 1945.

Dengan demikian, penerimaan istilah Pancasila secara yuridis bukan berarti tidak ada tetapi diterima secara yuridis sebagai bagian dari konvensi ketatanegaraan yang memiliki daya ikat layaknya suatu konstitusi tertulis atau undang-undang dasar.

Keempat, dalam kedudukannya di hierarki peraturan perundang-undangan, Pancasila ditempatkan sebagai sumber dari segala sumber hukum, termasuk lazim disebut sebagai rechtsidee atau cita hukum Pancasila. Dalam hal ini, Pancasila didudukkan sebagai leistern atau norma pemandu dari hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Kelima, dalam kehidupan internasional atau hubungan antara bangsa Indonesia dengan negara lainnya, Pancasila ditempatkan sebagai the margin of appreciation. Penempatan Pancasila sebagai the margin of appreciation menunjukkan bahwa dalam kaitanya dengan hubungan antarbangsa di dunia, Pancasila tetap didudukkan sebagai moral bangsa yang terus dijaga dalam hubungannya dengan bangsa lainnya.

Dengan didudukannya Pancasila sebagai the margin of appreciation ini, Indonesia dalam hubungannya dengan negara lain berupaya untuk mempertahankan nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila sembari mengambil nilai-nilai baru dari negara lain yang relevan dengan kondisi saat ini.

Terlepas dari kedudukan Pancasila yang telah diutarakan di atas, terdapat kedudukan Pancasila sebagai modus vivendi atau kesepakatan luruh para founding leaders. Hal ini dapat dilihat secara historis dalam disahkannya pembukaan UUD 1945 oleh PPKI yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila.

Pancasila dalam Tinjauan Putusan MK

Masalah mengenai mendudukkan Pancasila sejatinya pernah dilakukan constitutional review di Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 100/PUU-XI/2013 yang pada intinya menyatakan bahwa frasa empat pilar berbangsa dan bernegara dalam Pasal 34 ayat 3b huruf a UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Berdasarkan pendapat hukum Mahkamah Konstitusi, menempatkan Pancasila sebagai bagian dari frasa empat pilar berbangsa dan bernegara dari perspektif konstitusional adalah tidak tepat. Empat pilar berbangsa dan bernegara yang terdiri dari Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika sejatinya telah termaktub dalam UUD NRI 1945.

Dalam hal ini, Pancasila terdapat dalam Pembukaan UUD NRI 1945 yang meski tidak disebut secara eksplisit, namun dilihat dalam rumusan alinea keempat Pembukaan UUD NRI 1945, secara implisit Pancasila didudukkan sebagai dasar negara.

Istilah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika juga tercantum dalam UUD NRI 1945 masing-masing dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 36A.

Jika dianalisis secara mendalam, apa yang merupakan empat pilar berbangsa dan bernegara sejatinya merupakan empat hal yang secara eksplisit maupun implisit telah tercantum dalam UUD NRI 1945. Dengan demikian, sosialisasi tentang empat pilar berbangsa dan bernegara dapat dipersamakan dengan sosialisasi terhadap konstitusi Indonesia yaitu UUD NRI 1945.

Meski secara leksikal MPR RI tidak lagi menggunakan istilah empat pilar berbangsa dan bernegara pasca Putusan MK No. 100/PUU-XI/2013 tersebut, akan tetapi MPR tetap menggunakan istilah empat pilar meski menambahinya dengan MPR RI.

Jika dianalisis, tetap digunakannya istilah empat pilar ditambah MPR RI sehingga menjadi empat pilar MPR RI oleh MPR sejatinya dilandaskan pada dua alasan, pertama, Putusan MK No. 100/PUU-XI/2013 sejatinya hanya membatalkan istilah empat pilar berbangsa dan bernegara apalagi pimpinan MPR diwakili oleh Ahmad Basarah pernah berdiskusi dengan Ketua MK saat itu yaitu Arief Hidayat bahwa yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum tetap adalah empat pilar berbangsa dan bernegara, jadi jika digunakan istilah lain daripada itu maka dianggap diperbolehkan.

Kedua, dasar hukum MPR dalam melakukan sosialisasi empat pilar berbangsa dan bernegara yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat adalah Pasal 34 ayat 3b huruf a UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, hal ini tentu berbeda dengan dasar hukum sosialisasi empat pilar MPR RI yaitu Pasal 5 UU Nomor 17 tahun 2014 (UU MD3). 

Jika dilihat, kedua argumentasi dari MPR RI untuk tetap menggunakan istilah empat pilar dapat dianggap masih dalam tataran formal dan belum menyentuh aspek subtansial. Bahkan MPR hanya terkesan mengganti istilah empat pilar berbangsa dan bernegara menjadi empat pilar MPR RI bahkan dengan sedikit modifikasi dipertegas juga dengan penambahan istilah berupa Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, UUD NRI 1945 sebagai konstitusi negara serta ketetapan MPR, NKRI sebagai bentuk negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.

Meski begitu, menurut penulis, penggunaan istilah empat pilar seyogianya dihindari dan dicari pengganti lain yang sesuai dengan semangat Putusan MK No. 100/PUU-XI/2013.

Menurut penulis, masih digunakannya istilah empat pilar bisa mengaburkan pemahaman masyarakat umum. Terlebih pada masyarakat dan di tingkat pendidikan SMA/sederajat masih banyak yang ‘salah paham’ mengenai istilah empat pilar tersebut.

Oleh karena itu, alangkah lebih optimal jika istilah empat pilar diganti saja dengan istilah lain, misalnya Empat Konsensus Kebangsaan, Empat Pokok Berbangsa dan Bernegara, atau istilah yang lain. Bahkan, menurut penulis dilihat dalam perspektif konstitusi keempat istilah itu perlu diperbarui juga dengan melihat pada basic structure doctrine

Dalam kajian konstitusi, basic structure doctrine sering diidentikkan sebagai unamendable constitutional provision yang merupakan dasar dan struktur ketatanegaraan yang tidak bisa dilakukan perubahan (unamendable provision). Akan tetapi, di Indonesia kajian mengenai basic structure doctrine dan unamendable constitutional provision masih terbilang minim.

Oleh karena itu, ke depan bisa disempurnakan mengenai sosialisasi terhadap Pancasila, UUD NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI juga dilakukan kajian mengenai basic structure doctrine untuk menyempurnakan landasan ketatanegaraan Indonesia. Dalam hal inilah istilah Pancasila terutama harus didudukkan secara presisi, khususnya pada saat acara sosialisasi, diseminasi, maupun diskusi.

Pancasila: Dasar atau Pilar?

Dilihat dalam analisis di atas, menempatkan istilah Pancasila sebagai bagian dari pilar baik dalam istilah empat pilar berbangsa dan bernegara maupun dalam istilah empat pilar MPR RI dapat dikatakan tidaklah tepat dan berpotensi menimbulkan kesalahan atau kekeliruan penempatan Pancasila di dunia pendidikan baik dalam ranah pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi.

Hal ini juga perlu dicari istilah yang lebih ideal dan presisi terhadap Pancasila sehingga tidak menimbulkan kesalahan atau kekeliruan penempatan Pancasila baik di dunia pendidikan maupun di masyarakat.

Dengan demikian, meski secara umum hanya merupakan permasalahan kata empat pilar, namun dampak yang ditimbulkan dapat berpotensi besar di masyarakat termasuk ketidaktepatan dalam mendudukkan Pancasila. Padahal dalam sebuah postulat Latin sering dinyatakan Errare humanum est, in turpe errore perseverare, yang bermakna bahwa melakukan kesalahan adalah manusiawi namun tidaklah baik untuk tetap mempertahankan kesalahan.

Yang menjadi pertanyaan saat ini, maukah MPR mengakui dan mau memperbaiki kesalahan?

Semua diserahkan kepada wakil-wakil rakyat kita di MPR.

Semoga, sedikit gagasan dari penulis dapat menjadi komitmen bagi kita semua untuk terus menyebarkan dan mengajarkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara. Hal ini tentunya sebagai salah satu upaya untuk terus menyuburkan kajian-kajian mengenai Pancasila, sebagaimana disampaikan oleh Arief Sidharta:

Pada masa kini Pancasila sebagai base-values sudah sepenuhnya menjadi kenyataan. Namun Pancasila sebagai goal-values masih belum sepenuhnya menjadi kenyataan. Sebagai goal-values, baru sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila persatuan yang menjadi kenyataan, sedang sila-sila yang lainnya masih banyak yang harus diperjuangkan dengan penuh kesungguhan oleh semua pihak.”

Semoga... dan Selamat Hari Lahirnya Pancasila 2020.

BACA JUGA: