Oleh: Dicky Eko Prasetio
Peneliti Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan, Universitas Negeri Surabaya

Malem songo atau malam ke-29 pada Bulan Ramadhan oleh sebagian besar masyarakat Jawa dianggap sebagai malam yang baik sekaligus membawa keberkahan. Dalam agama Islam, memang ada keyakinan bahwa salah satu malam lailatul qadar adalah jatuh pada malam ke-29 pada Bulan Ramadhan. Sehingga, wajar jika identitas ‘malam keberkahan’ begitu melekat dengan malam ke-29 pada Bulan Ramadhan atau lazim dikenal sebagai malem songo.

Identitas ‘malam keberkahan’ pada malem songo kemudian diidentikkan sebagai malam yang baik untuk melakukan berbagai hal-hal baik, tentunya tak terkecuali dengan perkawinan. Perkawinan bagi masyarakat Jawa tidak hanya tentang hubungan antara dua sejoli laki-laki dan perempuan, akan tetapi juga merupakan salah satu sarana dalam menyempurnakan agama sekaligus merupakan ekspresi dari tradisi luhur yang dipegang oleh masyarakat Jawa pada umumnya. Oleh karena itu, bagi masyarakat Jawa, perkawinan merupakan momentum yang istimewa yang mana dalam momentum ini, nilai-nilai agama dilaksanakan secara bersamaan dengan seremoni tradisi khas masyarakat Jawa.

Perkawinan sebagai momentum istimewa bagi setiap warga masyarakat, terutama masyarakat Jawa sebagaimana telah tercantum dalam Pasal 2 Buku 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menegaskan bahwa unsur paling penting dalam perkawinan adalah adanya akad miitsaaqan gholiidhan.

Akad miitsaaqan gholiidhan merupakan akad yang sangat kuat yang diharapkan bahwa perkawinan ini merupakan sekali dan selamanya bagi kedua mempelai sehingga tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Mulianya niat serta tujuan dari perkawinan tersebut lantas membuat masyarakat Jawa memilih hari yang terbaik dalam menjalankan prosesi perkawinan, terutama pada malem songo yang oleh sebagian besar masyarakat Jawa, identik dengan malam yang baik, mulia, serta memiliki banyak keberkahan.

Pandangan masyarakat Jawa mengenai keberkahan malem songo tersebut kemudian mengidentikkan bahwa malem songo adalah malam yang terbaik untuk melaksanakan perkawinan.

Salah satu masyarakat Jawa yang masih memiliki pandangan bahwa malem songo identik dengan malam perkawinan adalah masyarakat di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Pada tahun 2021 ini, tercatat semenjak Bulan April 2021, terdapat 438 pasangan calon pengantin yang mengajukan akad nikah pada malem songo.

Namun, di tengah hiruk-pikuk malem songo sebagai malam keberkahan untuk melaksanakan perkawinan, adanya data dari 438 pasangan calon pengantin di Kabupaten Bojonegoro yang merencanakan menikah pada malem songo bahwa terdapat 160 pasangan calon pengantin yang rata-rata masih berusia 17 tahun. Jika melihat pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang kemudian diubah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menegaskan bahwa usia minimal bagi pria dan wanita untuk melangsungkan perkawinan adalah minimal berusia 19 tahun.

Batasan minimal pria dan wanita dalam melangsungkan perkawinan sebagaimana dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 16 tahun 2019 tersebut merupakan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU-XV/2017 yang salah satu amar putusannya menegaskan bahwa pembedaan usia minimal perkawinan antara pria dan wanita (pria 19 tahun dan wanita 16 tahun) yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 adalah inkonstitusional dan merupakan ketentuan yang bersifat diskriminatif, karena membedakan sesuatu yang seyogianya harus disamakan yaitu persamaan usia minimal perkawinan antara pria dan wanita.

Oleh karena itu, dengan ditegaskannya usia minimal 19 tahun bagi pria dan wanita dalam melangsungkan perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 16 tahun 2019, maka bagi calon pengantin yang belum memenuhi usia 19 tahun, maka diwajibkan untuk mengajukan dispensasi perkawinan.

Adanya dispensasi perkawinan sejatinya dimaksudkan untuk melindungi pihak-pihak yang menjadi calon pengantin, misalnya jika terjadi kehamilan di luar hubungan perkawinan yang kedua pihak belum berusia 19 tahun, maka dapat diajukan dispensasi perkawinan semata-mata untuk melindungi harkat, martabat, serta hak pihak masing-masing.

Akan tetapi, pada tahun 2021 ini, dispensasi perkawinan seakan menjadi ‘fasilitas’ yang harus dimanfaatkan bagi para calon pengantin yang nota benekebelet’ untuk segera melangsungkan perkawinan. Terlebih lagi, dari 160 pasangan calon pengantin yang berusia di bawah 19 tahun di Kabupaten Bojonegoro, sebanyak 93% merupakan pasangan calon pengantin yang belum memiliki pekerjaan dan penghasilan.

Hal ini kemudian dapat menimbulkan kekhawatiran bersama bahwa dengan adanya data sebesar 93% pasangan calon pengantin di bawah umur serta belum memiliki penghasilan apakah tujuan perkawinan berupa keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah dapat diwujudkan?

Perkawinan Pada Malem Songo dalam Tinjauan Budaya Hukum

Maraknya perkawinan pada masyarakat di Kabupaten Bojonegoro terutama pada malem songo setidaknya dilandasi oleh dua argumentasi utama, yaitu: pertama, momentum melaksanakan perkawinan pada malem songo dilandasi oleh adanya kepercayaan dalam Agama Islam bahwa salah satu dugaan turunnya malam lailatul qadar adalah pada malem songo atau malam ke-29 pada Bulan Ramadhan.

Dalam hal ini, perkawinan yang dilaksanakan pada malem songo dianggap sebagai perkawinan yang penuh keberkahan karena dilaksanakan pada hari dan bulan yang penuh berkah. Adanya keberkahan itulah yang juga diharapkan oleh para calon pengantin dapat menyertai kehidupan dua sejoli kelak ketika sudah sah menjadi suami-istri yang diharapkan hidupnya selalu diliputi oleh keberkahan.

Kedua, maraknya perkawinan yang dilaksanakan pada malem songo sejatinya dilandasi pada kepercayaan yang berkembang pada masyarakat Jawa bahwa salah satu hal terpenting dalam melaksanakan perkawinan adalah pencarian dan penentuan hari perkawinan.

Dalam pandangan masyarakat Jawa, terdapat hari-hari tertentu yang merupakan ‘pantangan’ dalam melangsungkan perkawinan. Oleh karena masyarakat Jawa juga memandang malem songo sebagai hari baik untuk melaksanakan perkawinan, maka dibandingkan dengan mencari serta menentukan hari-hari yang cocok untuk melangsungkan perkawinan maka lebih praktis ketika melaksanakan perkawinan pada malem songo yang dianggap merupakan hari baik bagi kepercayaan masyarakat Jawa, terutama dalam melaksanakan perkawinan dengan harapan adanya keberkahan di hari baik tersebut.

Sejatinya, pelaksanaan perkawinan pada malem songo merupakan hal yang baik dan sah-sah saja untuk dilakukan. Akan tetapi, jika maraknya perkawinan pada malem songo justru 93% di antaranya belum memiliki kesiapan untuk hidup berumah tangga termasuk mental dan psikologis kedua calon pengantin yang berusia kurang dari 19 tahun serta sebagian besar calon pengantin yang belum memiliki penghasilan maka ke depan dapat berpotensi menjadi ‘bom waktu’ bagi adanya perceraian massal.

Perceraian massal tersebut dapat terjadi sebagai dampak belum siapnya kedua calon pengantin dalam menjalani bahtera rumah tangga terutama ketika terdapat permasalahan rumah tangga, maka solusi praktisnya adalah bercerai. Hal ini sebagaimana data dari Pengadilan Agama Kabupaten Bojonegoro bahwa pada awal tahun 2021, terdapat 339 pasangan suami istri mengajukan cerai dengan berbagai alasan seperti alasan ekonomi, pertengkaran antara suami-istri, bahkan hingga adanya dugaan selingkuh dari pasangan suami istri. Dalam hal ini, membludaknya jumlah perkawinan pada malem songo juga berpotensi menimbulkan adanya jumlah perceraian yang jumlahnya semakin masif terlebih semenjak adanya pandemi COVID-19 yang membuat berbagai sektor perekonomian sulit berkembang dan menimbulkan kerugian.

Dalam perspektif budaya hukum, Lawrence M. Friedman menegaskan bahwa sebagai bagian dari sistem hukum, budaya hukum mengacu pada dua sikap dan nilai-nilai yang berbeda, yaitu: ….”Legal culture refers to two rather different sets of attitudes and values: that of the general public (we can call this ‘lay legal culture’), and that of lawyers, judges, and other professionals (we can call this ‘internal legal culture’…”.

Dari pandangan Lawrence M. Friedman tersebut, budaya hukum sejatinya mengacu pada perangkat sikap-nilai publik umum yang lazim disebut sebagai ‘kultur hukum masyarakat awam’ dan perangkat sikap budaya hukum internal, yang identik dilaksanakan oleh para hakim, pengacara, birokrasi, serta tokoh masyarakat setempat. Budaya hukum yang berupa ‘kultur hukum masyarakat awam’ biasanya dilaksanakan hanya berdasarkan tradisi yang bersifat turun-temurun atau berupa tindakan berulang yang dilakukan oleh tokoh masyarakat kemudian dicontoh dan dilaksanakan oleh masyarakat awam. Sedangkan sikap budaya hukum internal biasanya dilaksanakan oleh pihak professional seperti birokrasi, hakim di pengadilan, aparat penegak hukum, serta tokoh masyarakat setempat.

Jika dikaitkan dengan konsep budaya hukum sebagaimana disampaikan oleh Lawrence M. Friedman tersebut, maka dapat dikatakan kebiasaan masyarakat Kabupaten Bojonegoro untuk melaksanakan perkawinan pada malem songo merupakan ‘kultur hukum masyarakat awam’, yang pada awalnya merupakan tradisi yang bersifat turun-temurun dikarenakan memanfaatkan momentum keberkahan malem songo.

Selain itu, dalam aspek sikap budaya hukum internal, kurangnya sosialisasi serta pendidikan perkawinan dini juga menjadi salah satu faktor yang membuat semakin banyak masyarakat melaksanakan perkawinan pada malem songo. Oleh karena itu, sosialisasi serta pemahaman akan perkawinan penting untuk dilakukan terutama bagi Guru di tingkat SMP/Mts-SMA/SMK/MA/sederajat kepada siswa-siswinya di sekolah, dapat juga dilaksanakan oleh tokoh masyarakat setempat (sesepuh serta ulama), juga diperlukan peran Pengadilan Agama untuk memberikan syarat tertentu terkait diskresi perkawinan supaya diskresi perkawinan tidak menjadi ‘pintu masuk’ bagi masyarakat yang ingin melangsungkan perkawinan, namun belum mencapai usia minimal 19 tahun.

Selain itu, bagi calon pengantin yang akan melangsungkan perkawinan diperlukan pula peran pemerintah (terutama peran Pemerintah Kabupaten Bojonegoro) untuk membuat kebijakan bagi calon pengantin yang belum memiliki lapangan pekerjaan untuk diberdayakan dengan adanya Pusat Kreativitas dan Kewirausahaan Desa yang dapat dinaungi oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan pemerintah desa masing-masing. Hal ini diorientasikan untuk menanggulangi adanya perceraian yang disebabkan oleh faktor ekonomi. Oleh karena itu, baik ‘kultur hukum masyarakat awam’ maupun sikap budaya hukum internal yang dilakukan oleh para professional, birokrasi, serta tokoh masyarakat harus ditata, dibangun, serta disosialisasikan secara lebih intensif mengenai budaya hukum perkawinan pada malem songo, supaya oleh masyarakat awam perkawinan dapat dipahami secara komprehensif serta tujuan perkawinan berupa keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah dapat terwujud.

Antinomi Makna dan Realita

Budaya perkawinan pada masyarakat Kabupaten Bojonegoro yang dilaksanakan pada malem songo sejatinya memiliki makna dan tujuan yang baik supaya malem songo atau malam ke-29 pada Bulan Ramadhan dapat diisi dengan hal-hal yang positif karena memiliki makna keberkahan di dalamnya. Akan tetapi, makna keberkahan tersebut dapat tereduksi menjadi ‘petaka’ apabila perkawinan yang dilaksanakan pada malem songo tidak mendapat pendidikan, pengarahan, penyuluhan, serta pemberdayaan bagi kedua calon pengantin. Hal tersebut dapat berdampak pada adanya perceraian massal sebagaimana yang pernah terjadi di Kabupaten Bojonegoro pada awal tahun 2021.

Semoga saja, makna keberkahan dalam perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat Kabupaten Bojonegoro dapat diimbangi dengan upaya penyadaran dan pemberdayaan masyarakat oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro serta tokoh masyarakat setempat mengenai perkawinan supaya gemerlap perkawinan yang dilaksanakan pada malem songo tidak menjadi petaka dan celaka yang berujung pada jalan keluar bernama perceraian bagi kedua pengantin yang sangat tidak diharapkan semua pihak

BACA JUGA: