Oleh: DR. Aan Efendi, S.H., M.H. *)

Per 1 April 2016 yang akan datang warga Kota Surabaya harus bersiap merogoh kantongnya lebih dalam untuk membayar biaya parkir kendaraan bermotornya. Ya, mulai bulan depan di kota yang dipimpin oleh Walikota Tri Rismaharini itu rencananya akan diberlakukan parkir berzona dan progresif. Tidak seperti sebelumnya biaya parkir yang akan sama di mana pun dan berapa pun lamanya parkir, dengan parkir berzona dan progresif jumlah ongkos parkir akan ditentukan oleh wilayah dan lamanya parkir yang hitungannya per jam. Tarif parkir akan dikalikan berapa jam kendaraan itu diparkir dan akan semakin mahal tergantung di mana lokasi parkirnya.

Menepis kecurigaan masyarakat, Dinas Perhubungan Kota Surabaya menyebutkan bahwa penerapan parkir berzona dan progresif tidak untuk mendulang pendapatan asli daerah (PAD) semata tetapi alat pengendali lalu lintas. Program parkir berzona dan progresif untuk membebaskan atau paling tidak mengurangi terjadinya kemacetan di jalanan ibukota Provinsi Jawa Timur itu.

Saya sendiri, pun warga Kota Pahlawan lainnya pastinya menginginkan jalanan yang minim atau bahkan nol kemacetan. Dan, jika memang rencana pelaksanaan parkir berzona dan progresif itu dalam rangka "mengusir" kemacetan dari jalanan Kota Surabaya, tentu saja itu layak untuk didukung. Hanya saja, apakah sudah tepat instrumen yang dipakai adalah parkir berzona dan progresif? Ini yang perlu dipikirkan supaya masyarakat tidak memiliki dugaan buruk bahwa pemerintah kota hanya bisa menambah beban ditengah sulitnya hidup dibandingkan mencari solusi mengatasi kemacetan.

Persoalan pakir jika tidak mendapatkan perhatian sungguh-sungguh mulai sekarang dapat dipastikan akan menjadi persoalan yang sangat serius di waktu yang akan datang, terutama untuk kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan kawan-kawan. Kendaraan bermotor yang jumlahnya terus bertambah tiap harinya tentu saja membutuhkan tempat parkir yang semakin luas pula.

Bahkan untuk saat ini saja di Kota Surabaya mudah ditemui kendaraan yang harus diparkir di pinggir-pinggir jalan karena lahan parkir yang disediakan oleh bank-bank, pusat perbelanjaan, pertokoan, pasar-pasar tradisional, sekolah, kampus atau tempat-tempat lainnya tidak lagi sanggup melakukan "tugasnya" menampung kendaraan bermotor. Alhasil, bahu jalan dan trotoar pun "dipaksa" menjalan fungsi yang tidak semestinya, menjadi lahan parkir. Akibatnya adalah terhambatnya arus lalu lintas, terampasnya hak pejalan kaki dan PAD pun menguap begitu saja karena parkir seperti itu umumnya dikelola oleh juru parkir liar.

Fakta ini nampaknya ditangkap oleh pengambil keputusan di bidang perparkiran yang kemudian dipikirkan, didiskusikan dan ditentukan solusinya: parkir berzona dan progresif. Harus dihargai dan diberikan apresiasi tetapi kritik tetap harus diperkenankan untuk menggali alternatif-alternatif lainnya yang mungkin akan lebih baik lagi. Persoalan apapun tak terkecuali urusan perparkiran harus dilihat dari permasalahan dasarnya dan dari situ ditetapkan cara yang paling pas untuk mengatasinya.

Meminjam istilah yang dikenal dalam hukum lingkungan, abatement of source artinya tindakan penanggulangan harus pada sumbernya. Parkir tidak akan menjadi persoalan jika saja warga masyarakat tidak menggunakan kendaraan pribadi saat bekerja, belanja, kuliah atau keperluan lainnya. Oleh karena itu, seharusnya yang mendapatkan prioritas untuk dipikirkan oleh pemerintah daerah adalah bagaimana caranya supaya warga masyarakat tidak lagi menggunakan kendaraan pribadi untuk aktivitas kesehariannya.

Penggunaan kendaraan pribadi oleh warga masyarakat dalam rutinitas sehari-harinya dilandasi beragam alasan. Pertama, biaya yang lebih murah. Bagi pengguna kendaraan pribadi terutama sepeda motor tentu hitung-hitungannya akan lebih murah dari pada harus menggunakan angkutan umum. Satu tangki sepeda motor yang berisi bahan bakar penuh dapat dipakai untuk beberapa kali bolak-balik ke tempat kerja atau kampus.

Kedua, efisiensi waktu. Menggunakan kendaraan umum lebih banyak menghabiskan waktu dibandingkan kendaraan pribadi terutama jika menuju tempat kerja tidak terjangkau oleh satu jalur angkutan umum tetapi harus harus oper atau berganti angkutan. Ini belum termasuk kebiasaan angkutan umum yang kerap berhenti cukup lama untuk menunggu penumpang. Tentu saja yang demikian menjadi sebab menggunakan kendaraan pribadi adalah pilihan yang lebih menarik.

Ketiga, kenyamanan dan keamanan. Memilih angkutan umum bagi sebagian orang berarti bersiap menerima risiko ketidakamanan dan ketidaknyamanan. Di Surabaya sendiri sudah menjadi kelaziman kondisi angkutan sudah banyak yang uzur, suka berhenti mendadak untuk menaikkan atau menurunkan penumpang, pengemudi angkutan tidak berseragam dan memiliki kartu identitas sebagai pengemudi angkutan publik, dan kondisi-kondisi lainnya yang membuat angkutan umum kian tidak mendapatkan tempat di hati masyarakat.

Dengan kondisi fasilitas yang demikian, tidak heran jika makin hari angkutan umum makin kosong melompong dan tidak tertutup kemungkinan hanya akan menjadi kenangan di kemudian hari bahwa di Surabaya dulunya ada yang namanya angkutan umum.

Menghentikan kebiasaan masyarakat menggunakan kendaraan pribadi sekaligus mau berpaling kembali kepada angkutan umum tidak dengan menerapkan parkir berzona dan progresif maupun membangun gedung-gedung perparkiran pada titik-titik tertentu, tetapi membangun fasilitas angkutan umum yang murah, nyaman dan aman.

Khusus untuk rencana pembangunan gedung parkir nampak kontradiktif dengan upaya mengurangi kemacetan karena kesan yang dapat ditangkap: "naiklah kendaraan pribadi, kami sediakan gedung parkirnya". Angkutan umum juga harus mudah untuk mencapai tempat-tempat strategis seperti kantor pemerintahan, pusat perbelanjaan, pasar-pasar tradisional, kampus, sekolah dan tempat lainnya.

Jika fasilitas angkutan seperti itu telah tersedia dan masyarakat tetap bersikeras menggunakan kendaraan pribadinya tentu saja tidak dilarang. Pegawai negeri sipil atau karyawan swasta tetap dapat ke kantor dengan mengendarai kendaraan pribadinya, anak-anak kuliahan atau sekolahan tetap diperkenankan menunggangi mobil atau kuda besinya ke kampus, pun siapa saja tidak dilarang memakai kendaraan pribadinya, hanya saja mereka akan dibebani dengan tarif parkir yang sangat mahal.

Mengapa? Itu adalah risiko yang memang harus ditanggung oleh masyarakat yang sengaja tidak mau menggunakan fasilitas yang telah disediakan negara sekaligus alat paksa agar bersedia menggunakannya. Jadi, fasilitasnya harus ada dulu baru ditetapkan aturan atau kebijakannya.

Dan seperti itu pula setidaknya yang pernah saya lihat ketika berkunjung ke Belanda tahun lalu. Sarana transportasi publik yang sangat baik telah disediakan dan kemudian diterapkan biaya parkir yang sangat tinggi bagi mereka tetap memilih menggunakan kendaraan pribadi. Parkir berzona dan progresif tidak salah hanya bukan sarana utama untuk "melenyapkan" kemacetan.

Oh iya, kalau Pemkot Surabaya ingin meraup PAD yang besar dari sektor perparkiran beranguslah biang keladinya yang kasat mata: parkir liar. Mau dan berani?

*) Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Jember dan Warga Kota Surabaya

BACA JUGA: